JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus pelecehan seksual di Jakarta Intercultural School (JIS) oleh pekerja kebersihan dan dua guru terhadap siswanya bak drama tanpa akhir. Kasus yang tak hanya soal dugaan pelecehan seksual tetapi disertai berbagai macam motif di antaranya motif uang hingga menewaskan Azwar, salah satu tersangka.

Sejak 2014 kasus ini mulai disidik oleh Polda Metro Jaya atas laporan orang tua MAK, salah satu siswa JIS yang diduga korban sodomi. Ada enam orang yang kesemuanya adalah pekerja kebersihan JIS, ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Virgiawan Amin, Syahrial, Agun Iskandar dan Zainal Abidin serta Afrisca. Satu tersangka bernama Azwar tewas saat proses penyidikan.

Tewasnya Azwar mulai menguak kejanggalan kasus JIS. Azwar ditemukan tewas penuh dengan lebam di wajahnya. Namun polisi waktu itu menyatakan Azwar tewas bunuh diri.

Kasus ini terus bergulir ke pengadilan hingga kelima terdakwa divonis bersalah melanggar Pasal 82 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 55 ayat (1)  KUHP tentang turut serta melakukan perbuatan kekerasan cabul. Terdakwa dihukum 7 hingga 8 tahun penjara dan denda Rp100 juta.

Atas vonis tersebut pekerja kebersihan melakukan banding. Namun upaya banding kandas. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut. Dan kini pekerja kebersihan JIS masih melakukan kasasi.

Di samping melakukan kasasi, pekerja kebersihan JIS melalui kuasa hukumnya telah melaporkan dugaan kekerasan oleh penyidik kepada Azwar hingga tewas ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya dan Mabes Polri. Propam telah menginvestigasi.

TUNGGU INVESTIGASI PROPAM - Kuasa hukum pekerja kebersihan JIS Saut Irianto Rajagukguk berharap polisi akan melakukan autopsi atas jenazah Azwar. Dengan autopsi tersebut akan terungkap kejanggalan tewasnya Azwar dan adanya rekayasa kasus ini.

Azwar ditemukan tewas di sebuah toilet Polda Metro Jaya pada 25 April 2014. Azwar diduga telah bunuh diri dengan meminum cairan pembersih, versi polisi. Namun, menurut pihak Azwar, di wajah Azwar ditemukan banyak lebam akibat dipukul.

Menurut Saut, hasil autopsi akan mengubah alur cerita kasus JIS. Jika kemudian terbukti ada pelanggaran prosedur dalam penanganan kasus ini, semua putusan pengadilan akan gugur. Sebab, putusan majelis hakim terhadap lima pekerja JIS berdasarkan keterangan verbal dari penyidik yang terbukti ada rekayasa.

Hanya, Saut tak bisa menyembunyikan kekhawatiran hasil investigasi Propam Polda Metro akan menyatakan tidak ada pelanggaran prosedur oleh penyidik. Jika itu terjadi, untuk mengungkap misteri kematian Azwar dengan autopsi menjadi nihil.

"Saya ragu akan dikabulkan, perjuangan ini menghadapi tembok besar," jelas Saut kepada gresnews.com, Sabtu (27/6).

Namun bagi Saut dan pekerja kebersihan, perjuangan mencari kebenaran tidak akan berhenti. Mereka terus melakukan perlawanan untuk membuktikan kasus ini rekayasa dan bermotif uang.

Hingga kini Propam Polda Metro Jaya masih terus menyelidiki kasus dugaan kekerasan yang dilakukan penyidik kasus JIS. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Metro Kombes M Iqbal mengatakan, laporan yang menduga ada salah prosedur oleh penyidik masih terus ditangani.

"Masih ditangani Propam, belum ada (hasilnya)," jelas Iqbal kepada gresnews.com, Sabtu (27/6).

KOMPOLNAS SEBUT ADA KEJANGGALAN -  Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai penanganan kasus JIS terlihat janggal. Penyidik Polri masih menjadikan kekerasan sebagai upaya untuk memaksa seseorang untuk dinaikkan ke tahap penyidikan.

Menurut Komisioner Kompolnas Muhammad Nasser, penggunaan kekerasan dalam proses penyidikan sebuah kasus seksual pada anak untuk mencari tersangka sangat tidak dibenarkan. Hal itu justru akan berakibat fatal karena orang yang tidak salah dapat dijadikan tersangka karena adanya unsur pemaksaan dan kekerasan.

Nasser juga mendukung positif langkah Propam Polda Metro Jaya dan Mabes Polri yang melakukan investigasi terhadap kematian tak wajar salah satu pekerja kebersihan PT ISS dalam penyidikan kasus kekerasan seksual di JIS. "Setiap kematian tak wajar dalam proses penyidikan di kepolisian harus diinvestigasi," tegasnya. 

Langkah Propam sudah tepat, karena institusi kepolisian harus memastikan bahwa tidak ada penggunaan kekerasan dalam penetapan tersangka kekerasan seksual pada anak. "Tidak ada polisi yang kebal hukum," tegas Nasser.

Dalam kesempatan yang sama Komisioner Kompolnas lainnya Adrianus Meliala mengatakan, ada potensi pemaksaan oleh penyidik polisi dalam mencari pengakuan sebagai pelaku kasus kekerasan seksual, salah satunya dalam kasus yang melibatkan para pekerja kebersihan PT ISS terhadap murid TK JIS.

Adrianus mengatakan jika pengakuan para pelaku di bawah ancaman maka hasil penyidikan menjadi tidak akurat. Proses penanganan perkara sesungguhnya memiliki mekanisme berjenjang. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang akurat, dapat dipertanggungjawabkan dan tidak menjadikan orang tidak bersalah sebagai tersangka.

Di kepolisian sudah ada sistem cek dan ricek terhadap penanganan kasus. Itu sebabnya ada jenjang jabatan seperti di level penyidik ada kanitnya, dari kanit ada wasidik, ada satuan pengawasnya. Lalu dari Polri jika sudah P19 ada jaksa, jaksa kemudian diverifikasi di sidang.

"Mekanisme check and recheck itu sudah baku. Tapi jika semua level itu tuli maka mekanisme tidak akan berjalan dan penunjukan tersangka bisa orang tak bersalah atau sebaliknya. Dan ini sering terjadi karena mekanisme tersebut tidak berjalan,” kata Adrianus.

Adrianus lantas mencontohkan proses penyidikan kasus kekerasan seksual di JIS. Saat penyidikan, proses cek dan ricek tidak terjadi. Penyidik seperti memaksakan seseorang menjadi tersangka, sehingga muncul banyak kejanggalan.

"Untuk kasus JIS yang OB (pekerja kebersihan), saya menduga para penyidik ditunjuk secara tidak proper (ahli). Kompolnas  sudah minta Kanit Pominal (pengawas internal) untuk menginvestigasi kemungkinan kekerasan terhadap OB di JIS untuk mengakui perbuatan sodomi. Kalau pengakuan di bawah paksaan menjadi tidak nyambung. Jadi, semua pengakuan mereka bohong semua. Itulah fungsi dari cek dan ricek," tegasnya.

GERILYA ORANG TUA SISWA JIS - Kasus JIS terasa janggal ketika para orangtua JIS mendukung kepada lima pekerja kebersihan bukan orang tua korban. Malah para orang tua siswa JIS menuding ibu korban kekerasan seksual punya motif lain. Sebab, ibu korban juga menggugat perdata JIS yang nilainya fantastis. Dari US$12 juta naik menjadi US$125 juta atau setara dengan Rp1,6 triliun.

Salah satu tokoh pengusaha wanita yang juga adalah orang tua murid di JIS, Shinta Kamdani, mengatakan, pada awalnya kasus dugaan kekerasan seksual di JIS ini memang sangat meyakinkan. Tapi sejalan dengan bergulirnya persidangan dan terungkapnya fakta-fakta medis dan fakta lainnya, menjadikan kasus ini semakin absurd. Apalagi di balik pelaporan kasus ini ke polisi juga muncul permintaan uang ke JIS hingga triliunan rupiah sebagai ganti rugi.

"Sebagai orang Indonesia saya sedih, prihatin bahwa ada 7 pekerja kebersihan dan guru di JIS harus menjadi korban dari perbuatan yang saya yakin tidak pernah mereka lakukan. Jangan dilupakan, walaupun ini sekolah internasional yang menjadi korban kasus ini adalah orang-orang Indonesia yang hidupnya sudah susah," jelas Shinta kepada sejumlah media, Rabu (18/3), Jakarta.

Shinta menilai kasus ini sebagai bentuk kriminalisasi, karena tidak didukung oleh bukti-bukti medis yang kuat. Bahkan dalam kasus dua guru yang melibatkan Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong, tempat dan waktu peristiwanya tak jelas. Untuk meyakinkan adanya kasus ini publik dicekoki dengan informasi yang seolah-olah nyata. "Opini publik yang menyesatkan telah menjadikan kasus JIS seperti nyata," kata Shinta.

Orangtua siswa JIS lain yang memberikan dukungan adalah pengusaha Sandiaga S Uno. Sandi sempat langsung mengikuti sidang kelima pekerja kebersihan JIS. Sandi melihat kasus JIS sejak telah janggal. Sebab, kata Sandi, sejak lama JIS dikenal dengan sistem pendidikan yang sangat ketat, termasuk sistem keamanan.

BACA JUGA: