JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya para nelayan, masyarakat pesisir utara Jakarta dan aktivis lingkungan untuk menggugat reklamasi Pulau G kandas di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Dalam salinan putusan terkait kasus tersebut yang diunggah di situs resmi PT TUN, Jumat (21/10), majelis hakim PT TUN, memenangkan upaya banding yang diajukan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Dengan demikian putusan PTUN Jakarta yang mencabut izin reklamasi Pulau G yang PT Muara Wisesa Samudra dibatalkan oleh PT TUN. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim PT TUN menilai, gugatan yang diajukan pengacara nelayan ke PTUN itu kadaluwarsa.

"Mengadili, menerima permohonan banding dari tergugat/pembanding dan tergugat II intervensi/pembanding. Membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 193/G/LH/15/PTUN-JKT, tanggal 31 Mei 2016 yang dimohonkan banding," demikian bunyi putusan majelis hakim PT TUN.

Putusan diambil lewat rapat permusyawaratan Majelis Hakim PT TUN pada 13 Oktober 2016 oleh Ketua Majelis Kadar Slamet dan hakim anggota Nurnaeni Manurung dan Slamet Suparjoto. Putusan itu diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada 17 Oktober kemarin.

Seperti diketahui, para nelayan teluk Jakarta, mengajukan gugatan atas SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238/2014 tentang Pemberian Izin Reklamasi Pulau G oleh PT Muara Wisesa pada 15 September 2015 lalu. SK itu sendiri terbit sejak tahun 2014.

Majelis hakim PT TUN beranggapan, gugatan yang diajukan kadaluwarsa karena gugatan diajukan melebih tenggat waktu 90 hari dari diterbitkannya SK tersebut. Tenggang waktu 90 hari itu diatur pada Pasal 55 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Ada pula SEMA Nomor 2 Tahun 1991 diatur lebih lanjut oleh SEMA Nomor 03 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015, di situ diatur tenggang waktu 90 hari sejak yang bersangkutan pertama kali mengetahui Keputusan TUN yang merugikan kepentingannya.

"Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara," demikian pertimbangan majelis hakim PT TUN.

Adanya tenggat waktu itu sendiri ditetapkan dengan alasan agar prinsip kepastian hukum tidak tercederai. "Sehingga prinsip kepastian hukum jalannya pemerintahan akan dirugikan, karena tindakan-tindakan pemerintahan yang sudah berjalan sekian lama akan terganggu dengan tidak ada kepastian batas waktu kapan penggugat dapat mempersoalkan keabsahan hukum dari Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat," kata majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya.

Fakta yang dijadikan landasan majelis hakim adalah pihak pengugat yakni Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, LBH Jakarta, PBHI, dan ICEL telah mengetahui adanya SK tersebut sejak 29 Mei 2015. Sementara gugatan baru dilayangkan pada 15 September 2015 sehingga melebihi tenggat 90 hari.

"Gugatan yang diajukan oleh para penggugat/para terbanding tersebut jelas-jelas telah melewati tenggang waktu 90 hari menurut Pasal 55 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986," kata majelis hakim.

Putusan itupun disambut kekecewaan mendalam pihak nelayan sebagai penggugat. "Kami menyatakan majelis hakim PT TUN mengecewakan," kata pengacara pihak nelayan dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Ahmad Martin Hadiwinata, Jumat (21/10).

Namun Martin belum mau berkomentar banyak, karena pihaknya belum menerima putusan PT TUN secara resmi. Mereka masih menyiapkan pernyataan sikap. "Kami belum menerima putusan secara resmi," kata Martin.

Sebaliknya, putusan PT TUN Jakarta ini, disambut baik pihak Pemprov DKI Jakarta. Ahok menyatakan reklamasi bisa terus dilanjutkan bila memang PT TUN telah memenangkan upaya bandingnya atas putusan PTUN pada 31 Mei 2016 lampau itu. Pulau G adalah pulau yang digarap pengembang PT Muara Wisesa Samudra anak perusahaan PT Agung Podomoro Land. "Kalau itu ya lanjut dong," kata Ahok.

GUGATAN PULAU F,I,K MASIH JALAN - Sementara itu, sidang gugatan reklamasi pulau F, I dan K di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) masih terus berjalan di PTUN Jakarta. Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan ahli penggugat, Kamis (20/10), Walhi berupaya keras untuk membuktikan secara ilmiah kerusakan lingkungan ketika pemerintah bersikeras akan melanjutkan proses reklamasi di Teluk Jakarta.

Walhi selaku penggugat menghadirkan ahli Oseanografi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Alan F Koropitan dalam persidangan. Alan diminta keterangannya terkait dampak reklamasi di teluk Jakarta ketika terus dilanjutkan serta akan menerangkan kerusakan lingkungan karena flushing time (waktu cuci) ketika proyek rekamasi dilakukan.

Dalam sidang yang diketuai M. Arif Pratomo, Alan F Koropitan saat memberikan keterangan dalam persidangan menuturkan, kalau Pemprov DKI Jakarta memaksakan reklamasi di Teluk Jakarta malah akan memperparah kondisi pencemaran pesisir Jakarta. Menurutnya, reklamasi akan membuat menganggu pola arus yang menjadi bagian untuk melakukan pencucian sedimentasi.

"Dengan adanya pulau ini memperlambat waktu cuci (flushing time) maka pencemaran semakin bertambah. Dengan adanya reklamasi maka sedimentasi akan meningkat 50 -60 cm pertahun maka akan mengalami banjir," kata Alan.

Alan membandingkan, alasan reklamasi yang dilakukan di Indonesia dengan yang terjadi dibeberapa negara seperti di Florida Selatan. Seperti di Florida Selatan, imbuh Alan, reklamasi itu dilakukan untuk mengembalikan daratan yang telah berubah menjadi laut. Sedangkan di Indonesia justru sebaliknya, karena daratan yang ada di pesisir Jakarta sebelumnya bagian laut.

"Di luar negeri memiliki alasan sendiri. Konsepnya me-reclaim menjadi darat. Florida Selatan terjadi abrasi berkurang lahan lalu di-reclaim," ungkap Alan.

Untuk di Indonesia ada malah sebaliknya. Dia menjelaskan pada awalnya batas laut di Jakarta ada di daerah Cibinong tetapi karena proses endapan sedimentasi kemudian menjadi daratan. Dia menilai kerusakan tak hanya terjadi pada wilayah pesisir. Menurut Alan, ekosistem laut juga akan berdampak kalau reklamasi tetap dilakukan.

Dengan membangun pulau buatan itu, juga akan menganggu keberlangsungan ikan di daerah pesisir. Karena ikan yang hidup di perairan yang akan dibangun pulau reklamasi juga akan berkembang biak di perairan lain, tetapi ikan mencari makan pada perairan yang dibangun reklamasi.

Saat ditanya apakah dampaknya secara langsung bagi publik, Alan menjelaskan, diklus perikanan akan terdampak. Akibatnya stock perikanan akan mulai berkurang. "Sedimentasi yang ada akibat pola arus yang semakin rendah membuat oksigen di perairan tersbut akan berkurang. Sehingga ikan yang hidup di perairan sekitanya akan kekurangan oksigen yang menyebab kematian ikan," ujarnya.

PERLU KAJIAN KOMPREHENSIF - Alan F. Koropitan menegaskan perlunya kajian yang mendalam terkait niat pemerintah provinsi Jakarta untuk mereklamasi daerah Teluk Jakarta. Dia menganggap, sejauh ini pemerintah belum melakukan kajian yang komprehensif untuk menangani dampak 17 pulau reklamasi tersebut.

Lebih jauh Alan juga memegaskan pentingnya membuat kajian amdal yang bisa merefresentasikan keseluruhan dampak pulau reklamasi. Karena menurutnya, kajiannya tak bisa dilihat secara parsial, satu atau dua pulau tetapi membuat secara keseluruhan.

"Amdalnya satu pulau saja atau bersamaan? Harus komprehensif. Agar terlihat dampaknya sesuai rencana. Pertama dampak pada kecepatan arus," ungkapnya.

Tak hanya itu, Alan juga melihat keberadaan Giant Sea Wall yang akan dibangun pemerintah untuk mengatasi banjir di Jakarta malah tidak banyak membantu mengatasi bannjir. Pasalnya, keberadaan Giant Sea Wall akan juga menghambat pencucian sedimentasi ke laut lepas. "Giant Sea Wall akan memperparah sedimentasi. Parahnya sama semakin tinggi karena tidak ada daya cuci," katanya.

Tigor Gemdita Hutapea dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta selaku kuasa hukum penggugat mempertegas keterangan ahli tersebut. Dia menilai niat pemerintah yang akan mereklamasi Teluk Jakarta tidak layak karena memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan dan publik. Oleh karenanya, dia mengigatkan pemerintah untuk membatalkan proyek tersebut.

"Yang kami simpulkan bahwa proyek reklamasi tidak layak. Apabila terus dilanjutkan," ungkap pengacara LBH Jakarta ini.

Untuk diketahui pemerintah DKI Jakarta, semasa kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama telah menerbitkan empat izin pelaksanaan reklamasi. Keempat izin itu kemudian digugat Walhi, KNTI dan Warga Muara Angke ke PTUN Jakarta.

Sebelumnya, KNTI dan Walhi menggugat izin pelaksanaan Pulau F, I dan K ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Izin Nomor 2268/2015 untuk Pulau F diberikan kepada PT Jakarta Propertindo, izin Nomor 2269/2015 Pulau I diberikan pada PT Jaladri Kartika Pakci, sedangkan izin nomor 2485/2015 Pulau K kepada PT Pembangunan Jaya.

Atas pertimbangan itu, Tigor meminta pemerintah segera melakukan langkah strategis dengan menghentikan pembangunan pulau reklamasi yang terlanjur dibangun di Teluk Jakarta. Karena, wewenang untuk menghentikan ada pada keinginan pemerintah.

"Harus dihentikan proses kelanjutannya. Karena itu, niatnya ada di pemerintah. Kami melakukan upaya hukum untuk mengingatkan bahwa yang dilakukan pemerintah itu salah," pungkas Tigor. (dtc)

BACA JUGA: