JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tim penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung membidik jajaran direksi PT Pertamina Transkontinental (PTK) dalam kasus dugaan korupsi penyediaan dan operasi kapal Anchor Handling Tug Supply (AHTS) Kapal Transko Andalas dan Kapal Tranko Celebes tahun anggaran 2012-2014. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan sejak awal proses pengadaan kapal sudah bermasalah.

Kejaksaan Agung sendiri mengaku telah memiliki hasil audit BPK tersebut. Saat ini proses penyidikan difokuskan untuk menetapkan siapa tersangka dalam kasus tersebut. Sepekan ini, sejumlah pejabat penting PT PTK diperiksa penyidik.

"Kita panggil untuk kepentingan penyidikan, ini untuk mengumpulkan bukti-bukti untuk menetapkan tersangkanya," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Moh Rum, Kamis (16/2).

Ada delapan saksi dari PT PTK yang diperiksa tim penyidik. Mereka adalah Endang Sri Siti selaku mantan Direktur Keuangan PT Pertamina Transkontinental, Joni Harsono selaku mantan Direktur Operasional PT Pertamina Transkontinental, Adam Marselan selaku Manager Keuangan PT Pertamina Transkontinental/ Anggota Tim Pengadaan Kapal dan Gita Dewi Aprilia selaku Manager Legal dan Compi Lancance PT Pertamina Transkontinental.

Lainnya adalah Nurkasa Siregar selaku Corporate Secretary PT Pertamina Transkontinental, Ahmad Zainullah Santoso selaku mantan Sekretaris Pengadaan Kapal PT Pertamina Transkontinental, Ana Yuliati selaku mantan Manager Akunting PT Pertamina Transkontinental dan Ginik Windaryati selaku Manager Treasury PT Pertamina Transkontinental.

"Ada 33 saksi yang telah kita periksa untuk mengungkap kasus ini," kata Rum.

Disoal pemanggilan mantan Dirut PT PTK Ahmad Bambang, Rum belum mengetahui. Namun dipastikan, Ahmad Bambang akan dipanggil kembali untuk diperiksa. Dalam kasus ini, beberapa kali Ahmad Bambang dipanggil penyidik namun mangkir.

Dalam kasus ini, tim penyidik mengaku memiliki bukti awal berupa laporan dari PPATK dan hasil audit BPK. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan proses pengadaan kapal AHTS tersebut bermasalah. PT PTK berdasar persetujuan direksi menunjuk anak usaha PT Pertamina (Persero) PT Vries Marine Shipyard (VMS). PT VMS ini sesuai laporan BPK disebut tak kredibel dan dianggap kurang berpengalaman.

Selain masalah kredibilitas pemegang tender, nilai proyek pengadaan kapal AHTS Transko Andalas dan Celebes yang mencapai US$28 juta dianggap terlalu mahal. Padahal menurut audit itu, harga per unit kapal hanya sekitar US$7 juta. Sehingga untuk dua kapal jumlah anggaran seharusnya senilai US$14 juta.

Hal serupa juga terjadi dalam pengadaan dua kapal lainnya yakni kapal AHTS Balihe dan Moloko, yang nilai proyeknya juga mengalami kemahalan senilai US$14 juta. Adapun, dalam hal itu, BPK menengarai, potensi kemahalan yang berimplikasi pada dugaan kerugian negara tersebut disebabkan, oleh perhitungan yang tidak berjenjang dan sumber harga yang digunakan sebagai parameter tak jelas.

Selain masalah pengadaan tender, potensi kerugian negara lainnya juga disebabkan oleh kerusakan dan ketiadaan kapal pengganti. Akibatnya, anak usaha perusahaan pelat merah itu mengalami kerugian senilai US$277,221.

Dari hasil audit BPK menemukan jika sistem Manajemen Pengadaan Kapal PTK tahun 2012-2014 tidak mencerminkan aspek compliance dan efektifitas. Seperti tidak ada batasan nilai untuk menentukan metode pengadaaan yang digunkaan dalam pengadaan kapal baru atau bekas dalam pedoman pengadaan barang dan jasa 2012.

PTK tidak memiliki TKO penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) untuk pengadaan kapal baru, kapal bekas dan kapal undercontruction. PTK juga tidak memiliki daftar mitra usaha terpilih untuk pembangunan kapal. Tim teknis dan pengadaan kapal secara kolektif tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam kontruksi kapal dan pengadaan kapal dan semua kesalahan tersebut telah diakui oleh direksi PTK.

DATA ICW - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyerahkan 50 dokumen sebagai bukti penyimpangan dalam pengadaan kapal AHTS senilai US$ 28,4 juta di PTK. Dalam investigasinya ICW menemukan beberapa kejanggalan pada pengadaan pembelian kapal tersebut, salah satu yakni adanya keterlambatan penyerahan kapal senilai US$ 5 ribu.

Dalam kontrak pengadaan PT PTK dan PT VMS dilakukan pada 2 Febuari 2012. Kapal pertama (Trans Andalas) seharusnya diserahkan di Batam 25 Mei 2012 dan ‎kapal kedua (trans celebes) diserahkan 25 Juni 2012. Namun ternyata kedua kapal diserahkan terlambat dari jadwal tersebut, yakni diserahkan 10 Agustus 2012 dan 8 Oktober 2012.

"ICW menghitung keterlambatan penyerahan kedua kapal berdasarkan tanggal kontrak mencapai 175 hari, dengan demikian terdapat denda US$ 875 ribu yang tidak ditagih oleh PT PTK pada PT VMS," kata Koordinator Divisi Investigasi ICW, Febri Hendri, Rabu (8/2).

Denda keterlambatan kemudian dikompensasi pada penambahan peralayan kapal senilai Rp 322 juta dan US$ 2.200. Kompensasi dengan tidak diatur dalam kontrak. Kontrak ini juga tidak diamandemen sesuai dengan masalah ini. Dengan demikian PT PTK dan PT VMS membuat aturan yang tidak diatur dalam kontrak sekaligus melanggar isi kontrak.

"Direksi PT PTK memundurkan tanggal amandemen kontrak, amandemen kontrak tertanggal 3 Oktober 2012 sebelum penyerahan kapal kedua tapi sebenarnya kontrak tersebut ditandatangani pada bulan November 2012," tegas Febri.

BACA JUGA: