JAKARTA, GRESNEWS.COM - DPR berkomitmen akan terus mendukung usaha dan harapan para buruh Indonesia untuk merevisi UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pasalnya Undang-undang yang telah masuk prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 itu dinilai tidak aspiratif dan jauh dari kata keadilan.

Hal tersebut diungkapkan Wakil ketua DPR RI Kordinator bidang Politik dan Keamanan (Korpolkam) Fadli Zon yang didampingi Anggota Komisi IX, Rieke Dyah Pitaloka Senin (23/3) di Gedung DPR, Senayan. Kedua dalam kesempatan itu, menerima perwakilan buruh dari berbagai organisasi buruh Indonesia seperti Forum Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Jawa timur, Aliansi Buruh Bekasi Bersatu, dan Forum Buruh DKI.

"Kami berkomitmen segala sesuatu yang menjadi aspirasi masyarakat apalagi ini terkait dengan industrial, tentu akan kami dukung. Permintaan buruh untuk merevisi UU No.2 Tahun 2004 tentang PPHI itu juga telah menjadi prioritas prolegnas 2015 ini," kata Fadli Zon seperti dikutip dpr.go.id.

Politisi dari Dapil Jawa Barat IV ini menjelaskan bahwa para buruh menilai undang-undang tersebut merugikan buruh. Karena pada kenyataannya ketika ada perselisihan antara buruh dan industri (perusahaan-red),ternyata dalam proses penyelesaiannya tidak cepat, tidak murah dan cenderung tidak adil pada buruh.

Buruh menilai biaya yang dikeluarkan dalam PPHI itu ternyata tidak murah, jika perselisihan hanya berkisar di angka Rp10 juta, maka untuk proses penyelesaiannya bisa menelan biaya berkali lipat dari yang dipermasalahkan. Belum lagi proses penyelesaiannya yang katanya memakan waktu bisa bertahun-tahun.

"Oleh karena itu pimpinan DPR beserta komisi terkait lainnya seperti Komisi VI dan komisi IX akan membahas permasalahan yang sudah menjadi prioritas prolegnas ini. Kami yakin dalam periode ini akan selesai," paparnya.


Sementara itu, Rieke Dyah Pitaloka mengatakan, dalam kenyataannya, banyak kasus perselisihan hubungan industrial dimana hak pekerja justru malah dilanggar. "Selama 10 tahun lebih berjalan PPHI gagal menyelesaikan permasalahan hubungan industrial secara adil, cepat,tepat dan murah," katanya.

Rieke menegaskan, DPR memahaki peran perlindungan negara terhadap hak-hak buruh tidak nampak dalam sistem PPHI. "Oleh sebab itu UU tersebut perlu ditinjau ulang," tambahnya.

Sebelumnya, Federasi Serikat Pekerja (FSP) Singaperbangsa juga meminta Mahkamah Konstitusi untuk membubarkan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Mereka menilai, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, mereka juga menilai, beleid itu, melanggar ketentuan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
 
"Ada perbedaan pengaturan prosedural penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK) antara UU Ketenakerjaan dengan UU PPHI. Ini menghilangkan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi buruh yang kedudukannya lebih lemah dibandingkan dengan pengusaha," kata Kepala Direktorat Hukum dan HAM, DPP FSP Singaperbangsa, Chairul Eillen Kurniawan kepada Gresnews.com, beberapa waktu lalu.
 
Dia mengatakan, pengaturan penetapan (beschikking) PHK melalui permohonan (gugatan voluntair) sebagaimana diatur dalam Pasal 152 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan dianggap lebih menjamin, memberi perlindungan dan kepastian hukum bagi buruh. Sebab yang mengajukan permohonan penetapan PHK ke lembaga PPHI melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) adalah pengusaha sebagai pihak yang mempunyai inisiatif melakukan PHK.

Sebaliknya, pengaturan PHK melalui gugatan contentiosa yang diatur dalam Pasal 81 UU Penyelesaian PHI, justru menghilangkan kewajiban pengusaha sebagai pihak yang sesungguhnya berinisiatif melakukan PHK. "Ketika pengusaha tidak mengajukan gugatan PHK ke PHI, maka buruh akan kehilangan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum atas hubungan kerjanya," kata Chairul.

Selain itu, adanya asas hukum, barang siapa yang mendalilkan maka dia yang harus membuktikan, sebagaimana ketentuan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sangat memberatkan buruh. Hal itu, kata Chairul, merupakan sesuatu yang sulit bahkan dapat dikatakan mustahil bagi buruh.

"Pasalnya, pengusaha yang menguasai bukti-bukti, dengan tidak diberikannya salinan perjanjian kerja, slip pembayaran upah, kartu tanda karyawan, bahkan surat pemutusan hubungan kerja itu sendiri," ujarnya.
 
Di sisi lain, keterbatasan kemampuan buruh dan serikat buruh untuk memahami Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum dan tidak adanya biaya untuk menyewa jasa pengacara, dianggap FSP Singaperbangsa, sebagai kondisi yang tidak adil jika dibandingkan dengan pengusaha yang mempunyai sumber daya dan sumber dana untuk beracara di PHI.

BACA JUGA: