JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masyarakat adat hingga kini masih bersusah payah mencari perhatian dan pengakuan negara dalam hal perlindungan hak-hak mereka atas tanah ulayat. Salah satu keinginan besarnya adalah membentuk peradilan adat.

Direktur Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi mengatakan, hingga kini belum ada titik terang perihal pembentukan lembaga peradilan adat bagi masyarakat. Padahal, AMAN yang mewadahi kumpulan komunitas-komunitas masyarakat adat nusantara, mengaku sudah menempuh berbagai cara agar pemerintah melegalkan pengakuan secara konstitusional terhadap status dan keberadaan masyarakat adat.

Sebagai salah satu anggota AMAN yang berinisiatif membentuk Satgas Masyarakat Adat, Erasmus menyebut, peradilan adat memiliki peran penting melindungi warisan dan tradisi masyarakat termasuk ruang hidup untuk tumbuh dan berkembang.

"Lembaga ini lebih efektif dan menggunakan pendekatan yang lebih humanis dan manusiawi dalam menyelesaikan suatu masalah," kata Erasmus kepada gresnews.com, Kamis (27/8).

Konsolidasi dan penyelesaian masalah dalam lembaga peradilan adat, kata dia, akan lebih mengakomodir kepentingan masyarakat. Bukan sebaliknya, seperti selama ini ditempuh melalui jalur hukum di peradilan umum hingga pidana.

Dalam artian, hukuman pada konteks peradilan adat yang hendak dibentuk lebih mengarah pada bentuk kompensasi dari pihak yang bersalah guna memulihkan kerusakan alam atau pun bentuk pelanggaran lainnya.

KOMPLEKSITAS PERADILAN ADAT - Model peradilan adat didefinisikan sebagai simbol perwakilan masyarakat adat dalam memperjuangkan aspirasinya. Lewat lembaga advokasi semacam ini, pengakuan status sosial dan ruang hidup masyarakat adat menjadi lebih terjamin.

Namun demikian, terkait pembentukannya, sejauh ini belum ada titik terang. Sudut pandang masyarakat adat untuk melindungi haknya pun kerap menjadi persoalan.

Erasmus menyebutkan, lembaga peradilan adat telah diinisiasi sejak tahun 2009 melalui sejumlah proses diantaranya pengajuan draf yang pada intinya mendorong pemerintah membuat landasan pengakuan konstitusional terhadap masyarakat.

"Tetapi hingga tahun 2014, RUU tentang peradilan adat tak kunjung disahkan. Alasannya, sesuai keterangan dari tim pansus masyarakat adat disebutkan bahwa pemerintah tidak serius karena dalam setiap pembahasan para pemangku kepentingan tidak hadir," ucapnya.

Dalam keterangannya, menurut Erasmus, saat ini diperlukan sistem penguatan hak masyarakat yang didaului oleh pengakuan konstitusional semisal Undang-Undang (UU).

Di tengah proses tarik ulur pembentukan peradilan adat, pemerintah di sisi lain dinilai justru memberikan kemudahan bagi korporasi. Salah satunya melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat-Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat dan Lembaga Adat Daerah.

Peraturan tersebut, lanjut Erasmus, merupakan kebijakan janggal yang hingga saat ini justru masih berlaku di daerah-daerah. Beleid itu dinilai sebagai dasar hukum untuk Kabupaten/Kota hingga Provinsi terkait urusan adat dan lisensi perizinannya. Aturan tersebut ditentang karena dianggap meminggirkan masyarakat dan mengakomodir kepentingan para elit lokal serta korporasi.

"Aturan itu masih berlaku dan menjadi dasar hukum pemerintah daerah bahkan mereka membentuknya secara berjenjang dari Kecamatan hingga Propinsi," tutur Erasmus.

KASUS KEKERASAN - Tidak adanya sebuah lembaga advokasi khusus bagi masyarakat adat telah berimplikasi pada terjadinya berbagai aksi pelanggaran hingga kekerasan. Keberadaan dan eksistensi masyarakat adat di Indonesia pun semakin terabaikan. Hal itu, dilihat dari berbagai sudut pandang kekerasan dan konteks perampasan tanah-tanah adat oleh korporasi.

Berdasarkan data AMAN, terdapat tumpukan pelanggaran dan kekerasan di kawasan hutan adat. Maraknya konflik disebabkan legalisasi bisnis masuk di wilayah adat tanpa sepengetahuan masyarakat.

Data tahun 2014 menunjukkan telah terjadi kasus di Kalimantan Barat yang melibatkan masyarakat adat Semunying Jaya dengan PT Ledo Lestari yang bergerak di bidang pengelolaan sawit. Dalam kasus ini masyarakat Semunying turut menggugat Bupati Bengkayang sebagai pihak yang mengeluarkan izin konsesi. Kebijakan pembukaan kawasan hutan di atas lahan adat tersebut ditengarai sebagai pemicu utama konflik antara masyarakat, pemerintah dan korporasi.

Sementara, konflik lainnya juga dihadapi masyarakat adat Colol, Manggarai, Nusa Tenggara Timur dengan instansi pemerintah yaitu Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Konflik tersebut berujung pada tewasnya lima warga adat Colol oleh aparat setempat.

Dalam aksi perlawanannya, masyarakat adat setempat berupaya mempertahankan lahan kopi miliknya. Baru-baru ini, pada tahun 2014, bahkan pemerintah setempat melarang masyarakat untuk memetik kopi.

Di samping itu, data kekerasan terhadap masyarakat adat juga turut dihimpun oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Kepala Departemen Penguatan Organisasi Rakyat KPA Kent Yusriansyah menyebut, total luas areal atau lahan yang diperebutkan kembali oleh rakyat (petani, masyarakat adat dan lain-lain) dalam konflik agraria tahun 2014 mencapai seluas 2.860.977 hektare.

"Dengan total sebanyak 472 konflik yang tersebar di Indonesia," sebut Kent kepada gresnews.com, Kamis (27/8).

Selain itu, terdapat beberapa kategori kekerasan yang dialami masyarakat dalam konflik agraria yang terjadi tahun 2014 lalu. Korban dimaksud terdiri dari 256 korban yang ditahan, 110 dianiaya, 19 meninggal dunia dan 17 orang terluka parah akibat tertembak aparat kepolisian.

Sementara, jumlah Kepala Keluarga (KK) yang terlibat dalam perjuangan atas perebutan kembali sumber-sumber agraria termasuk wilayah adat mencapai 105.887 KK.

KPA mencatat, selama tahun 2014, terdapat 8 provinsi yang masuk dalam daftar daerah paling rawan meletup konflik agraria. Kent menyebutkan, nama-nama daerah dimaksud antara lain, Riau dengan 52 konflik atau 11,2 %, Jawa Timur yaitu 44 konflik (9,32 %), Sumatera Utara 33 konflik (6,99 %), Jawa Tengah mencapai 26 konflik (5,51 %), DKI Jakarta 25 konflik (5,3%), Banten 20 konflik (4,24 %), dan Sulawesi Selatan 19 konflik (4,03%), serta Jambi 17 konflik (3,60 %).

BACA JUGA: