JAKARTA, GRESNEWS.COM – Secarik katebelece yang diberikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat kepada koleganya berbuah sanksi etik dari Dewan Etik MK. Katebelece itu sendiri isinya permintaan Arief kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejagung Widyo Pramono untuk meloloskan salah satu kerabatnya seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur untuk bertugas di Kejagung.

Meski isinya tak seheboh katebelece ala Sudomo untuk Eddy Tansil yang berbuah skandal Bank Bapindo sebesar Rp1,2 triliun, tetap saja perilaku tersebut tak bisa diterima. Perilaku Arief dinilai telah mencoreng wibawa MK.

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Peradilan (LeIP) Indonesia Liza Farihah menyayangkan perilaku Ketua MK Arief Hidayat. Menurut Liza, seharusnya seorang Ketua MK dapat menjaga nama baik serta wibawa lembaga yang dipimpinnya.

Lebih jauh, perilaku Arief telah mencoreng lembaga peradilan di seluruh Indonesia. "Seharusnya beliau menunjukkan sikap sebagai seorang negarawan dan hakim yang taat pada hukum dan prinsip baik yang berlaku di masyarakat," kata Liza Farihah kepada gresnews.com, Senin (2/5).

Pada kesempatan berbeda, Direktur Eksekutif Indonesian Human Rights Committee and Sosial Justice (IHCS) Ridwan Darmawan menyatakan, apa yang dilakukan oleh Arief menunjukkan, bidaya nepotisme di lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum masih ada. Ini, kata dia, merupakan preseden buruk bagi MK dan lembaga peradilan lainnya.

"Ini alarm yang mesti disikapi dengan serius, meski tidak terbukti menyalahgunakan wewenang," paparnya.

Ridwan menambahkan, kasus ini cukup membuktikan hakim MK tidaklah ´suci´ seperti yang dikira oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, sangat diperlukan pengawasan ekstra ketat bagi hakim MK oleh seluruh elemen masyarakat yang peduli terhadap lembaga peradilan di Indonesia.

Pasalnya, hakim MK memiliki tugas dan wewenang yang sangat penting dalam konstitusi di Bangsa ini. "Jangan sampai kasus ini menjadi runtuhnya kepercayaan publik terhadap MK, sebagaimana yang pernah dialami pada kasus mantan Ketua MK Akil Mochtar dulu," tegasnya.

TOLAK BERKOMENTAR - Atas sanksi etik yang dijatuhkan kepadanya itu, Arief memilih untuk tutup mulut. Dia berdalih takut dikenakan sanksi lanjutan oleh Dewan Etik MK, jika mengomentari putusan itu.

"Jangan tanya itu dong. Nanti saya kena sanksi lagi," kata Arief Hidayat di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (2/5).

Diketahui pada tanggal 15 April 2015 silam, Ketua MK Arief Hidayat mengirim sebuah memo yang dibawa oleh seorang jaksa dari Kejaksaan Negeri Trenggalek. Memo tersebut ditujukan untuk Jamwas Kejagung RI Widyo Pramono.

Dalam memo itu tertulis: "Mohon titip dan dibina, dijadikan anak bapak." Tulisan itu disertai nama dan paraf Arief.

Menindaklanjuti adanya temuan tersebut, Dewan Etik MK yang dipimpin oleh Abdul Muktie Fadjar bersama dua anggota Dewan Etik lainnya M.Zaidun dan M. Hatta Mustafa telah melakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan. Hasilnya, menurut Dewan Etik, Arief telah mengakui telah mengirim memo yang bertujuan agar Jamwas Kejagung Widyo Pramono dapat membimbing seorang jaksa yang membawa memo tersebut.

Atas dasar pengakuan itulah, Dewan Etik MK menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran kepada Arief Hidayat. "Menyatakan bahwa hakim Arief Hidayat dinyatakan melakukan pelanggaran ringan terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi dengan sanksi teguran lisan," putus Dewan Etik MK.

Menurut Dewan Etik MK, apa yang dilakukan oleh Ketua MK itu adalah salah satu pelanggaran kode etik hakim Mahkamah Konstitusi. Seorang penjaga konstitusi, menurut Dewan Etik MK, tidak pantas melakukan hal itu dengan dalih atau alasan apapun.

Dewan Etik MK menilai, seorang hakim MK harus menjadi teladan atau contoh yang baik terutama terkait dengan perilaku hakim di seluruh Indonesia. Kendati demikian, Dewan Etik MK masih memberikan sanksi ringan kepada Ketua MK dengan alasan, yang bersangkutan mengakui telah menulis memo tersebut, meskipun tidak memiliki tujuan untuk hal yang negatif.

"Hal yang meringankan yaitu terduga mengakui perbuatannya. Motif dan niatnya baik untuk mendorong seseorang terus belajar untuk meraih kemajuan serta tidak terbukti tindakannya untuk tujuan yang negatif," ujar majelis Dewan Etik. (dtc)

BACA JUGA: