JAKARTA, GRESNEWS.COM - Langkah Gubernur Gorontalo  Rusli Habibie mengangkat kembali lima Komisioner Komisi Informasi (KI) Gorontalo tanpa proses seleksi berbuntut panjang. Selain memicu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado, persoalan itu juga sampai ke Mahkamah Konstitusi.

Sekelompok orang dari Yayasan Penguatan Partisipasi Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat
Indonesia (YAPPIKA),  Yayasan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM)  serta dari perorangan atas nama Muhammad Djufryhard dan Desiana Samosir yang tergabung dalam Freedom of Information Network Indonesia (FoINI) telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Mereka mengajukan gugatan uji materiil Pasal 33 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pasal 33 UU 14/2008 yang berbunyi; "Anggota Komisi Informasi diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya" dianggap bertentangan dengan Pasal  27 Ayat (1), 28D Ayat (1), 28D Ayat (3), Pasal 28F UUD 1945.

Permohonan itu mereka ajukan karena alasan, antara lain ketidakjelasan rumusan Pasal 33 UU tersebut, telah berdampak pada tidak adanya akses yang sama bagi setiap warga negara untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan, termasuk berpartisipasi dalam
pemerintahan, sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

Mereka juga menilai terdapat mekanisme berbeda dalam proses pengisian pimpinan dan anggota Komisi Informasi, sebagai akibat adanya rumusan frasa "dapat diangkat kembali" dalam Pasal 33 UU a quo. Apa yang dilakukan Gubernur Gorontalo, berbanding terbalik dengan proses pemilihan
pimpinan atau anggota Komisi Informasi di provinsi lainnya.  

Selain itu mereka juga menilai apabila Komisi Informasi diangkat atas pertimbangan semata-mata keputusan pemerintah (Gubernur/Bupati/Walikota), tanpa melibatkan lembaga lain, seperti diatur oleh UU maka dalam bekerjanya Komisi Informasi akan berpotensi bias kepentingan dan tidak menjamin perlindungan hak publik atas informasi.

Tindakan Gubernur Provinsi Gorontalo yang mengangkat kembali Komisi Informasi sebelumnya berdasar tafsir atas Pasal 33 UU KIP, dianggap FOINI telah mencederai prinsip good governance dalam pemilihan anggota KI Provinsi. "Selain itu, hal demikian juga menutup peluang bagi calon-calon terbaik untuk mengikuti seleksi anggota KI Provinsi," kata Wahyudi Djafar, pengacara FOINI, kepada gresnews.com pada Kamis (29/9).

Padahal di saat yang sama, 28 provinsi lainnya melakukan proses seleksi ulang Komisi Informasi dengan berpedoman pada Keputusan Ketua KI Pusat Republik Indonesia No 01/KEP/KIP/III/2010.  

Terkait pengajuan ini MK pun telah menggelar sidang pertama perkara Nomor 77/PUU-XIV/2016. "Judicial Review ini kami ajukan agar kejadian seperti di Gorontalo tidak terulang kembali. Seleksi Komisi Informasi harus dilakukan secara terbuka, sesuai prosedur undang-undang dan melibatkan partisipasi aktif warga negara," kata Desiana Samosir, salah seorang aktivis FOINI.

Selaku pemohon, Yappika dan lainnya merupakan  lembaga yang sebelumnya telah berperan mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Peran mereka juga termasuk terlibat di dalam monitoring implementasi UU ini, seperti advokasi pemilihan anggota Komisi Informasi, baik di pusat maupun provinsi.

Fenomena faktual mengenai lenturnya tafsir Pasal 33 UU KIP dinilai Yappika dan FOINI dapat berakibat pada tiadanya proses seleksi calon komisioner Komisi Informasi. Baik di tingkat pusat dan/atau provinsi kabupaten/kota yang independen dan kredibel dalam menjalankan wewenang, tugas, dan fungsinya.   

Dalam petitumnya para pemohon meminta kepada Majelis Hakim MK untuk;
1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang yang diajukan Para Pemohon.
2. Menyatakan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 sepanjang frasa dapat diangkat kembali bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dibaca dapat dipilih kembali melalui suatu proses seleksi sebagaimana diatur Pasal 31 dan Pasal 32.
3. Menyatakan Pasal 33 sepanjang frasa dapat diangkat kembali tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,  sepanjang tidak dibaca dapat dipilih kembali melalui suatu proses seleksi sebagaimana diatur Pasal 31 dan Pasal 32. Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

KEPASTIAN PELANGGARAN - Sementara itu Ketua Majelis Hakim Konstitusi perkara nomor 77/PUU-XIV/2016 mengingatkan para pemohon agar meyakinkan majelis, bahwa terkait kasus pengangkatan KI Provinsi Gorontalo masalah yang terjadi bukan semata persoalan adanya salah tafsir, namun juga norma.

"Saudara harus meyakinkan, bahwa ini bukan karena gubernurnya yang salah tafsir. Tapi memang karena normanya yang bermasalah, normanya yang bertentangan dengan konstitusi," kata Ketua Majelis Hakim Aswanto.

Lewat Surat Keputusan Nomor 323/11/VIII/2015 tentang Pengangkatan Anggota Komisi Informasi Provinsi Gorontalo Periode 2015 sampai 2019, Gubernur Gorontalo menetapkan nama-nama incumbent untuk menduduki posisi KI pada periode 2015-2019. Ketetapan Gubernur ini dilakukan tanpa proses seleksi sebagaimana yang dipersyaratkan UU 14 Tahun 2008.

Dalam Pasal 30 Ayat (2) (3) dan (4) UU No 14 /2008 disebutkan bahwa rekrutmen calon anggota Komisi Informasi dilaksanakan oleh Pemerintah secara terbuka, jujur, dan objektif. Daftar calon anggota Komisi Informasi wajib diumumkan kepada masyarakat, dan setiap orang berhak mengajukan pendapat dan penilaian terhadap calon anggota Komisi Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan disertai alasan.

Sementara pada Pasal 32 disebutkan bahwa proses penetapan calon anggota Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota dilakukan dengan mengajukan nama-nama hasil rekrutmen kepada DPRD Provinsi dan/atau DPR kabupaten/kota oleh gubernur dan/ atau bupati/walikota sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang calon dan paling banyak 15 ( lima belas) orang calon.

Selanjutnya, DPR provinsi dan/ atau kabupaten/ kota akan memilih anggota Komisi Informasi provinsi dan/ atau Komisi Informasi kabupaten/ kota melalui uji kepatutan dan kelayakan. Anggota Komisi Informasi provinsi dan/ atau Komisi Informasi kabupaten/kota yang telah dipilih oleh DPR  provinsi dan/ atau DPR kabupaten/ kota selanjutnya ditetapkan oleh gubernur dan/ atau bupati/walikota.

Selain mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, pada 9 November 2015 mereka juga
mengajukan gugatan ke  PTUN Manado, namun persidangan baru dimulai pada 5 Januari 2016 lalu. Selain dinilai melanggar SK KIP Pusat, keberatan FOINI antara lain karena mereka kecewa dengan kinerja yang ditunjukkan Komisi Informasi Gorontalo selama ini.  

Menurut Desiana Samosir dalam rentang waktu jabatan mereka empat tahun, Komisioner KI Gorontalo menerima 22 Permohonan Sengketa Informasi. Namun hanya satu perkara yang diselesaikan hingga masa jabatan mereka berakhir pada 10 Desember 2014. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: