JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang kasus korupsi dana penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010-2013 dengan terdakwa mantan Menteri Agama Suryadharma Ali menghadirkan beberapa fakta menarik. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (7/9) itu, seperti biasa, SDA-- begitu panggilan akrab Suryadharma Ali-- membela diri dan menolak semua dakwaan jaksa.

Dalam sidang dengan agenda pembacaan nota keberatan dari terdakwa itu, SDA menganggap surat dakwaan Jaksa tidak jelas, dan tidak lengkap sehingga harus dibatalkan demi hukum. Ia juga menuding Komisi Pemberantasan Korupsi telah menghina dan mempermalukan keluarganya karena telah menetapkannya sebagai tersangka.

Terlebih lagi, nilai total kerugian negara yang diumumkan pimpinan KPK Johan Budi jauh berbeda dengan surat dakwaan Jaksa. Johan ketika itu mengatakan negara dirugikan lebih dari Rp1 triliun, tetapi dalam surat dakwaan jaksa hanya disebutkan sebesar Rp27 miliar dan Saudian Real (SR) 17,96 atau setara dengan Rp54 miliar.

SDA pun mengaku berang dengan perilaku pimpinan KPK itu. "Ternyata pemberitaan kerugian negara dengan angka seperti yang disebutkan di atas, bohong belaka karena tidak sesuai dengan angka-angka yang didakwakan penuntut umum KPK kepada saya," kata SDA, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (7/9).

Dalam sidang itu, SDA juga menyoal dakwaan yang menyebutkan dia mengakomodir permintaan Komisi VIII DPR periode 2009-2014 terkait rekrutmen penyelenggaraan ibadah haji seperti Petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi, penyewaan pemondokan, pemanfaatan sisa kuota haji nasional. SDA bilang, saat itu, hubungan dia dengan Komisi VIII DPR justru buruk.

Hal ini, kata SDA, bertolak belakang dengan dakwaan jaksa KPK yang menyebutnya punya hubungan baik. "Saya tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan Komisi VIII, hubungan kami buruk, bisa dilihat dari dokumen transkrip rekaman rapat kerja Komisi VIII," ujarnya.

SDA mengaku, dia justru tidak bisa diajak kompromi, sehingga dia menolak dakwaan telah menguntungkan orang lain dan korporasi karena perbuatan menuruti keinginan Komisi VIII itu.


NUANSA POLITIS - Selain menolak dakwaan jaksa, SDA juga mengatakan kasus yang menjerat dirinya bernuansa politis. SDA menyebut, dia ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Mei 2014 untuk kasus korupsi tahun 2010-2011. "Penetapan saya sebagai tersangka adalah pada saat agenda politik nasional sedang padat-padatnya," ujarnya.

Nuansa politis itu, kata dia, semakin kental ketika 3,5 bulan sebelum surat perintah penyidikan atas nama dirinya keluar, dia sudah mendapat bocoran dari bakal jadi tersangka. Bocoran itu dia dapatkan dari pengurus Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa yang ketika itu menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

"KPK sekarang ditetapkan tersangka lalu alat buktinya dicari-cari. Jelas masalah politik tidak bisa dipisahkan atas penetapan saya sebagai tersangka," ujar SDA.

Salah satu yang dipermasalahkan SDA adalah soal kasus yang berkembang dari urusan korupsi dana haji sampai ke soal penggunaan dana operasional menteri (DOM), hingga ke urusan menerima kain penutup Ka´bah atau kiswah yang dituding sebagai gratifikasi.

KPK memang "menyelipkan" masalah kiswah ini di dalam surat dakwaan. Jaksa menganggap kain penutup Ka´bah ini sebagai gratifikasi untuk memuluskan penunjukan pemondokan jamaah haji dari para korporasi.

Inilah yang menurut SDA, KPK baru mencari-cari kesalahan setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka. Soal kiswah, kata dia, KPK menemukannya dalam penggeledahan tanggal 28 Mei 2015.

Padahal, kata SDA, dia telah ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Mei 2014 lalu, ini berarti sudah lebih dari setahun. "Yang disebut alat bukti itu ternyata tidak ada pada saat saya ditetapkan sebagai tersangka," tutur SDA.

KISWAH BUKAN GRATIFIKASI - Terkait soal kiswah, SDA mengatakan sangat tak masuk akal jika KPK menjadikan benda itu alat untuk menudingnya menerima gratifikasi. "Kiswah tidak ada nilai ekonomis dan hanya sebagai simbol keagamaan," kata SDA.

Apalagi, kata dia, kiswah yang disita itu juga diragukan keasliannya. "Dan yang pasti, kain ini bukanlah yang ada pada jaman Khalifah Dinasti Fathimiyah pada tahun 362 Hijriyah atau 972 Masehi yang bertaburkan Emas dan permata," ujarnya.

SDA juga menyebut kiswah yang disita tim penyidik banyak dijual di toko dan pedagang kali lima di sekitar Mekah dan Madinah. Dan tidak ada lapisan emas atau pun permata yang tersemat di kain tersebut.

"Saya juga tidak pernah dikonfirmasi apakah kiswah itu dari seseorang untuk memuluskan maksudnya sebagai penyedia pemondokan dan katering," tuturnya.

Disela sidang, Ketua Tim Jaksa KPK Supardi mengakui jika kiswah itu tidak ada nilai ekonomisnya. Tetapi, karena itu ada dalam proses penyidikan, maka pihaknya memasukkan hal itu ke dalam surat dakwaan.

"Penyidiknya juga tidak menghitung berapa harganya, itu kita temukan saat penyidikan," terang Supardi.

Meski begitu, Supardi yakin pihaknya bisa membuktikan hal itu sebagai gratifikasi dalam proses persidangan selanjutnya. Dengan catatan, Majelis Hakim dalam putusan sela nanti menolak eksepsi dan memerintahkan menghadirkan saksi.

"Nanti kita buktikan, kita juga akan hadirkan ahli juga mengenai kiswah," tutur Supardi.

SERET PIHAK LAIN - Dalam kesempatan itu, SDA tampak tidak hanya ingin membela dirinya saja, tetapi juga berupaya menyeret pihak lain. Dalam sidang itu, SDA menyebutkan adanya petinggi media massa, petinggi partai, hingga petinggi negara yang ikut "menikmati" dana haji yang didakwakan telah dikorupsinya.

Dalam dakwaan, jaksa KPK memang menyatakan SDA telah menggunakan sisa kuota haji bukan untuk pihak yang seharusnya, yaitu yang telah masuk dalam antrean jamaah haji. Menurut jaksa, sisa kuota diberikan dengan merujuk permintaan dari Komisi VIII DPR RI.

Terkait dakwaan itu, SDA pun mengumbar nama-nama yang turut serta menikmati kuota tersebut. "Diantaranya untuk Paspampres Wapres (era Boediono) lebih dari 100 orang, almarhum Taufik Kiemas dan Megawati Soekarnoputri 50 orang," ungkap SDA.

Ia juga menyebut ada rombongan Menteri Pertahanan di era Susilo Bambang Yudhoyono yaitu Purnomo Yusgiantoro sebanyak 70 orang, politikus senior Partai Amanat Nasional Amien Rais 10 orang, Rombongan Karni Ilyas 2 orang, dan juga ternyata ada pihak dari KPK sebanyak 6 orang.

Dikonfirmasi mengenai hal ini, Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Indriyanto Seno Adji mengaku tidak ingin gegabah memanggil pihak-pihak yang diduga ikut menikmati dana haji 2010-2013. Menurutnya, KPK akan menunggu pembuktian dari para saksi dan putusan Majelis Hakim sebelum mengambil tindakan selanjutnya.

"Pengembangan kasus ini akan selalu didasari adanya putusan pengadilan terhadap SDA yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap," kata Indriyanto kepada gresnews.com, Senin (7/9).

Menurut Indriyanto, segala sangkaan yang diucapkan jaksa maupun terdakwa harus dibuktikan dalam persidangan. Untuk itu, pihaknya belum bisa meminta keterangan pihak-pihak yang disebut oleh SDA.

"Sangkaan dalam penyidikan ini kan perlu pembuktian di persidangan. Karena itu nama yang tersebut belum bisa dipastikan turut bertanggung jawab selama belum ada kepastian dari putusan pengadilan (sampai memiliki kekuatan tetap)," ucap Indriyanto.

Pihak lain yang juga terseret dalam perkara ini adalah mantan Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. Pengacara SDA, Humphrey Djemat, mengaku akan mencoba menghadirkan Presiden RI ke-6 ini sebagai saksi meringankan.

Hal ini untuk membantah surat dakwaan jaksa bahwa ada kongkalikong antara kliennya dengan Komisi VIII DPR RI. "Pak SBY akan kita hadirkan sebagai saksi, tentunya sebagai saksi meringankan, karena SBY tahu kesulitan dan kondisi saat itu," kata Humphrey.

BANTAH GUNAKAN DOM UNTUK PRIBADI - SDA juga membantah adanya penggunaan DOM untuk pribadi dan keluarganya. Menurutnya, penggunaan dana tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak ada penyelewengan yang dilakukan.

Ia juga mengaku tidak pernah dikonfirmasi mengenai penggunaan dana tersebut sehingga dianggap merugikan negara sekitar Rp1,8 miliar. "Saya hanya ditunjukkan buku kas DOM 2011-2014," terangnya.

Diantara penggunaan DOM yang dituduhkan yaitu untuk membayar pengobatan anaknya, membayar pengurusan visa, membeli tiket pesawat, transportasi dan akomodasi selama di Australia. Kemudian juga diberikan kepada salah satu keluarganya Titin Maryati sebesar Rp13 juta.

SDA membantah semua hal tersebut. Termasuk membayar visa, transportasi, serta akomodasi dan uang saku atas nama dirinya, istrinya yang bernama Wardatul Asriyah, anaknya Kartika dan Rendika serta staf pribadi istrinya Mulyanah Acim ketika pelesiran ke Jerman.

"Dakwaan tersebut tidak benar, Kartika dan Rendika hingga kini belum pernah pergi ke Jerman," tandasnya.

Soal penggunaan dana sebesar Rp1,8 miliar itu, kata SDA, uang sebesar itu ada dalam penguasaan Kuasa Pengguna Anggaran dan bukan pada menteri selaku pengguna anggaran. "Penggunaan uang tersebut sepenuhnya berada di tangan dan tanggung jawab KPA," kata SDA.

Ia juga merinci satu persatu tuduhan penggunaan DOM itu. SDA membantah menggunakan DOM sebesar Rp12,43 juta untuk pengobatan anaknya. Sebagai menteri, kata SDA, dia mendapatkan fasilitas asuransi kesehatan Very Very Important Person (VVIP) untuk diri, istri dan keluarganya.

"Jadi tidak masuk akal bila saya meminta dibayarkan pengobatan anak saya," katanya.

SDA justru menuding anak buahnya yang bernama Saefuddin A. Syafi´i yang menyalahgunakan DOM. Dia menuding Saefuddin menggunakan dana itu dan ditulis untuk menteri. (dtc)

BACA JUGA: