Kendati terdakwa Handoko Lie telah kabur, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat (Kejari Jakpus) telah menyita tanahnya di lokasi Centre Point, mal terbesar di Medan, Sumatera Utara. Namun untuk aset lainnya, jaksa belum mengendusnya.

"Tapi bukan yang mal, sebagian tanah. Tetapi datanya ada Kasie Pidsus," ujar Kajari Jakarta Pusat, Didik Istiyanta, Selasa (23/5).

Selain itu, jaksa sedang melakukan penelusuran aset Handoko untuk menutupi kerugian negara. Kejaksaan menelusuri aset Handoko lewat Badan Pertanahan Nasional dan juga terkait perpajakannya.

Didik sendiri memastikan Handoko telah lari ke luar negeri paska putusan bebas oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Interpol pun telah digandeng Jaksa untuk mencari Handoko di luar negeri.

Adapun terkait hukuman Rp 185 miliar yang harus ditanggung Handoko, kejaksaan masih menelusuri aset lainnya. "Eksekusi berusaha kami tuntaskan, dan dia tidak punya harta. Aset tidak ketemu, aset-asetnya tidak ada, belum ketemu, mungkin waktu itu masih muda. Kemungkinan masih atas nama orang tua. Intinya sudah sebagian besar telusuri namun belum membawakan hasil," papar Didik.

"Sebagian sudah eksekusi tetapi untuk menutupi uang pengganti masih menelusuri aset," sambung Didik menegaskan.

Kasus korupsi Handoko Lie bermula dari kongkalikong dengan Walikota Medan Rahudman Harahap pada 2011. Status tanah milik PT KAI itu berubah dan berdiri pusat perbelanjaan terbesar di Medan. Jaksa pun menahan Handoko.

Tapi Handoko Lie divonis bebas di Pengadilan Tipikor dan Pengadilan Tinggi Jakarta. Handoko buru-buru angkat kaki dari Indonesia. Jaksa kemudian kasasi ke MA dan Handoko akhirnya dihukum 10 tahun penjaran dan bayar uang pengganti kerugiaan negara Rp 185 miliar lebih. Tapi apa daya, Handoko telah kabur.

TERGANJAL VONIS SALMAN LUTHAN - Hakim agung Salman Luthan yang menjatuhkan hukuman masing-masing 10 tahun penjara kepada Wali Kota Medan 2010-2015 Harudman Harahap dan pengusaha Handoko Lie. Ketukan palu Salman juga disertai dengan pidana pengembalian aset negara Rp 185 miliar.

Salman merupakan hakim agung dari jalur nonkarier. Sehari-hari, ia merupakan dosen di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, sebelum diangkat menjadi hakim agung pada 2010 lalu. Salman merupakan generasi pertama hakim agung hasil seleksi Komisi Yudisial (KY).

Memasuki kantor pusat pengadilan Indonesia, Salman langsung membuat gebrakan. Di awal menjadi hakim agung, Salman berani berbeda pendapat dengan para hakim agung lainnya kala menyidangkan Prita Mulyasari. Salman memilih memvonis lepas Prita dan harus kalah dengan dua hakim agung lainnya. Akhirnya, Prita dinyatakan bersalah.

Di kasus peninjauan kembali (PK) terpidana pembunuhan Munir, Pollycarpus, Salman kembali berbeda pendapat dengan hakim agung lainnya. Salman tidak setuju untuk menurunkan hukuman Pollycarpus dari 20 tahun penjara. Namun suara Salman kembali kalah dengan suara hakim agung lainnya sehingga hukuman Pollycarpus diubah menjadi 14 tahun penjara.

Sikap Salman dalam mengadili kasus korupsi juga tidak kenal ampun. Saat mengadili Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin Oktober 2016, Salman memilih berseberangan dengan para hakim agung lainnya. Sebab, hakim agung lainnya mengkorting hukuman Ilham dari 6 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Bagi Salman, Ilham sudah layak dihukum 6 tahun penjara. Tapi lagi-lagi suara Salman kalah.

Di kasus korupsi proyek pembangunan PLTGU Belawan, palu hakim agung Salman menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara kepada Bahalwan. Selain itu, hakim agung Salman Luthan berserta Prof Abdul Latief dan Syamsul Rakan Chaniago juga menghukum Bahalwan untuk mengembalikan kerugian negara Rp 337 miliar.

Di kasus korupsi mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amin, palu hakim agung Salman Luthan juga diketuk keras. Fuad yang kala itu menjadi Ketua DPRD Bangkalan dihukum 13 tahun penjara. Salman bersama Krisna Harahap dan MS Lumme juga menghukum Fuad untuk mengembalikan harta yang dikorupsinya sebesar Rp 250 miliar lebih.

Dalam kasus lainnya Salman luluh saat mengadili kasir karaoke Sri Mulyati atas tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur. Salman beserta Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja dan Suhadi membebaskan Sri karena jadi korban peradilan sesat. Sebab, Sri juga pekerja di karaoke itu, bukan yang menggaji karyawan.

Terakhir, Salman mengadili kasus korupsi alih fungsi lahan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) di Jalan Timor, Medan, Sumatera Utara. Harudman mengalihfungsikan ke Handoko Lie sehingga negara merugi miliaran rupiah. Oleh Handoko, tanah itu dibangun pusat perbelanjaan dan niaga terbesar di Medan.

Hakim agung Salman pun menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada Harudman dan Handoko. Dalam proses hukum di tingkat pertama dan banding, Harudman dan Handoko sama-sama dihukum bebas.

Tidak hanya itu, Handoko juga dibebani pidana mengembalikan kerugian negara Rp 185 miliar lebih. Bila tidak mau mengembalikan, maka harta Handoko dirampas negara. "Jika terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi maka diganti 6 tahun penjara," putus Salman bersama Syamsul Rakan Chaniago dan MS Lumme. (dtc/mfb)

BACA JUGA: