JAKARTA, GRESNEWS.COM - Promosi jabatan bagi seorang hakim sejatinya adalah sebuah prosesi yang sangat biasa. Hal itu pula yang kini tengah dialami Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nur Aslam Bustaman yang mendapatkan promosi sebagai Hakim Tinggi di Pengadilan Tinggi Bangka Belitung.

Perempuan yang dikenal tegas di PN Jaksel ini bakal memulai karirnya usai Lebaran tahun ini. "Betul dimutasi ke Babel, habis lebaran, sekarang masih tunggu SK (surat keputusan)," kata Kepala Hubungan Masyarakat PN Jaksel Made Sutrisna kepada Gresnews.com, Senin (29/6).

Berdasarkan UU Nomor 49 Tahun 2009, promosi Nur Aslam sebagai hakim tinggi ini memang sudah memenuhi syarat. Dalam Pasal 15 Ayat (1) UU tersebut, untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan tinggi, seorang hakim harus memenuhi syarat umur dan pengalaman setidaknya 15 tahun.

Hakim tersebut juga harus lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Nah, Nur Aslam dinilai telah memenuhi syarat-syarat tersebut.

Juru Bicara MA Suhadi mengatakan, promosi hakim Nur Aslam menjadi Hakim Tinggi Bangka Belitung telah melalui proses rapat dalam Tim Promosi dan Mutasi hakim di MA. Hasilnya Nur Aslam layak dipromosi sebagai hakim tinggi.

"Benar Ibu Nur Aslam dimutasi sebagai Hakim Tinggi," kata Juru Bicara MA Suhadi ketika dikonfirmasi Gresnews.com, Senin (29/6).

Meski begitu, di mata kuasa hukum JIS Hotman Paris Hutapea, promosi hakim Nur Aslam justru menjadi masalah lantaran dilakukan di tengah kontroversi putusan yang pernah dia jatuhkan dalam kasus kekerasan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS). Nur Aslam menjatuhkan vonis 10 tahun penjara atas kasus kekerasan seksual yang didakwakan kepada dua guru JIS Neil Bentleman dan Ferdinant Tjong.

Nur Aslam menjatuhkan vonis pidana 10 tahun penjara kepada Neil dan Ferdinant karena dinilai terbukti dan bersalah melakukan kekerasan seksual terhadap mantan siswa JIS. Keduanya melanggar Pasal 82 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

VONIS NUR ASLAM DINILAI TAK ADIL - Hotman Paris Hutapea menilai vonis 10 tahun penjara kepada kedua kliennya tak adil. Hotman menyatakan, sebagai hakim, Nur Aslam menjatuhkan vonis itu dengan mengabaikan fakta-fakta persidangan.

Keputusan majelis hakim, kata Hotman, hanya mengikuti alur cerita yang sengaja didesain oleh orangtua korban seperti tercantum dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang disusun oleh kepolisian. "Neil dan Ferdi sangat, sangat kecewa dan kaget luar biasa dengan putusan majelis hakim ini. Mereka tidak menyangka dengan bukti-bukti yang sangat lemah yang disodorkan oleh JPU, majelis hakim akan mengambil keputusan ini. Karena itu mereka akan terus berjuang mencari kebenaran," tegas Hotman di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dalam putusan tersebut, majelis hakim yang diketuai oleh Nur Aslam Bustaman dengan anggota Achmad Rivai, SH. dan H. Baktar Jubri Nasution SH., tak bulat menjatuhkan vonis. Dalam putusan yang dibacakan bergiliran itu, Nur Aslam adalah hakim yang ingin memvonis kedua guru lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) 12 tahun penjara. Nur Aslam ingin kedua guru divonis 15 tahun penjara. Namun dua hakim lainnya tak sependapat dan akhirnya diputus 10 tahun penjara.

Hotman menambahkan, putusan pengadilan ini sangat memalukan penegakkan hukum di Indonesia. Tidak hanya majelis mengesampingkan seluruh saksi tanpa dasar yang jelas, tapi juga kontradiktif dalam pertimbangan hukumnya sendiri. Dengan mendengarkan pertimbangan hakim, maka guru manapun juga bisa saja divonis melakukan pelecehan seksual terhadap murid.

"Kasus yang melibatkan Neil dan Ferdi sangat tidak wajar, tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan terlihat sangat dipaksakan. Terbukti selama persidangan, JPU tidak berhasil menunjukkan alat bukti yang kuat baik mengenai saksi fakta, lokasi dan waktu terjadinya peristiwa yang dituduhkan ini. Bahkan, secara medis, anak yang dilaporkan mengalami kekerasan seksual diketahui kondisi anusnya normal," kata Mahareksa Dillon, salah satu kuasa hukum Neil dan Ferdi.

TAK SESUAI FAKTA MEDIS - Putusan majelis hakim kasus JIS juga dinilai tak sesuai dengan fakta medis yang disodorkan tim kuasa hukum JIS. Fakta medis itu salah satunya adalah dari keterangan Dr Lutfi dari Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI) di persidangan yang dihadirkan sebagai ahli.

Menurut Dr Lufti, MAK atau anak pertama yang mengaku menjadi korban sodomi tidak pernah mengidap penyakit herpes. Laporan adanya nanah yang di anus MAK bukan disebabkan oleh virus melainkan diduga bakteri.

Dr Lutfi juga menyatakan, bahwa hasil pemeriksaan UGD yang digunakan oleh ibu MAK untuk melaporkan kasus dugaan sodomi anaknya ke polisi baru pemeriksaan awal. Untuk menentukan ada tidaknya sodomi harus dilakukan pemeriksaan lanjutan dan hal itu tidak pernah dilakukan oleh ibu MAK.

"Dengan hasil pemeriksaan yang absurd itulah ibu MAK berkoar-koar tentang sodomi yang dialami anaknya ke polisi dan media. Padahal fakta medis dan fakta peristiwanya tidak pernah ada," imbuh Hotman.

Sejak pertama kasus ini bergulir, kata Hotman, banyak sekali ketidakwajaran yang muncul. Diantaranya, proses persidangan yang tertutup dan sangat membatasi akses publik untuk mendapatkan informasi.

Majelis hakim pun melarang pihak-pihak terkait termasuk pengacara untuk memberikan informasi mengenai proses persidangan ke media. Padahal kasus ini menyangkut nasib guru dan intitusi pendidikan yang sedang menjadi korban kriminalisasi dengan motif mendapatkan uang triliunan rupiah.

Seiring dengan pelaporan kasus dugaan tindak kekerasan seksual di JIS, ibu MAK yang berinisial TPW juga menggugat secara perdata JIS di PN Jakarta Selatan. Awalnya, nilai gugatan sebesar US$12 juta. Namun kemudian, TPW meningkatkan tuntutannya menjadi US$125 juta atau senilai Rp1,6 triliun seiring dengan tuduhan keterlibatan dua guru JIS dalam kasus sodomi.

KASUS JIS JADI KREDIT POIN HAKIM - Tak semua pihak setuju dengan pendapat Hotman Paris. Menanggapi promosi Nur Azlam sebagai Hakim Tinggi, salah satu kuasa hukum petugas kebersihan JIS Saut Irianto Rajagukguk mengaku tak banyak mempersoalkan. Menurutnya promosi kepada hakim hal biasa.

Namun Saut mengatakan keberadannya sebagai Ketua Majelis Hakim kasus dua guru JIS ikut memberikan sumbangsih prestasinya. "Kasus JIS ada nilai positifnya, kasus JIS ikut memberikan kredit poin kepada para hakim," kata Saut kepada Gresnews.com, Senin (29/6).

Tak hanya para hakim yang mendapatkan kredit poin dari kasus JIS. Menurut Saut, sejumlah penegak hukum lain seperti kepolisian juga naik pangkat. Kanit PPA Polda Metro Jaya naik pangkat sebagai Kasat Reskrim di Jakarta Timur.

Anggota Komisi Yudisial Imam Anshori mengaku belum melihat ada hubungan antara penanganan kasus JIS dengan promosi hakim Nur Aslam. Menurutnya, mutasi dan promosi merupakan kewenangan MA. Namun dia menegaskan jika promosi menjadi hakim tinggi pasti didasari atas kiprahnya selama menjadi hakim di Pengadilan Negeri. "Saya tidak tahu apa pertimbangannya, itu kewenangan MA," kata Imam.

NUR ASLAM DIKENAL TEGAS - Siapa Hakim Nur Aslam? Perempuan ini dikenal tegas menghadapi kasus. Tahun 2008 saat menjabat Ketua PN Cibadak, Nur memeriksa tiga hakim yang menjadi anak buahnya. Ketiga diduga menerima suap karena memvonis bebas terdakwa korupsi dana Dispenda Kabupaten Sukabumi.

Di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Nur mengaku menolak tawaran suap agar tidak mempempailitkan perusahaan milik penguasa negeri ini. Di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Nur Aslam juga dihadapkan dengan kasus-kasus yang menyita perhatian publik. Nur menjadi hakim tunggal praperadilan yang diajukan mantan Kadishub DKI Jakarta Udar Pristono. Terakhir kasus dua guru JIS yang divonisnya bersalah dan dihukum 10 tahun pernjara.

Nur Aslam Bustaman lahir pada tanggal 28 Desember 1960. Ibunya almarhum Mursiyah Bustaman adalah seorang hakim agung. Nur Aslam menyelesaikan sarjana S1 dari Universitas Parahyangan Bandung. Karirnya sebagai hakim dimulai di Pengadilan Negeri Sukoharjo.

BACA JUGA: