JAKARTA, GRESNEWS.COM - Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemidanaan Korporasi telah rampung disusun akhir tahun lalu. Sejumlah lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung  juga telah melakukan serangkaian sosialisasi dalam rangka memperkenalkan Perma tersebut kepada publik.

Hingga tidak ada lagi alasan bagi aparat penegak hukum untuk merasa ragu menjerat korporasi, meskipun kasus itu terjadi sebelum keluarnya Perma. Juru Bicara MA Suhadi menegaskan jika Perma yang dikeluarkan lembaganya bisa diterapkan kepada korporasi yang diduga melakukan tindak pidana korupsi yang terjadi pada kasus-kasus sebelumnya.

Kendati dalam Perma tersebut tidak diatur hal itu. Namun ke depan ia berharap hal tersebut juga diatur. Ia juga mengaku mengerti tentang keraguan para penyidik dan penuntut dalam  penyusunan hukum acara pemidanaan koorporasi, karena syarat formil dan materiil tidak bisa disusun seperti hukum acara orang pribadi.

"Seperti yang ada pada pasal 134 Kuhap, dimana harus ditulis apa agamanya, lahir di mana dan sebagainya" kata Suhadi di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (21/2).

Suhadi memahami bahwa surat dakwaan yang disusun penuntut umum baik dari KPK maupun Kejaksaan harus membuat syarat formil dan materiil. Sebab jika tidak, maka surat dakwaan itu dapat mudah dipatahkan dan batal demi hukum.

Oleh karena itu, menurut Suhadi dalam Perma ini juga diatur rinci tentang tata cara menyusun surat dakwaan khusus dalam pemidanaan korporasi. "Jadi tidak mungkin 8 identitas (untuk pribadi) diterapkan ke korporasi, jadi Perma itu juga mengaturnya," pungkasnya.

Dengan adanya Perma dan sosialisasi yang telah dilakukan, salah satu hakim agung ini meminta agar para aparat penegak hukum tidak lagi ragu dalam menjerat korporasi. Sebab segala prosedur dan tata caranya telah dijelaskan secara rinci dalam Perma tersebut.

"Sebetulnya tidak ada suatu keresahan mengenai Perma dari MA karena menekankan pada hukum acara prosedur sedangkan sanksinya melekat pada hukum materiil yang telah ditentukan UU," tuturnya.

MENJERAT DUA PIDANA SEKALIGUS - Dalam pemaparannya kepada wartawan seusai Seminar Publik Tata Cara Penanganan Pidana Oleh Korporasi, Suhadi mengungkapkan bahwa penegak hukum tidak hanya bisa menjerat perusahaan dengan tindak pidana korupsi. Tetapi, juga bisa mengaitkan dengan pidana pencucian uang.

Dua tindak pidana ini, kata Suhadi, memang sangat dekat dengan kasus-kasus yang menjerat korporasi. "korporasi itu hanya bisa dihukum dengan hukuman denda,  tapi dari UU money laundrying dan UU Tipikor keuntungan dari korporasi diambil dan bahkan sampai bisa hukuman mati," ujar Suhadi.

Artinya, selain korporasi juga bisa didenda karena melakukan korupsi serta pencucian uang. Perusahaan yang terindikasi korupsi juga bisa dibubarkan menurut putusan majelis hakim. Apalagi, korporasi juga merupakan salah satu subyek hukum yang harus patuh terhadap hukum yang berlaku.

Salah satu penyebab suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi adalah adanya suatu keputusan yang dilakukan direksi, menguntungkan korporasi itu sendiri. Hal itu menjadi tugas KPK, Kejaksaan atau pun Kepolisian untuk mengungkapnya.

"Jadi menurut ahli dari Belanda, bagaimana kalau dalam ketentuan UU itu hanya pengurus? dia bilang lebih dari itu, yang perlu dikejar adalah siapa yang memegang kendali sehingga timbulnya perbuatan itu, belum tentu sebagai pengurus dalam artian direksi atau pengurus, tapi lain jika ada pelimpahan wewenang sebagai pengendali wewenang, hal itu bisa dijerat," imbuhnya.

Sementara itu, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Syarifudin mengatakan saat ini masih sedikit korporasi yang dijerat tindak pidana. Padahal, dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sudah diatur mengenai ancaman hukuman yang mengarah pada korporasi.

"Jadi materiilnya ada tapi prosedurnya yang belum begitu jelas karena itu perma ini sangat kita harapkan karena itu pembentukkan perma hasil kerja sama kopja MA, KPK, kejaksaan sehingga lahir perma ini," ujar Syarifudin.

Saat ini, terang Syarifudin masyarakat masih beranggapan jika tindak pidana korupsi hanya bisa menjerat orang per orang, dan bukan korporasi. "Untuk mengatasi kekosongan itulah dikeluarkan Perma," terangnya.

BACA JUGA: