JAKARTA, GRESNEWS.COM - Beberapa waktu lalu, Mahkamah Agung (MA) dikritik lantaran punya kebiasaan baru menambah hukuman terhadap kasus-kasus korupsi terutama yang disidik KPK dan disidangkan di Pengadilan Tipikor. Putusan-putusan MA di tingkat kasasi yang menambah hukuman para terpidana ini dinilai melampaui kewenangan MA yang hanya berwenang memeriksa putusan pada tingkat di bawahnya.

Nah, "virus" melampaui kewenangan ini rupanya juga merembet ke Mahkamah Konstitusi. Dalam beberapa hal, terutama putusan terkait perluasan obyek praperadilan, MK dinilai telah bertindak sebagai positive legislator. Padahal, tugas MK adalah sebatas negative legislator yang bertugas membatalkan undang-undang (UU) ketika bertentangan dengan UUD 1945.

Peneliti dari Indonesia Legal Roundtable (ILR) Siti Aminah mengatakan, secara normatif MK tidak memiliki kewenangan untuk membuat norma atau menjadi positive legislator. MK hanya memiliki kewenangan menyatakan inkonstitusional atau tidak konstitusional terhadap sebuah produk UU. Sedangkan untuk membuat norma baru harus melalui undang-undang (UU) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

"Kalau di putusan MK, MK selalu bilang bahwa mereka negative legislator bukan positive legislator. Memang perkembangannya untuk persoalan praperadilan langsung diberlakukan. Padahal harus ada perubahan UU lebih dulu kalau putusan MK berisi tafsir," ujar Aminah saat dihubungi gresnews.com, Selasa (7/7).

Dalam Pasal 51A Ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) memang diatur dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian materiil, hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian meliputi mengabulkan permohonan pemohon, menyatakan materi muatan ayat, pasal dan atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945, dan menyatakan materi norma bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Terkait hal ini, mantan Hakim konstitusi Harjono mengatakan, masalah praperadilan sebelumnya tidak seluas obyeknya seperti sekarang ini. Perluasan obyek praperadilan khususnya dalam perkembangannya menurutnya ada andil dari praktik peradilan sendiri.

"Termasuk yang dilakukan oleh Sarpin (hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memutus perkara praperadilan Komjen Budi Gunawan). Oleh karena praperadilan jadi mengambang sifatnya. Tapi setelah ngambang malah menjadi meluas dan dekat persoalan penetapan tersangka. Itu sudah terlanjur karena praktiknya dari awal," ujar Harjono saat dihubungi Gresnews.com, Selasa (7/7).

Ia melanjutkan, soal tudingan MK berperan sebagai positive legislator atau menciptakan norma baru dalam putusan soal obyek praperadilan memang benar. Dia menilai MK juga mengambil praktik di Amerika Serikat bahwa penetapan tersangka harus didahului bukti yang kuat. Sehingga praktik-praktik di lapangan dimasukkan ke dalam sistem dimana praperadilan meluas termasuk penetapan tersangka.

Saat ditanya soal keberlakuan putusan MK yang dituding berperan sebagai positive legislator dalam perluasan obyek praperadilan, ia menilai Sarpin bisa memutus penetapan tersangka yang tidak ada dalam undang-undang. Sehingga putusan MK menurutnya menjadi hal yang memecahkan persoalan mengambangnya obyek praperadilan. Tapi menurutnya, hal ini harus dikembalikan lagi pada ke Mahkamah Agung.

PENEGAK HUKUM DIRUGIKAN PUTUSAN MK - Aminah menilai, penetapan tersangka seharusnya hanya bersifat administratif untuk menguji terjaminnya hak seseorang yang mendapatkan tindakan paksa dari aparat penagak hukum. Tapi praperadilan saat ini menurutnya menjadi aneh lantaran harus menguji bukti. Padahal bukti seharusnya diuji dalam sidang pokok perkara. "Pembuktian tidak boleh ada di praperadilan karena praperadilan bersifat adminitratif," tutur Aminah.

Senada dengan Aminah, Harjono mengatakan ada persoalan dengan apa yang diputus MK soal minimal harus ada dua alat bukti untuk melakukan upaya paksa yang menjadi obyek praperadilan. Ia mencontohkan ketika hanya ada bukti berupa saksi saja, maka bukti menjadi tidak mencukupi. Meskipun misalnya dalam perkara pembunuhan terdapat 4 saksi yang melihat secara langsung.

"Jika menurut putusan MK maka ini belum dua buktinya karena semua hanya saksi. Jadi kurang," tutur Harjono.

Menyambung hal ini, Aminah menjelaskan dalam konteks berlakunya putusan MK yang memperluas obyek praperadilan sebenarnya yang dirugikan adalah polisi. Sebab polisi yang paling banyak bertindak dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.

"Praperadilan ini kan belum punya hukum acaranya. Harus ada jembatan memang yang mengatur hukum acara praperadilan. Hukum acara seperti apa dan pembuktiannya seperti apa," kata Aminah.

Sementara itu, mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menilai, MK memang melahirkan norma baru dalam perluasan atas obyek praperadilan.  Padahal kewenangan MK sebenarnya hanya sebatas mengadili persengketaan antar lembaga atau memeriksa suatu undang-undang (UU) bertentangan atau tidak dengan UUD 1945.

"Jadi mungkin ini pelajaran yang akan datang agar MK berhati-hati dalam mengeluarkan putusan untuk tidak melahirkan norma," ujar Abdullah usai diskusi Rancangan UU KPK di Nusantara III Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, Selasa (7/7).

Adapun soal keberlakuan putusan MK terkait perluasan obyek praperadilan yang dianggap tidak bisa berlaku sebelum diubah perundang-undangannya, ia mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, mau tidak mau putusan MK yang meluaskan obyek praperadilan harus tetap berlaku bagi semua norma perundang-undangan yang terkait  

MK TAK LAMPAUI KEWENANGAN - Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia Muzakkir mengatakan dasar hukum memasukkan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan tidak hanya bersumber dari Pasal 77 KUHAP tapi juga Pasal 95 Ayat (1) KUHAP. Dalam Pasal 95 KUHAP disebutkan aturan bahwa tindakan penyidik yang tidak berdasarkan undang-undang (UU). Makna dari pasal tersebut menurutnya bisa diartikan menetapkan tersangka yang tidak berdasarkan UU.

"Jadi bukan Pasal 77 KUHAP. Karena Pasal 77 memang mengatur praperadilan. Tapi pasal lain juga mengatur praperadilan secara implisit soal ganti rugi bila perbuatan dilakukan tidak didasarkan UU. Salah satu kewenangan itu adalah penetapan tersangka. Penetapan tersangka bisa menimbulkan kerugian," ujar Muzakkir saat dihubungi gresnews.com, Selasa (7/7).

Ia menambahkan kalau hanya mendasarkan obyek praperadilan pada Pasal 77 KUHAP tidak tepat. Sehingga ketika mengacu pada Pasal 95 KUHAP, sebenarnya MK tidak melampaui kewenangan alias bukan menjadi positive legislator. Putusan MK soal penetapan tersangka masuk ke dalam obyek praperadilan menurutnya justru menguatkan penetapan tersangka sebagai obyek sebagaimana diatur dalam Pasal 95 KUHAP.

Saat ditanya soal pemohon yang menguji materi Pasal 77 KUHAP soal obyek praperadilan yang tidak menyinggung Pasal 95 KUHAP, ia menilai pemahaman dalam praperadilan harus dipahami secara komprehensif. Maksudnya praperadilan bukan hanya ada dalam Pasal 77 tapi juga pasal lain yang mengatur tindakan melawan hukum yang dilakukan penyidik, sehingga menimbulkan akibat gugatan ganti rugi pada tahapan penyidikan.

"Penyitaan juga tidak ada dalam pasal 77 KUHAP. Penyitaan yang dilakukan melalui perbuatan melawan hukum akan dituntut ganti rugi. Untuk menguji penyitaan sebagai perbuatan melawan hukum dilakukan melalui praperadilan," lanjut Muzakkir.

Sebelumnya, ahli hukum Universitas Pelita Harapan Jamin Ginting saat sidang praperadilan Ilham Arief dengan agenda keterangan ahli mengatakan bahwa putusan MK bersifat normatif legislatif. Maksudnya MK dinilai menciptakan norma dan hukum baru dalam putusan MK soal perluasan obyek praperadilan ditambah penetapan tersangka. Sehingga putusan tersebut dianggap baru bisa berlaku setelah ada putusan perundang-undangan atau dibentuk oleh DPR atau presiden.

Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan sebagian atas uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diantaranya Pasal 77 huruf a tentang obyek praperadilan. Majelis hakim konstitusi dalam putusannya akhirnya memutuskan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk ke dalam obyek praperadilan.

MK juga menafsirkan frasa bukti permulaan, bukti permulaan yang cukup, dan bukti yang cukup dalam KUHAP terkait penyidikan, penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan harus memenuhi minimal dua alat bukti. Putusan ini merupakan uji materi atas Pasal 1 angka 2, angka 14, Pasal 17, Pasal 21 Ayat (1), Pasal 29, Pasal 77 huruf a, Pasal 156 Ayat (2), dan Ayat (4) KUHAP.

Permohonan ini diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah, General Manager Sumatera Light South PT Chevron Pasific Indonesia, yang menjadi terdakwa korupsi bioremediasi. Bachtiar telah divonis selama empat tahun penjara dengan denda Rp200 juta pada Agustus 2014 di tingkat kasasi.

BACA JUGA: