JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menyusul ditolaknya gugatan praperadilan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan 16 unit mobil listrik di Kejaksaan Agung kembali dikebut. Tim penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung juga telah memeriksa mantan Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan.

Pemeriksaan Karen dilakukan pada Rabu (22/3). Karen diperiksa sebagai  saksi untuk Dahlan yang telah ditetapkan tersangka dalam kasus ini. Pemeriksaan terhadap Karen diungkap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Arminsyah.

 "Kita sudah periksa mantan Dirut Pertamina sebagai saksi kasus mobil listrik," kata Arminsyah di Kejagung, Jakarta, Kamis (23/3).

Arminsyah menjelaskan, dalam proyek itu ada tiga perusahaan BUMN yang membantu menyuplai dana yakni, PT Pertamina, PT Perusahaan Gas Negara dan Bank Rakyat Indonesia.

Arminsyah memastikan akan menggali lebih jauh proses pemberian bantuan dari tiga BUMN untuk proyek ini. Dirut PGN Hendi Priyo dan Dirut BRI juga  telah diperiksa. Ia juga menyebut keduanya tak menutup kemungkinan bakal kembali diperiksa.

"Jadi kita sedang telusuri, bagaimana dugaan penyimpangan aliran dananya," kata Mantan Kajati Jawa Timur ini.

Dalam kasus ini, sebelumnya Kejagung telah menetapkan dua tersangka yakni Dasep Ahmadi selaku Dirut PT Sarimas Ahmadi Pratama dan Agus Suherman, mantan  Kabag PKBL Kementerian BUMN. Belakangan penyidikan Agus Suherman sebagai tersangka dihentikan karena tidak ditemukan cukup bukti.

Kejagung kemudian menetapkan Dahlan Iskan sebagai tersangka. Penetapan Dahlan setelah penyidik menerima salinan putusan kasasi MA yang menghukum Dasep Ahmadi. MA memvonis bersalah Dasep dengan menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama dan banding dengan vonis 7 tahun penjara. MA juga memasukkan nama Dahlan Iskan turut serta melakukan korupsi bersama Dasep Ahmadi.

MA sendiri menyebutkan, bahwa  putusan kasasi Dasep Ahmadi dalam pembuatan 16 mobil listrik itu tidak melalui tender berdasarkan ketentuan Keputusan Presiden Nomor: 54 Tahun 2010,  tetapi dengan penunjukan langsung atas Keputusan Menteri BUMN yang saat itu dijabat oleh Dahlan Iskan.

DAHLAN BERSIKUKUH - Dahlan yang juga menjadi terdakwa dalam kasus penjualan aset Pemprov Jatim,   dalam kasus mobil listrik telah diperiksa Tim penyidik di Kejati Jawa Timur. Namun dalam pemeriksaan Dahlan bersikukuh meminta audit kerugian negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) seperti dilakukan Kejaksaan.

Arminsyah mengakui ada beberapa pertanyaan yang tidak jawab Dahlan  saat dilakukan pemeriksaan. Pasalnya Dahlan  tetap bersikukuh meminta audit BPK kepada penyidik dengan dasar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4/2016.  Dalam SEMA itu menyatakan audit kerugian negara harus dikeluarkan oleh BPK.

"‎Sudah diperiksa nggak mau jawab, dia bilang minta audit BPK, kita sudah punya audit BPKP. Bahkan waktu praperadilan ditolak sama hakim soal audit BPK. Audit BPKP kita ini juga sudah diakui diputusan MA," ujar Arminsyah.

Arminsyah mengakui adanya polemik soal penghitungan kerugian negara. Di dalam SEMA dituangkan bahwa perhitungan kerugian negara dilakukan BPK, sedangkan dalam ‎Perpres 192 tentang BPKP pada Pasal 3 huruf e yang berisikan BPKP bisa mengaudit dan menghitung kerugian keuangan negara.

"Ini polemik tapi kita tetap sementara ini (pakai BPKP), soalnya itu (harus audit BPK) masih  interen MA," tegas Armin.

Arminsyah menegaskan, dalam menghitung kerugian negara Kejaksaan penyidik menggunakan BPK dan BPKP. "Ya kita pakai BPKP dan BPK‎, mereka punya kewenangan untuk menghitung kerugian keuangan negara," kata Armin.

Sementara itu, kuasa hukum Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra  dalam gugatan praperadilannya  meminta Kejagung mencabut penetapan kliennya sebagai tersangka  kasus mobil listrik. Alasannya ada pembaruan hukum di Indonesia. Yakni, menyangkut keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 25/PUU-XIV/2016 tentang pengujian pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 4/2016.

Dalam putusan tersebut, MK telah menganulir frasa "dapat" untuk Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor. Sebagaimana diketahui, dalam dua pasal itu terdapat kata "dapat" yang berada pada kalimat "dapat merugikan keuangan negara". Kata "dapat" itulah yang dianggap tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, penanganan tindak pidana korupsi menurut dua pasal tersebut harus benar-benar memenuhi adanya kerugian negara atau perekonomian negara yang nyata. Putusan itu membuat penanganan korupsi tidak bisa lagi hanya atas dasar dapat merugikan keuangan negara.

Selanjutnya, mengenai SEMA, Mahkamah Agung mengeluarkan pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan di seluruh Indonesia. Pada bagian A angka 6 di SEMA 4/2016, MA menentukan lembaga yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). "Pada kasus mobil listrik, BPK telah menyatakan tidak ada kerugian negara. Tapi, Kejaksaan Agung menggunakan BPKP," ujar Yusril.

Perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP dalam kasus mobil listrik juga menjadi perdebatan. Sebab, BPKP menghitung kerugian berdasar total lost. Sebab, penerapan total lost sama saja memberikan nilai nol pada pengerjaan yang dilakukan Dasep Ahmadi. Padahal, faktanya, Dasep berhasil menyelesaikan pengerjaan prototipe yang dipesan tiga perusahaan BUMN.

BACA JUGA: