JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Budi Waseso punya ide yang cukup "buas" untuk menghentikan peredaran Narkotika. Pria yang akrab disapa Buwas itu, ingin menghidupkan lagi tim penembak misterius (Petrus) untuk menghabisi para bandar narkoba.

Untuk melaksanakan idenya itu, Buwas mengaku telah membuat kesepakatan dengan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Menurut Buwas, peredaran narkoba dari luar negeri seperti Malaysia dan Singapura yang masuk ke Indonesia melalui sejumlah jalan tikus di perbatasan harus dijawab dengan sebuah tindakan tegas.

Hal itu penting untuk dilakukan untuk memerangi masuknya peredaran Narkoba dari negara tetangga itu. Sehingga, Buwas pun mengaku sudah melakukan kordinasi dengan Panglima TNI Gatot Nurmantyo guna menempati pasukannya di perbatasan-perbatasan yang disinyalir sebagai pintu masuk para sindikat pengedar jaringan narkoba internasional.

"Karena itu saya sudah meminta kepada TNI untuk jangan ragu-ragu menembak para pengedar yang masuk melalui pintu perbatasan," kata Budi Waseso di Surabaya, Kamis (26/11) lalu.

Buwas mengaku sudah memiliki data sejumlah nama pengedar dan sindikat Bandar yang memasukan barang jenis haram itu ke Indonesia. Menurut Buwas, data yang dimiliki BNN itu sudah diserahkan kepada TNI agar bisa siaga dalam menghapi strategi para sindikat dalam meloloskan barang haram itu ke Indonesia.

Ia pun menegaskan, data yang dimilikinya adalah data yang sudah valid sesuai dengan penyelidikan yang dilakukan oleh para penyidik kepolisian di Indonesia. "Tidak akan ada salah sasaran terhadap aksi petrus yang akan dilakukan bersama TNI di sejumlah perbatasan tersebut," kata Buwas menegaskan.

Ide "buas" yang dilontarkan Buwas dalam upaya menghabisi para bandar narkoba ini mendapatkan tentangan dari elemen masyarakat sipil. Mereka menilai ide itu bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia dan prinsip hukum lainnya yang berlaku di Indonesia.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia mengatakan, ide Budi Waseso menerapkan penembak misterius (Petrus) terhadap Bandar narkoba adalah perbuatan yang melanggar konstitusi. Alasannya, tugas Kepolisian sesuai amanah UUD 1945 adalah menjaga kemanan dan ketertiban.

Kepolisian memiliki tugas melakukan pencegahan dalam tindak kejahatan, termasuk penanggulangan narkoba. Akan tetapi cara yang digunakan oleh petugas kepolisian dalam menjalankan tugas-tugasnya haruslah mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ia menambahkan, aksi penembakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum baik Kepolisian maupun aparat TNI ketika menjalankan tugas dan kewajibannya pun harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menurutnya, ketika aparat penegak hukum berencana menerapkan Petrus terhadap pelaku tindak pelaku kejahatan (criminal), khususnya Bandar narkoba tanpa memperhatikan asas praduga tak bersalah itu adalah perbuatan melawan hukum dan ketentuan konstitusi.

"Kita ini kan negara hukum. Kalau petugas yang menggunakan seragam Polri/TNI secara semena-mena bisa menembak orang itu kan berarti kita tidak mengakui ini sebagai negara hukum seperti yang ditetapkan oleh UUD 1945. Kalau itu dilakukan artinya aparat kita tidak mengakui konstitusi," kata Alvon kepada gresnews.com melalui sambungan seluler, Minggu (29/11).

HARUS LEWAT PENGADILAN - Alvon mengatakan, Indonesia mengadopsi sistem equality before the law, bahwa seseorang itu harus ditetapkan di pengadilan bahwa dia bersalah atau tidak yang kemudian baru dilakukan tindakan-tindakan hukum tertentu jika yang bersangkutan dinyatakan pengadilan bersalah.

Penerapan petrus itu menunjukan bahwa aparat penegak hukum menafikan asas equality before the law tersebut. Pasalnya penembakan misterius terhadap seseorang itu sama halnya dengan tindak kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh negara.

Alvon menambahkan, validitas seseorang benar-benar melakukan tindak kejahatan akan diragukan dengan penerapan petrus yang digembar-gemborkan oleh Budi Waseso. Sebab, identifikasi seseorang itu benar-benar pelaku tindak kejahatan criminal atau bandar narkoba akan tidak berlaku lagi dengan ide ekstrem Buwas yang berdalih hendak membuat efek jera terhadap Bandar narkoba.

"Kalau orang itu benar bersalah, kalau tidak? Artinya rencana Buwas itu berpotensi merugikan negara untuk pelanggaran yang diancam dalam hal mengganti kerugian bagi korban salah tangkap. Tapi kan ini bukan sebatas persoalan kerugian material salah tangkap saja, ini kan menyangkut nyawa orang lain. Itu artinya Negara tengah bermain-main dengan nyawa manusia yang sebenarnya juga telah dijamin oleh konstitusi negara," ujarnya.

Jika penerapan petrus itu diberlakukan, pertanyaannya adalah atas dasar apa petugas kepolisian bisa menetapkan bahwa seseorang itu adalah benar sebagai bandar narkoba? Hal ini juga akan menjadi persoalan berikutnya bagi kepolisian.

"Itu juga menjadi persoalan. Kalau mereka mengatakan kepolisian itu memiliki data dari intel misalnya, memang seberapa valid sih data yang dimiliki intelnya?" ujar Alvon mempertanyakan profesionalitas kinerja intel kepolisian.

Jika Budi Waseso tetap ngotot ingin menerapkan petrus terhadap bandar narkoba, ia pun menantang Budi Waseso untuk mengganti konstitusi negara, khususnya yang termaktub dalam Pasal 1 UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Selain itu, Budi Waseso juga diminta mengganti prinsip-prinsip equality before the law serta ketentuan yang menyatakan seseorang baru bisa dihukum setelah memperoleh putusan pengadilan. "Kalau dia bisa ganti itu semua, silakan saja digunakan idenya itu," tantang aktivis YLBHI itu menegaskan.

PETRUS MELANGGAR HAM - Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil Politik Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Putri Kanesia mengatakan, penerapan penembakan misterius (Petrus) yang hendak digagas oleh mantan Kabareskrim Mabes Polri itu dapat dikategorikan sebagai perbuatan extra judicial killing (pembunuhan diluar proses hukum) yang bertentangan dengan hukum internasional.

Dengan menerapkan petrus, berarti Budi Waseso atau aparat penegak hukum negara tidak melakukan penghormatan dan perlindungan terhadap hak hidup seseorang. "Petrus adalah tindak kejahatan HAM berat," kata Putri, kepada gresnews.com, Minggu (29/11).

Ia menambahkan, sekitar tahun 1981-1985, operasi petrus terhadap para preman yang dianggap telah membuat tindak kejahatan dan meresahkan masyarakat di Indonesia juga pernah dilakukan oleh aparat keamanan ketika Soeharto berkuasa. Sayangnya, operasi petrus terhadap para preman yang dianggap meresahkan masyarakat itu pun hingga kini belum dinyatakan sebagai salah satu kejahatan yang dilakukan oleh negara.

Padahal, Komnas HAM pernah menyelidiki kasus dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan itu terhadap pembunuhan sejumlah orang yang bertato dan dianggap sebagai preman tersebut. Menurut Putri, hingga kini Kejaksaan Agung masih menggantung berkas penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM atas dugaan pelanggaran HAM terkait kasus petrus yang dilakukan oleh aparat keamanan/TNI dengan alasan belum ada pengadilan HAM Adhoc yang dibentuk.

"Dengan rencana Petrus terhadap Bandar narkoba. Apa kita mau mengulang kembali ke sejarah kelam di masa lalu dimana proses hukum tidak ada harganya dan aparat bisa bertindak sewenang-wenang?” tanya Putri mengaku heran atas ide ekstrem Budi Waseso itu.

Ia pun menyarankan, dari pada melakukan penembakan misterius terhadap bandar narkoba, lebih baik BNN melatih aparat penegak hukum di jajarannya dalam memperkuat strategi advokasi yang jelas dalam menindak Bandar narkoba. "Itu jauh lebih penting dari pada aksi penembakan, agar jangan sampai ada salah tangkap," singkatnya.

TIDAK MEMILIKI LANDASAN HUKUM – Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Siane Indriani mengatakan, penembakan misterius (petrus) yang direncanakan oleh aparat penegak hukum terhadap gembong atau bandar narkoba adalah suatu tindakan yang tidak memiliki landasan hukum.

Ia menambahkan, rencana ekstrem Komjen Budi Waseso yang ingin membuat efek jera terhadap pengedar narkoba itu merupakan tindakan pelanggaran atas hak hidup manusia yang dijamin oleh negara. Ia pun menegaskan, jika aparat penegak hukum menerapkan aksi petrus terhadap bandar narkoba akan kembali mengulang kekejaman aparat penegak hukum seperti halnya di era Soeharto.

"Jika benar petrus dilakukan maka kita akan kembali ke zaman Orde Baru (Orba). Dan itu juga tidak memiliki landasan hukum untuk dilakukan," kata Siane kepada gresnews.com.

Ia menambahkan, upaya yang akan dilakukan oleh Buwas itu dinilai sebagai cara pemberantasan pengedaran narkoba yang tidak tepat dan tidak produktif. Ia pun menuding bahwa cara Budi Waseso untuk menghentikan peredaran narkoba dengan menerapkan petrus itu sebagai pelarian dari kegagalan Buwas dalam memberantas narkoba di lingkungan internalnya.

Hal itu dikatakan Siane lantaran fenomena kasus tindak kejahatan narkoba belakangan ini kerap melibatkan aparat kepolisian. "Jika aparatnya tidak korup, tidak mudah disogok maka saya yakin peredaran narkoba di Indonesia juga tidak mengkhawatirkan seperti sekarang ini. Karena salah satu penyebab peredaran narkoba yang saat ini merebak itu karena aparatnya yang masih mau korup," kata Siane menegaskan.

Siane meminta agar Komjen Budi Waseso fokus melakukan tugas pemberantasan narkoba tanpa membuat gaduh keadaan, layaknya seseorang yang hendak mencari popularitas. Beberapa waktu lalu, Buwas menyampaikan ke publik bahwa dirinya akan membuat tahanan khusus bagi para pengedar atau Bandar narkoba di Indonesia dengan membuat kerangkeng alias penjara yang dikelilingi buaya buas.

Siane pun menilai, pernyataan-pernyataan kontroversial Buwas seperti itu harusnya dihentikan oleh perwira tinggi berpangkat bintang tiga itu. Ia mendesak agar BUwas fokus bekerja dan menghentikan pernyataan-pernyataan yang tidak mungkin dilakukan, apalagi terkait melakukan penembakan misterius terhadap Bandar narkoba.

"Pak Buwas seharusnya tidak buat gaduh seperti ini ya, kalau benar-benar Pak Buwas ingin memberantas peredaran narkoba lebih baik dimulai dari Internal Kepolisian, bersihkan dulu anak buahnya. Karena belakangan ini banyak kejadian aparat kepolisian menjadi becking Bandar narkoba," ucapnya memaparkan.

Ini diskresi yang tidak perlu. Sebab, selama ini yang ditindak itu merupakan pelaku atau bandar-bandar kecil, sementara bandar-bandar yang kelas kakap diduga memiliki backing atau bermain dengan aparat kepolisian. "Jadi jangan hanya keras dengan para pelaku atau pengedar kelas kecil saja untuk menunjukan kinerja dan menaikkan popularitasnya saja, apalagi akan menerapkan penembakan terhadap pengedar narkoba," kata Siane.

Padahal ada oknum-oknum aparat yang memiliki diskresi untuk masuk ke dalam jaringan sindikat narkoba yang saat ini tengah diberantas oleh aparat penegak hukum. Dalam Undang-Undang Narkotika Kepolisian memiliki diskresi yang sangat besar untuk melakukan operasi pencegahan dan penghentian terhadap peredaran narkoba, seperti polisi dapat membeli dalam rangka menjebak pengedar narkoba.

Selain itu aparat polisi juga memiliki diskresi untuk melakukan penyadapan terhadap para terduga bandar atau jaringan sindikat narkoba. "Kenapa tidak digunakan saja kewenangan yang sudah didapat itu. jangan malah menggunakan cara-cara penembakan seperti itu," tegasnya.

Buwas sendiri menepis anggapan, rencana BNN menggandeng TNI untuk membentuk Tim Petrus yang bertugas menembak sindikat jaringan pengedar narkoba di perbatasan itu sebagai tindak kejahatan kemanusian dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Ia berdalih, bahwa beredarnya narkoba di Indonesia saat ini lebih mengkhawatirkan bagi generasi penerus rakyat Indonesia.

Buwas pun menilai para pelanggar HAM sesungguhnya adalah para pengedar atau bandar yang dengan sengaja mengedarkan barang haram itu ke Indonesia dan berdampak pada pembunuhan secara sistematis terhadap generasi muda Indonesia. "Justru peredaran narkoba itu lah yang masuk kategori pelanggaran HAM," tegas Buwas. (Gresnews.com/Rifki Arsilan)

BACA JUGA: