JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dewan Perwakilan Rakyat khususnya Komisi III hingga kini belum juga memilih para calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, masa kerja para komisioner KPK baik yang permanen maupun definitif berakhir pada 16 Desember 2015 mendatang.

Para anggota dewan tampak melakukan berbagai cara untuk menunda pemilihan. Bukannya memilih, para legislator ini justru berkali-kali memanggil panitia seleksi (pansel) untuk mempermasalahkan pengelompokkan bidang-bidang tertentu dalam proses seleksi.

Bidang yang dimaksud antara lain, pencegahan yang diisi oleh Saut Situmorang (Staf Ahli Kepala BIN) dan Surya Tjandra (Direktur Trade Union Right Center dan Dosen FH Unika Atma Jaya). Kemudian penindakan yaitu Alexander Marwata (Hakim Ad Hoc Tipikor Jakarta) dan Brigadir Jenderal (Pol) Basaria Panjaitan (Widyaiswara Madya Sespimti Polri).

Selanjutnya bidang manajemen yang akan diisi oleh Agus Rahardjo (mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah) dan Sujanarko (Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi KPK).

Dan terakhir bidang koordinasi supervisi, koordinasi, dan monitoring, ada Johan Budi Sapto Pribowo (Pelaksana Tugas Pimpinan KPK) dan Laode Muhammad Syarif (Dekan FH Unhas dan senior advisorpartnership for reform in Indonesia).

Tindakan DPR ini menimbulkan reaksi negatif di kalangan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM). Mereka Mereka mendesak agar para anggota dewan segera memilih para calon pimpinan yang telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo.

SERAHKAN PADA DPR - Dikonfirmasi mengenai hal ini, Johan Budi terlihat pasrah. Ia menyerahkan semua proses yang ada kepada Komisi III DPR RI. Menurut Johan, sebagai calon pimpinan, dirinya tidak mempunyai kewenangan untuk mengintervensi anggota dewan untuk segera memilih para calon.

"Tidak resah lah, saya kan capim, sekarang semuanya tergantung Komisi III, mau pilih atau tidak memilih, saya kan capim, saya tidak bisa mempengaruhi," tutur Johan kepada wartawan seusai peluncuran Jurnal KPK di kantornya, Selasa (24/11).

Johan tampaknya memang lebih memilih "jalur aman" dengan tidak mengkritik para anggota DPR terkait penundaan pemilihan para calon. Terlebih lagi menurutnya, pencalonan dirinya ini sempat dipermasalahkan karena latar pendidikannya bukan Sarjana hukum.

Terkait hal ini, Johan baru mau berbicara banyak. Menurutnya, calon pimpinan KPK seharusnya bukan hanya berlatar sarjana hukum, tetapi para calon harus mengerti tentang hukum.

"Bahwa yang penting bukan sarjana hukumnya. Tapi orang ini mengerti hukum atau tidak. Yang dibutuhkan itu orang yang mengerti hukum, bisa sarjana hukum, dan bisa tidak harus sarjana hukum," tutur Johan.

Hal ini ujar Johan diperkuat pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam UU tersebut, syarat seseorang untuk bisa jadi pimpinan KPK bukan hanya berasal dari sarjana hukum dan bisa juga dari sarjana lainnya.

"Coba dicek di UU nomor 30 tahun 2002, yang bikin UU siapa, DPR juga kan? tapi pemahaman itu penting. pengalaman minimal 15 tahun. Sekarang tinggal siapa yang mendefinisikan 15 tahun berpengalaman di bidang itu. Kemarin di tingkat pansel, didefinisikan oleh pansel. sekarang yang mendefinisikan Komisi III," pungkas Johan.

Dikonfirmasi terpisah, calon pimpinan KPK lainnya Alexander Marwata mengaku optimis bahwa DPR akan melaksanakan tugasnya untuk memilih para calon pimpinan lembaga antirasuah tersebut. Apalagi, proses uji kelayakan hanya butuh waktu singkat, yaitu dua hari.

"Saya masih percaya dengan itikad baik DPR. Fit and proper test cuma butuh waktu 2 hari. Masa bakti pimpinan KPK yang sekarang berakhir 3 minggu lagi. Jadi masih cukup waktu. Saya juga tidak terburu buru. Tunggu saja pengumuman dari Komisi III kapan akan dilaksanakan," ujar Alexander kepada gresnews.com, Selasa (24/11) malam.
ADA MISI TERSELUBUNG - Desakan agar DPR segera memilih para capim KPK memang terus digaungkan sejumlah LSM akhir-akhir ini. Bahkan LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi ini mendatangi kantor KPK untuk menyatakan pendapatnya.

Koalisi ini diwakili oleh Lalola Easter dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Romo Benny Susetyo (agamawan), Ray Rangkuti (Direktur Lingkar Madani/Lima), Puri Kencana dari KontraS, serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari.

Menurut Lalola, penundaan calon pimpinan KPK ini tidak beralasan dan terkesan hanya akal-akalan DPR saja. "Yang kita kritisi, mengapa DPR harus memanggil Pansel capim KPK? Karena pada dasarnya tugas Pansel sudah selesai, nama-nama calon sudah selesai ketika diserahkan ke presiden," ujar Lalola di Gedung KPK, Selasa (24/11) sore.

Lalola menuding ada agenda terselubung para anggota dewan yang menunda-nunda proses pemilihan ini. Salah satunya terkait revisi UU KPK yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2016 mendatang.

"Ada kekhawatiran langkah DPR mengulur-ulur waktu seleksi atau uji capim KPK ini untuk menyandera sehingga revisi UU KPK masuk Proglenas DPR," imbuh Lalola.

Hal senada juga disampaikan Romo Benny. Menurutnya, penundaan proses pembahasan yang dilakukan Komisi III untuk memutuskan waktu pelaksanaan fit and proper test dianggapnya sebagai tindakan politik yang justru bertentangan dengan kewajibannya.

"Menunda-nunda dengan alasan yang tidak pantas berarti ada agenda tersembunyi. Seolah-olah Komisi III bermain politik, berbahaya kalau ditunda membuat KPK tidak mampu bekerja sebaik-baiknya karena prosesnya dibuat mengambang," imbuh Romo Benny.

Pada Pasal 30 ayat (10) UU KPK menyatakan DPR wajib memilih dan menetapkan pimpinan KPK 3 bulan sejak diserahkan oleh Presiden. Pansel telah menyerahkan nama-nama capim KPK ke Presiden pada 1 September 2015 lalu dan mempunyai waktu 14 hari untuk menyampaikan ke DPR.

Salah satu tim komunikasi Presiden Ari Dwipayana pada 16 September 2015 lalu menyatakan bahwa Joko Widodo telah menyerahkan nama-nama calon pimpinan. Jika dilihat dari waktunya, DPR hanya mempunyai waktu kurang dari 3 minggu untuk memilih para calon.

BACA JUGA: