JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung terus mendalami dugaan korupsi pengadaan rompi & topi dan pengadaan tas dan alat tulis kantor (ATK) petugas instruktur daerah (INDA) dan Panitia Sensus Ekonomi 2016 Badan Pusat Statistik (BPS) tahun anggaran 2015. Penyidik menduga telah terjadi mark up harga barang dan pengaturan pemenang lelang dalam proses lelang yang dimenangkan PT Piramida Karya Mandiri (PKM) dan CV Elya Berkat (EB) tersebut.

"Kami duga pelaksanaan kegiatan tersebut terdapat penyimpangan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Moh Rum, Selasa (20/9).

Rum mengatakan tim penyidik telah memeriksa panitia lelang dan tim pemeriksa pengadaan barang dan jasa di BPS tersebut. Panitia lelang yang diperiksa antara lain Ari Setiadi Gunawan, Wahyu Indrianto dan Nurmulistyadin. Sementara tim pemeriksa barang adalah Syafidyanto selaku Ketua Pemeriksa, Pramdya dan Mulyana selaku anggota.

Pemeriksaan panitia lelang dan tim pemeriksa tersebut untuk menemukan orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini. Pengadaan tas, ATK dan rompi di BPS tahun 2015 ini dibagi dua. Pertama, pagu anggaran sebesar Rp27 miliar diserahkan pelaksanaannya kepada PT Piramida Karya Mandiri. Kemudian yang kedua dengan pagu sebesar Rp26 miliar diserahkan pelaksanaannya kepada CV Elya Berkat.

"Penyidik masih mengumpulkan bukti-bukti untuk selanjutnya ditetapkan siapa tersangkanya," terang Rum.

Sebelumnya, penyidik telah memeriksa Lucky Permana selaku Pejabat Pembuat Komitmen pengadaan tas, topi dan ATK di BPS, Muryadi selaku Staf Unit Layanan Pengadaan, Arie Sukarya selaku Pegawai BPS, Suwarwanto selaku Kasubdit Statistik Polkam BPS dan Rijo Handoko selaku Kepala Bagian Verifikasi Biro Keuangan.

Para saksi dicecar seputar penyusunan dan penetapan harga perkiraan sendiri (HPS) dalam pelaksanaan pengadaan rompi, tas ATK petugas INDA dan panitia Sensus Ekonomi 2016. Penyidik sendiri telah berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menentukan kerugian negaranya.

KONGKALIKONG - Data dari Jakarta Procurement Monitoring (JPM) menjelaskan modus dugaan korupsi di BPS ini. JPM dalam laporannya memaparkan sejumlah kejanggalan dalam proyek tersebut. Di antaranya pemenang lelang dalam paket pengadaan tas dan Alat Tulis Kantor (ATK) senilai Rp27 miliar lebih adalah perusahaan yang sebelumnya pemenang pada lelang pertama yang telah dinyatakan memalsukan dokumen lelangnya. Perusahaan yang telah cacat administrasi bisa ikut dan malah dimenangkan setelah proyek pengadaannya dipecah.

Awalnya panitia dengan nilai HPS Rp81 miliiar lebih ini telah menetapkan pemenang lelang yakni PT CBJ dengan harga penawaran Rp68 miliar lebih, meskipun ada penawaran terendah yakni PT PKM senilai RP 52 milliar lebih. PT PKM tidak menang karena pokja menemukan bukti adanya pemalsuan kwitansi kepemilikan mesin.

Pada lelang kedua atau pada saat proyek dipecah, ternyata paket-paket tas dan ATK dimenangkan oleh PT PKM senilai Rp27 miliar lebih. Sedangkan pengadaan proyek rompi dan topi dimenangkan oleh CV EB senilai Rp 26 miliar lebih.

Terbongkarnya kasus korupsi di BPS ini semakin menegaskan sistem pengadaan dan jasa secara elektronik di institusi pemerintahan tidak ada jaminan terbebas dari praktik korupsi. Merujuk pada data Indonesia Corruption Watch (ICW) 2015 lalu, pelaku yang paling banyak diadili oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) selama tahun 2015, adalah PNS di lingkungan pemerintah daerah (Pemda), baik di Kotamadya, Kabupaten dan Provinsi.

Banyaknya PNS dan pihak swasta mendominasi putusan pengadilan tipikor mengindikasikan adanya persoalan serius terkait hubungan kedua aktor tersebut dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan.

"Besar kemungkinan sektor pengadaan barang dan jasa masih menjadi primadona sektor yang dibajak untuk meraup keuntungan," kata peneliti ICW, Aradila Caesar, pada awal 2016 saat merilis temuannya di Kantor ICW.

BACA JUGA: