JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dilaporkannya Hakim Sarpin Rizaldi oleh sejumlah pihak ke Komisi Yudisial (KY) karena meloloskan praperadilan Komjen Pol. Budi Gunawan (BG) dinilai mencederai filosofi hukum. Pasalnya keputusan yang diambil Sarpin dianggap sebagai penerapan hukum progresif. Hukum dinilai sebagai ilmu yang berkualitas dan selalu mengalami perubahan untuk pembentukan.

Dasar hukum progresif menghendaki putusan berani keluar dari tatanan sebagai salah satu cara mencari dan membebaskan kekakuan. Serta dapat menciptakan suatu keadilan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. "Filosofi hukum tercederai karena pendiskreditan Sarpin sebagai hakim yang berujung pelaporan," ujar Direktur Advokasi Indonesia Development Monitoring Malvin Baringbing dalam keterangan yang diterima wartawan, Senin (2/3).

Putusan hukum yang telah dijatuhkan seharusnya dapat dihormati bersama sebagai semangat berbuat terbaik bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Putusan ini lebih menyasar hukum yang bertumpu pada keyakinan hakim, sehingga hakim tidak perlu terikat pada rumusan Undang-undang.

Dengan menggunakan hukum progresif, seorang hakim berani mencari dan memberikan keadilan dengan melanggar Undang-Undang. Sebab, tak selamanya Undang-undang bersifat adil bagi setiap warga negara Indonesia. Penggunaan penafsiran ini dapat membuka peluang bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum secara progresif," katanya.

Ia membantah pernyataan Komisioner KY yang menganalogikan Sarpin sebagai hakim yang melakukan pelanggaran hukum acara serta melampaui kewenangan praperadilan. "Padahal ditegaskan dalam UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan menekankan tugas hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan," jelasnya.

Penemuan hukum secara progresif tidak terlepas dari keinginan hati nurani untuk menegakkan keadilan dengan berpijak pada nilai-nilai hukum di masyarakat. Menilik pada kasus BG, yang mencari keadilan akibat ketidaktepatan penetapan tersangka oleh KPK akibat penyakralan lembaga antirusuah tersebut. "Padahal kita tahu Pimpinan KPK lahir dari hasil kompromi politik di parlemen yang sarat dengan kepentingan politik dan pribadi," katanya.

Sebelumnya, sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi melaporkan Sarpin ke KY lantaran dianggap melanggar kode etik. Serta melakukan penyalahgunaan wewenang dalam memutus gugatan praperadilan yang diajukan oleh BG. Ia diduga melanggar Poin 8 dan 10 Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tahun 2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Poin-poin tersebut mengatur tentang profesionalitas dan disipilin hakim. Apalagi dalam putusannya, Sarpin juga dianggap melanggar ketentuan praperadilan yang sudah diatur dalam KUHAP. "Pertimbangan hukumnya telah melampaui substansi perkara dengan memasukan argumentasi yang tidak sesuai dengan perundang-undangan," kata Erwin Natosmal Oemar, selaku juru bicara Koalisi.

BACA JUGA: