JAKARTA, GRESNEWS.COM – Upaya menghentikan operasional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) oleh sejumlah pihak melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) gagal. Pasalnya MK hanya mengabulkan sebagian gugatan mereka  atas pasal-pasal Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.

"Dalam pokok permohonan menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang pembacaan putusan uji materi UU OJK di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/8).

Namun MK hanya menghapus frasa ‘bebas dari campur tangan pihak lain’ dalam salah satu pasal yang digugat. Selebihnya, soal gugatan atas kewenangan OJK tidak dikabulkan dan dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi.

Pasal yang dikabulkan MK hanya untuk Pasal 1 angka 1 UU OJK. Dalam pasal tersebut MK menghapus frasa ´dan bebas dari campur tangan pihak lain´. Sehingga pasal tersebut menjadi ´Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut. Adapun untuk pasal lainnya, MK menyatakan menolak permohonan pemohon.

Permohonan ini diajukan oleh Salamudin, Ahmad Suryono, dan Ahmad Irwandi Lubis atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK). Ketiga pemohon mengajukan gugatan atas Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 UU OJK. Pasal-pasal yang digugat secara umum berkaitan dengan pengaturan, wewenang, independensi OJK, koordinasi OJK dengan Bank Indonesia (BI), dan sumber pendanaan serta pungutan OJK.

Dalam petitum provisinya pemohon meminta MK menghentikan sementara operasional OJK sampai ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat, memerintahkan BI mengambil alih sementara fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan sampai ada putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat. Lalu memerintahkan BPK melakukan audit, analisis, dan penelitian mendalam pada OJK terkait adanya kerugian keuangan negara serta potensi kerugian keuangan negara.

Adapun petitum dalam pokok perkara, pemohon meminta agar pasal-pasal yang digugat dibatalkan. Lalu pemohon juga meminta agar frasa ‘tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan’ yang terdapat dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, dan Pasal 65, dan Pasal 6 UU OJK dianggap bertentangan dengan konstitusi.

PERTIMBANGAN MAJELIS - Dalam dalil yang diajukan pemohon menilai OJK tidak memiliki landasan konstitusional karena hanya mendasarkan Pasal 34 ayat (1) UU Bank Indonesia sehingga bertentangan dengan UUD 1945. Atas dalil ini, MK menilai UUD 1945 memang tidak memerintahkan secara langsung pembentukan OJK. Tapi bukan berarti pembentukan OJK menjadi inkonstitusional. Sebab pembentukan OJK dilakukan atas perintah UU yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang.

"Lagipula terdapat lembaga yang pembentukannya didasarkan atas perintah UU tapi memiliki constitutional importance seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan lain sebagainya," ujar Patrialis dalam pembacaan pertimbangan mahkamah.

Lalu MK juga menjelaskan pertimbangannya soal dalil pemohon yang menuding fungsi OJK dalam mengatur dan mengawasi sektor jasa keuangan tidak memiliki landasan konstitusional dan menimbulkan penumpukan kewenangan di dalam OJK serta tumpang tindih kewenangan antara BI dan OJK seperti yang terdapat dalam Pasal 5 UU OJK.

Atas dalil ini, MK menilai OJK memang memiliki fungsi pengawasan dan pengaturan.  Sebab tugas pengaturan dan pengawasan yang dilakukan BI hanya bersifat sementara.

Hal ini sesuai dengan Pasal 35 UU BI Tahun 1999 bahwa sepanjang lembaga pengawasan yang dimaksud dalam pasal 34 ayat (1) belum dibentuk, tugas pengaturan dan pengawasan bank dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Sehingga sistem pengaturan dan pengawasan terintegrasi di dalam satu lembaga. Eksistensi OJK menurut MK tidak bisa dikatakan sebagai penumpukan kewenangan tapi merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk UU.

Selanjutnya soal dalil pemohon terkait tumpang tindih kewenangan antara BI dengan OJK, UU OJK telah jelas menentukan kewenangan BI yang beralih menjadi kewenangan OJK. Peralihan kewenangan tersebut tercantum dalam Pasal 7 UU OJK yang menyebutkan pengaturan dan pengawasan kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK.

Adapun lingkup BI mencakup pengaturan dan pengawasan macroprudential. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK hanya membantu BI melakukan himbauan moral pada perbankan.

MK menambahkan meski kewenangan antara OJK dan BI telah jelas, ke depan pembentuk UU perlu melakukan pengaturan atas lingkup macroprudential melalui perubahan UU BI. Sehingga tidak menimbulkan problem implementasi UU OJK. Lalu perlu juga dibangun segera sarana pertukaran informasi secara terintegrasi oleh OJK, BI, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)  seperti yang diamanatkan Pasal 43 UU OJK.

Atas pasal yang menyatakan anggaran OJK bersumber dari APBN dinilai bertentangan dengan konstitusi karena OJK bukan lembaga negara. MK menilai kata lembaga tanpa disertai kata negara, bukan berarti kedudukan OJK menjadi illegal. Sehingga OJK tetap dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang sesuai Pasal 4 sampai Pasal 9 UU OJK. Karena OJK juga menjalankan tugas sesuai perintah UU maka sudah sewajarnya pembiayaan OJK untuk mendanai seluruh kegiatan operasional bersumber dari APBN.

Menurut MK, sumber pendanaan OJK yang masih bersumber dari APBN bersifat sementara,  sampai OJK dapat mendanai seluruh kegiatan operasionalnya secara mandiri. Sementara soal penetapan besaran pungutan dilakukan dengan memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dan kebutuhan pendanaan OJK sesuatu aturan UU. Lalu MK menilai penggunaan APBN untuk kegiatan operasional OJK tetap harus ada batasan waktunya. Batas waktu tersebut menjadi kewenangan pembentuk UU.

Terkait tudingan pemohon bahwa pungutan OJK berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan permasalahan pertanggungjawaban ketika ada kelebihan hasil pungutan. MK menyatakan pungutan yang dilakukan OJK tidak serta merta bertentangan konstitusi. Sebab tidak ada UU yang khusus mengatur pungutan lain yang bersifat memaksa. Sehingga jika pungutan yang ditujukan untuk negara dinyatakan bertentangan dengan konstitusi maka akan banyak pungutan lain yang bertentangan dengan konstitusi.

Soal penyalahgunaan pungutan ketika ada kelebihan pungutan, MK menilai ada Badan Pemeriksa Keuangan yang bisa mengaudit laporan keuangan OJK. Adapun kegiatan OJK juga dilaporkan pada Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden. Sehingga telah ada mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban OJK pada negara dan masyarakat.

TANGGAPAN OJK DAN PEMOHON - Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Walujanto mengapresiasi putusan MK yang menurutnya telah mengawal penegakan konstitusi. Putusan MK ini menurutnya akan menjadi bekal agar OJK bekerja lebih baik lagi. Ke depan OJK tetap membangun kerjasama dan koordinasi serta komunikasi dengan pemerintah dan otoritas lain seperti BI dan LPS.

"Ada beberapa hal yang tadi sangat penting bahwa secara konstitusional OJK merupakan lembaga yang independen,” ujar Rahmat usai pembacaan putusan uji materi UU OJK di MK, Jakarta, Selasa (4/8).

Ia menambahkan terdapat istilah constitutional important meskipun tidak secara eksplisit disebutkan dalam konstitusi. Tapi UU OJK merupakan mandat dari UU BI yang disebutkan secara khusus dalam UUD 1945. Intinya ada kepentingan dan kebutuhan konstitusional untuk membentuk OJK.

Terkait dengan tugas pokok OJK, semuanya disetujui dan dikukuhkan dalam UU OJK. Tugas pokok OJK tersebut memang menjadi bagian dari open legal policy atau kewenangan pembentuk UU untuk merumuskannya. Sehingga kesimpulannya mandate yang diberikan pada OJK sepenuhnya bisa diterima.

Soal pungutan, sumber pendanaan OJK berasal dari APBN pada awalnya. Nanti pada akhirnya berdasarkan putusan MK, OJK harus mendanai dirinya sendiri. Persoalan pendanaan ini nantinya akan dikonsultasikan dengan DPR dan pemerintah. Selanjutnya, soal adanya penghapusan frasa campur tangan orang lain, ia memandangnya tidak masalah. Sebab istilah independen sudah menjelaskan tentang kemandirian OJK. Sehingga frasa tersebut memang tidak diperlukan lagi.

Sementara terkait putusan MK tentang persoalan pungutan OJK, pemohon Ahmad Suryono justru menyarankan lembaga serupa OJK agar mengambil pungutan yang sama seperti yang dilakukan OJK dari stakeholder terkait. Sebab ´kanal´ soal pungutan ini sudah dibuka dan dilegitimasi oleh MK. Lembaga sejenis misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Informasi Publik untuk melakukan pungutan serupa dengan OJK.

"Jadi ini seperti memberi legalitas pada lembaga negara sejenis untuk melakukan hal serupa untuk memungut, menggunakan baru melaporkan dan mempertanggungjawabkannya. MK kan sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut," ujar Suryono usai sidang, Selasa (4/8).

BACA JUGA: