JAKARTA, GRESNEWS.COM – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengapresiasi penandatangan nota kesepahaman penyelesaian sengketa di kawasan hutan antara Kementerian Kehutanan, Badan Pertahanan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Dalam Negeri di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (17/10) ini. Namun, KPA berharap agar kerjasama itu lebih mengedepankan poin Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan dan poin Resolusi Konflik Berprinsip Keadilan dan HAM dibandingkan poin penyelarasan teknis dan prosedural pengukuhan.
 
Sekretaris Jenderal KPA Iwan Nurdin menegaskan, nota kepahaman tersebut merupakan tindak lanjut dari Nota Kesepakatan Bersama (NKB) tentang "Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia". NKB ini, kata Iwan, ditandatangani pada 11 Maret 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, serta 12 Kementerian dan Lembaga yang disupervisi KPK dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
 
Secara substansial, NKB ini menyangkut kerjasama 12 Kementerian dan Lembaga negara untuk melaksanakan tiga komponen rencana aksi, yakni Pertama, penyelarasan teknis dan prosedural pengukuhan: Kedua, harmonisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan; dan Ketiga, resolusi konflik berprinsip keadilan dan HAM.
 
"KPA mengapresiasi kerjasama tersebut, apalagi jika KPK bisa mengarahkan pada poin kedua dan ketga. Tapi nampaknya, cita-cita dan tujuan poin pertama jauh lebih bergerak duluan dibandingkan poin kedua dan ketiga," kata Iwan Nurdin kepada Gresnews.com, Jumat (17/10).
 
Alasan KPA, konflik agraria sudah menandakan mendesaknya kebutuhan segera melaksanakan Pembaruan Agraria. Sebab, konflik yang terjadi selalu disebabkan oleh alasan-alasan ketimpangan pemilikan, penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria atau yang disebut ketimpangan struktur agraria. Soal ketimpangan struktur agraria ini, menjadi persoalan utama yang belum terselesaikan bahkan terus meningkat sepanjang kekuasaan SBY selama sepuluh tahun terakhir.
 
Karakter sengketa dan konflik agrarian yang dimaksud adalah: a) Bersifat kronis, massif dan meluas; berdimensi hukum, sosial, politik dan ekonomi; b) Merupakan konflik agrarian structural, dimana kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penguasaan dan penggunaan tanah serta pengelolaan SDA menjadi penyebab utama; c) Penerbitan izin-izin usaha penggunaan tanah dan pengelolaan SDA tidak menghormati keberagaman hukum yang menjadi dasar dari hak tenurial masyarakat; d) Terjadi pelanggaran HAM.
 
Ia berpendapat, penanganan konflik selama ini belum memberikan hasil memuaskan, baik yang pernah ditangani oleh BPN, Kementerian Kehutanan, Komnas HAM, Komisi Ombudsman atau DPR. "Dari pengalaman yang ada, proses penanganan kasus konflik agraria oleh BPN tidak dapat berjalan maksimal," tuturnya.
 
Penyebabnya menurut Iwan adalah (1) Persoalan pertanahan yang ada sebagian besar disebabkan oleh pihak BPN sendiri akibat keputusan-keputusannya, sehingga sulit diselesaikan oleh lembaga ini; (2) Cara pandang dalam menyelesaikan kasus sangat formalistik; dan (3) Kewenangan BPN sangat terbatas jika kasus melibatkan lembaga pemerintah lainnya.
 
Iwan melanjutkan, rakyat juga bisa melaporkan konflik-konflik pertanahan ke Komisi II DPR, khususnya Panja Pertanahan. Namun dalam pengamatan KPA, anggota DPR dan Panja Pertanahan di DPR memerlukan waktu yang lama dalam memahami, membahas dan meninjau lokasi konflik. Selain itu, rekomendasi DPR dalam konflik pertanahan tidak mengikat untuk diselesaikan oleh pemerintah. Bahkan, banyak rekomendasi DPR sesungguhnya diabaikan oleh BPN dan lembaga pemerintah lainnya.
 
Nasib serupa juga dialami oleh Komnas HAM dan Komisi Ombudsman sebagai lembaga yang paling sering dilaporkan rakyat dalam kasus-kasus pertanahan. "Sayangnya, rekomendasi yang diberikan oleh lembaga ini sama nasibnya dengan rekomendasi yang dikeluarkan DPR," ungkap Iwan.
 
Sementara pada konflik di kawasan kehutanan, terdapat dua tempat di kehutanan yang dapat menangani konflik tanah di kawasan hutan, yaitu Steering Committee (SC) Konflik pada Dewan Kehutanan Nasional (DKN) dan Tim Resolusi Konflik yang dibentuk oleh Menteri Kehutanan.
 
Dewan Kehutanan Nasional merupakan lembaga yang berisi para pemangku kepentingan di wilayah kehutanan yang berisi pemerintah, NGO, masyarakat,  pengusaha dan para pakar yang dipilih dalam Kongres Kehutanan yang dilakukan pemerintah melalui Kemenhut.
 
Prosedurnya, Stering Committee Konflik di DKN, menerima aduan masyarakat atas konflik di wilayah kehutanan. DKN kemudian memberikan rekomendasi penyelesaian kepada menteri kehutanan atas kasus yang mereka tangani.  Sementara, Tim Resolusi Konflik pertanahan yang dibentuk oleh Kemenhut sampai sekarang belum pernah terdengar menyelesaikan konflik di kawasan kehutanan.
 
"Dengan melihat berbagai institusi yang ada, fakta dan pengalaman mereka dalam menyelesaikan konflik melalui institusi tersebut, bisa dikatakan bahwa konflik agraria yang terjadi sesungguhnya tidak dapat diselesaikan, baik oleh pemerintah maupun DPR," tegasnya.
 
Karena itu, ia kembali mengusulkan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). KNuPKA ini jelas Nurdin pernah diusulkan Komnas HAM bersama KPA, Walhi dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya. Namun tawaran dan peluang strategi penyelesaian konflik ini tidak diambil oleh pemerintahan di masa itu. "Hari ini, KNuPKA atau dengan nama lain masih relevan dan penting untuk diinisiasi kembali," jelasnya.
 
Sementara Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi mengaku belum bisa menilai hasil nota kesepahaman tersebut sebelum melihat isi kesepakatan tersebut. "Saya harus lihat dulu garis besar isi kesepahaman tersebut baru bias menilai dan menanggapi," kata Dianto kepada Gresnews.com, Jumat (17/10).
 

BACA JUGA: