JAKARTA, GRESNEWS.COM – Selama 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani sejumlah perkara korupsi yang melibatkan berbagai unsur, mulai dari kepala daerah, hakim, anggota dewan maupun para pengusaha. Dalam sejumlah penanganan perkara,  KPK tak luput dari sejumlah kritik, karena adanya sejumlah kejanggalan dalam proses penyelidikan perkara tertentu. Baik dalam mekanisme pemeriksaan saksi maupun penetapan tersangka yang dinilai kurang transparan.

Salah satu kasus terbaru yang sempat dipersoalkan publik, adalah langkah penahanan terhadap Sekretaris Daerah Kabupaten Kebumen Adi Pandoyo dan seorang dari swasta Basikun Suandhi Atmojo atau yang dikenal dengan Ki Petruk. Upaya penahanan Adi Pandoyo ini sempat membuat bingung awak media karena keduanya belum pernah diumumkan sebagai tersangka kasus korupsi.

Selain itu, dalam jadwal pemeriksaan status keduanya hanya sebagai saksi. Status tersangka Adi Pandoyo serta Basikun baru diketahui dalam konferensi pers yang digelar Juru Bicara KPK Febri Diansyah, saat kedua tersangka keluar dari pemeriksaan. Adi dijebloskan ke dalam rumah tahanan di Polres Jakarta Timur, sedangkan Basikun ditahan di rumah tahanan Polres Jakarta Pusat.

Febri yang disoal tentang tertutupnya penanganan perkara kedua tersangka itu, hanya menyebut bahwa penahanan keduanya mengacu Pasal 21 KUHAP, ada alasan objektif dan subjektif penahanan. "Objektif ancaman pidana lima tahun atau lebih, dan ada pidana lain subjektifnya termasuk kekhawatiran melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidana dan disimpulkan dari info-info penyidik," kata Febri memberikan alasan penahanan ini, Kamis (29/12).

"Selain alasan objektif dan subjektif, penahanan dilakukan setelah penyidik meyakini bukti-bukti jauh lebih kuat dibanding bukti-bukti awal saat peningkatan status ke penyidikan," tambah Febri.

Sedangkan mengenai kapan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) atas keduanya diterbitkan, Febri enggan mengungkapkannya. Namun ia memastikan Sprindik telah ditandatangani sebelum upaya penahanan. Dari informasi yang beredar, Adi dan Basikun telah menyandang status tersangka lebih dari sepekan lalu.

Dengan penahanan Adi dan Basikun, total ada lima orang tersangka yang dijerat KPK dalam perkara korupsi dugaan suap ijon proyek di Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.  Sebelumnya, KPK telah menetapkan tiga orang tersangka. Yakni  Sigit Widodo salah seorang PNS di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kebumen dan  Ketua Komisi A DPRD Kebumen Yudhy Tri Hartanto, serta Direktur Utama PT OSMA Group Hartoyo.

STATEGI ATAU SALAHI PROSEDUR - Sebelum kasus Adi dan Basikun, KPK juga pernah melakukan hal yang sama (menahan seseorang sebelum mengumumkan status tersangka) yakni  kepada Hartoyo dalam perkara yang sama. Hartoyo  sebelumnya dianggap buron, karena lolos dalam operasi tangkap tangan KPK. Tetapi status Hartoyo ketika itu belum diumumkan sebagai tersangka.

Hartoyo pun akhirnya mendatangi KPK selang beberapa hari setelah aksi penangkapan atau padaJumat 21 Oktober 2016. Ia dijadwalkan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Sigit Widodo. Usai keluar pemeriksaan pada pukul 22.30 WIB, ia langsung mengenakan rompi tahanan dan dikawal oleh petugas KPK. Ia dinyatakan sebagai tersangka pemberi suap kepada Sigit Widodo senilai Rp70 juta dari komitmen pemberian sebesar Rp750 juta.

Setelah Hartoyo, juga ada mantan Bos Lippo Group, Eddy Sindoro. Status tersangkanya justru diketahui surat tuntutan Jaksa KPK atas terdakwa panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution pada 21 November 2016. Pimpinan KPK, Laode Muhamad Syarif membenarkan soal status tersangka Eddy Sindoro ini. Sejumlah pimpinan KPK menutup rapat soal penetapan tersangka Eddy Sindoro ini. Sebulan kemudian yaitu pada 23 Desember 2016 status Eddy baru resmi diumumkan.

Meskipun telah menghilang hampir satu tahun, namun tidak terlihat upaya KPK serius mencari Eddy Sindoro. Febri Diansyah hanya menghimbau agar yang bersangkutan menyerahkan diri. Eddy Sindoro diketahui telah dicegah sejak 28 April 2016 untuk bepergian keluar negeri. Tetapi informasi yang beredar, sebelum surat pencegahan dikirim ke Ditjen Imigrasi Chairman PT Paramount International Enterprise itu diduga sudah melarikan diri.

Tidak hanya disitu, meski telah ditetapkan tersangka sejak akhir November, tidak ada jadwal pemeriksaan terhadap Eddy Sindoro. Sebulan kemudian bersamaan dengan pengumuman sebagai tersangka, Febri menyatakan jika pihaknya telah memeriksa 15 orang saksi.

Demikian juga dengan penahanan Fahmi Darmawansyah, suami aktris senior Inneke Koesherawati yang seorang pengusaha kasusnya baru diketahui belakangan. Bedanya, Fahmi telah ditetapkan sebagai tersangka dalam suap pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada tahun 2016.

Padahal, status pemeriksaan Fahmi ketika itu adalah saksi bukan tersangka. Maqdir Ismail, pengacara Fahmi juga mengaku bingung atas upaya penahanan KPK. Ia pun membuka peluang untuk menggugat hal ini melalui mekanisme praperadilan. "Kita lihat saja nanti dan tentu tergantung dari klien apa mau memaafkan kesalahan ini," ujarnya kepada gresnews.com.

Menanggapi mekanisme penanganan perkara kasus korupsi ini, ahli Hukum Acara Pidana Adna Pasyladja berpendapat apa yang dilakukan KPK ini sangat rentan untuk digugat jika tersangka tersebut dalam hal ini Fahmi mengajukan praperadilan atas penahanannya. Adnan meminta KPK berhati-hati dalam melakukan proses hukum terhadap seseorang agar tidak sering mendapat gugatan.

"Sebenarnya yang jadi masalah, ada beberapa hakim berpendapat seseorang bisa jadi tersangka kalau sudah diperiksa, walau hanya diperiksa sebagai saksi. Yang jadi pertanyaan kalau dia belum pernah diperiksa, lalu ditahan itu jadi masalah,"   kata Adnan saat dikonfirmasi gresnews.com, Minggu (25/12).


Sedangkan mengenai kasus Eddy Sindoro pemeriksaan saksinya tak dipublikasikan, sebelum mengumumkan secara resmi status tersangka Eddy, Ahli Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana Indriyanto Seno Adji menganggap hal tersebut bisa dibenarkan,  dengan alasan untuk melindungi para saksi dari intervensi pihak-pihak yang berkepentingan.

"Iya physical protection of witness (melindungi saksi secara fisik). Apalagi kalau membahayakan korporasi, kadang dan seharusnya jadwal akan berubah bagi kepentingan lembaga. Ingat supir Nurhadi, yang sampai sekarang tidak bisa ditemukan?" jelas Indriyanto.


TRANSPARANSI TERKIKIS - Sikap tidak terbuka KPK dalam menangani perkara korupsi menjadi pertanyaan tersendiri, apakah lembaga ini masih menjunjung tinggi asas transparansi seperti yang diamanatkan undang-undang. Setidaknya ada dua aturan hukum yang memerintahkan KPK untuk menjunjung tinggi asas transparansi.

Pertama, Pasal 5 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Dalam penjelasan huruf b berbunyi, keterbukaan adalah sebagai azas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja KPK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Huruf c, menjelaskan akuntabilitas adalah azas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan KPK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain itu, Pasal 20 ayat (1) UU KPK, menjelaskan bahwa KPK bertanggung jawab kepada publik atas pelaksanaan tugas dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK. Pasal 20 ayat (2) angka 1 huruf c menyebutkan, pertanggungjawaban publik dilaksanakan dengan membuka akses informasi.

In-transparansi KPK ini semakin kentara jika penanganan menyentuh aparat penegak hukum seperti kepolisian. Dalam kasus korupsi Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, KPK ternyata melayangkan surat panggilan kepada perwira menengah dan perwira tinggi Polri yang kala itu menduduki jabatan di Polda Sumatera Selatan.

Antara lain pemeriksaan dilakukan terhadap mantan Kapolda Sumatera Selatan Irjen Djoko Prastowo, ‎mantan Dirkrimum Polda Sumsel Kombes Daniel Tahi Monang Silitonga, mantan Kasubdit III Ditreskrimsus Polda Sumsel AKBP Hari Brata, mantan Kasubdit I Ditrsekrimum Polda Sumsel AKBP Richard Pakpahan, dan mantan Kasubdit III Ditreskrimsus‎ Polda Sumsel AKBP Imron Amir mantan Kapolres Banyuasin AKBP Prasetyo Rahmat Purboyo, AKP Masnoni, serta Brigadir Chandra Kalevi.‎

Para petinggi Korps Bhayangkara itu dipanggil dalam rentang waktu 20 hingga 22 Desember 2016 lalu. Namun nama mereka sama sekali tidak ada di dalam jadwal pemeriksaan, padahal Yan Anton statusnya sudah menjadi tersangka dan beberapa saksi lain namanya masuk dalam jadwal pemeriksaan penyidik.

Febri Diansyah, yang  ditanya mengenai pemeriksaan para perwira Polri ini mengaku tak bisa menjawab secara spesifik. "Masih perlu dicek lebih jauh baru bisa mendapatkan info terkait ada atau tidak, apakah hadir atau tidak, tidak hadir, apakah jadwal ulang proses perkembangan  lebih lanjut," terang Febri.

Begitu pula saat ditanya kaitan mereka dalam perkara Yan Anton, Febri tidak bisa menjelaskannya. "Belum dapat info rinci karena detail penyidikan tapi bisa bersama detailnya di proses persidangan yang akan dilakukan di PN Tipikor Palembang akan," ujarnya.

Sementara Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar membenarkan pihaknya telah meminta keterangan 8 anggotanya terkait kasus ini. "Hasilnya sudah diinformasikan. Hal-hal yang masih dibutuhkan, kita siap membantu lagi," kata Boy di kantornya, Rabu (28/12).

Boy menjamin pihaknya tidak akan menghalangi tugas KPK dan melindungi anggotanya jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana. "Koordinasi kita dengan KPK sudah bagus sekali, nggak ada masalah. Jadi jangan khawatir, Polri tidak akan melindungi orang-orang yang bersalah," terangnya.

BACA JUGA: