JAKARTA, GRESNEWS.COM - Lembaga penegak hukum kembali tercoreng dengan penangkapan hakim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka ditangkap karena diduga menerima suap dalam penanganan perkara  tindak pidana korupsi lainnya. Kasus penangkapan hakim oleh lembaga anti rasuah ini, yang kesekian kalinya, membuktikan bahwa  pembinaan dan pengawasan hakim oleh jajaran Mahkamah Agung tidak berjalan semestinya. Hal itu memunculkan desakan agar sistem pengawasan peradilan direformasi.

Menanggapi desakan itu Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Suhadi mengakui telah kecolongan dalam kasus penangkapan Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu. Dimana hal itu bukan merupakan yang pertama kalinya terjadi.

Menurutnya terkait kasus penyuapan tersebut, MA akan melakukan evaluasi sistem pengawasan terhadap aparatur pengadilan dan hakim.  "Kita akan evaluasi sistem pengawasan dan pembinaan hakim dan aparatur pengadilan di daerah-daerah," kata Suhadi di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (25/5).

Suhadi berdalih  kendala pengawasan selama ini disebabkan sulitnya melacak praktik suap, bila praktik tersebut dilakukan melalui sambungan telepon. Pasalnya banyak pihak yang melakukan lobi perkara kepada hakim secara tidak langsung.

"Sekarang teknologi sudah canggih,  jadi hubungan telepon tidak bisa diketahui oleh orang lain, beda halnya jika ketemu ke rumah  atau di kantor, terlihat secara fisiknya, kalau lewat telepon sulit untuk dilacak," kilahnya.

Secara terpisah Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengakui akibat banyaknya kasus korupsi yang terungkap oleh KPK. Lembaganya kini menjadi sasaran kritik tajam banyak pihak. Namun banyaknya kritik itu menurutnya justru positif, hal itu menunjukkan kepedulian publik terhadap lembaga peradilan. " Yang saya takutkan justru apabila masyarakat apatis tidak mau tahu, tidak mau pusing dan tidak mau mengomentari," kata Hatta  di hadapan 239 aparatur pengadilan di Pontianak, Kalimantan Barat, seperti dilansir di web resmi MA.

Untuk itu Hatta mengingatkan aparatur peradilan dari mulai hakim sampai dengan staf untuk betul-betul menjaga diri dari sekecil apa pun bentuk pelanggaran disiplin dan kode etik perilaku. Ia juga meminta semua warga peradilan saling mengingatkan jika ada indikasi pelanggaran yang dilakukan oleh rekannya.

"Jangan sampai perbuatan seseorang akan mencederai lembaga kita yang kita junjung tinggi kehormatannya," tegasnya.

Ia berharap kasus pelanggaran oleh oknum aparatur peradilan tidak terulang lagi. Untuk itu, ia meminta fungsi pengawasan dioptimalkan terhadap jajarannya. Menurut Hatta MA, telah membentuk satuan tugas dari Badan Pengawasan di MA untuk mengawasi sebagai aspek. Satgas ini memantau tamu, minutasi perkara, pengiriman salinan putusan, sistem informasi dan sebagainya.

Hatta mengakui dalam 1-2 bulan lembaganya sangat terpuruk. Banyak kritikan dan kecaman yang sangat tajam tentang kinerja MA beserta jajaran peradilan. Ia membenarkan ada oknum yang telah melakukan pelanggaran yang tidak pantas dan tidak layak, sehingga  upaya MA untuk meningkatkan citra lembaga peradilan kembali terpuruk. "Hanya  karena ulah dan kebobrokan segelintir oknum," ujar Hatta.

PERADILAN SALAH URUS - Kritikan atas buruknya kinerja badan peradilan ini tidak hanya datang dari luar. Kritikan juga datang dari dalam Mahkamah Agung. Hakim Agung Gayus Lumbuun menilai munculnya banyak kasus perdagangan perkara di pengadilan akibat dari sebuah peradilan yang salah urus.

"Persoalan tersebut sudah mengarah kepada muara, bukan hilir lagi. Saya melihat ada kesalahan urus di sana," ujar Gayus Lumbuun, Rabu (25/5).

Menurutnya kasus di Bengkulu merupakan rentetan dari akibat salah urus tersebut. Salah pengelolaan, itu berbuntut kepada permasalahan-permasalahan hukum pada hakim. Sebab pengadilan tinggi dan pengadilan negeri merupakan lembaga di bawah langsung Mahkamah Agung. Untuk itu Tim Promosi dan Mutasi (TPM) harus dimaksimalkan. Sebab TPM memiliki fungsi pengkaderan hakim. Sehingga hakim yang  benar-benar memiliki kemampuan dalam segi keilmuan yang akan memimpin.

Nantinya mereka juga memperoleh mutasi sesuai dengan kedudukan atau wilayah yang tepat. Hal itu saat ini terjadi sebaliknya. Mutasi maupun promosi terjadi berdasarkan suka dan tidaknya pemimpin. "Siapa yang kritis justru tersingkirkan dan mendapatkan jabatan tidak sesuai kemampuannya," ungkap Gayus.

Ia mencontohkan, berdasar UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung telah diatur seorang hakim dapat mencalonkan menjadi  hakim agung setelah memenuhi persyaratan. Di antaranya memiliki pengalaman minimal 20 tahun.  "Tetapi yang terjadi tidak demikian, baru beberapa bulan atau hanya satu tahun di pengadilan tinggi sudah diloloskan. Ini sejak dulu saya khawatirkan, bagaimana mereka bisa menjadi pemimpin dan mengelola lembaga peradilan dengan baik," katanya.

Kondisi yang sama juga ia rasakan di lingkungan Mahkamah Agung. Kondisi di MA saat ini telah berbeda dengan dulu. Dulu, menurutnya, saat akan menerbitkan kebijakan, pimpinan selalu melibatkan seluruh hakim agung, agar kebijakan benar-benar sesuai amanat undang-undang.

"Sekarang seperti oligarki. Hanya segelintir elite saja yang menentukan dan kami jika ingin menyampaikan pendapat distop," tutur Gayus.

Untuk itu ia menilai pembenahan di tubuh MA bukan lagi wacana, tetapi sudah masuk dalam blue print 25 tahun. Tetapi percepatan itu belum juga muncul sampai saat ini. Gayus mengaku tak mengetahui proses itu masih berhenti.

"Boleh dilihat tiga tahun terakhir mana ada perombakan. Sementara publik sudah tidak lagi bisa percaya kepada lembaga peradilan," tambah dia.

Menurutnya untuk melakukan merombak perlu didorong segera. Baik oleh internal maupun eksternal. Jika belum bisa juga, Presiden Selaku Kepala Negara dapat turut tangan dengan Perppu untuk merombak sumber daya manusia di lembaga MA.

"Presiden bisa melakukan (mengeluarkan Perppu-red). Ini amanat undang-undang sebagai kepala negara. Jika itu merupakan satu-satunya jalan," tegasnya.

REFORMASI SISTEM PENGAWASAN - Sementara  itu pengamat hukum Chris Sam Siwu meminta KPK tak berhenti melakukan pemberantasan korupsi di tubuh lembaga penegak hukum khususnya pengadilan, baik di daerah maupun kota -kota besar.

Ia berpendapat salah satu akar permasalahan atau penyebab korupsi di negara ini, berakar dari suap kepada penegak hukum. "Sebab mereka berpandangan  keadilan bisa dibeli," kata Chris Sam Siwu kepada gresnews.com, Rabu (25/5).

Anggota Peradi ini menilai sistem pengawasan hakim  dan sumber daya manusia (SDM) peradilan harus direformasi. Selain reformasi sistem pengawasan, KPK juga tidak boleh mengendurkan pengawasannya kepada lembaga pengadilan ini .

"Karena tanpa pengawasan KPK menjadikan pihak-pihak tertentu melihat kesempatan untuk melakukan korupsi," ujarnya.

Anggota Komisi III DPR RI, dari Fraksi Golkar, Azis Syamsuddi mengatakan oknum hakim yang terlibat suap harus dihukum dengan seberat-beratnya.  " Perlu ada peningkatan intergreated legal system," kata Azis kepada gresnews.com, dalam pesan singkat, Rabu (25/5).

Seperti diketahui KPK telah melakukan operasi tangkap tangan terhadap Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Janner Purba. Janner diketahui juga merupakan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di PN  Bengkulu. Bersama Janner ditangkap empat orang hakim lainnya. Sejauh ini penangkapan Janner dan para hakim itu diduga terkait suap dalam penanganan perkara Korupsi Rumah Sakit Dr M Yunus Bengkulu.

BACA JUGA: