JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus yang dialami Dedi (34), seorang tukang ojek yang biasa mangkal di wilayah Cililitan mungkin bisa menjadi salah satu contoh nyata betapa proses peradilan yang seharusnya bisa membuat terang sebuah perkara, justru malah membuatnya semakin gelap. Peristiwa ini biasanya disebut sebagai peradilan sesat. Korbannya umumnya memang orang-orang kecil seperti Dedi.

Dedi ditangkap aparat kepolisian Polres Jakarta Timur lantaran dituduh melakukan pengeroyokan bersama tujuh orang temannya terhadap seorang sopir angkot, September 2014 lalu. Dedi dicokok polisi pada 25 September lalu dan langsung ditetapkan sebagai tersangka.

Merasa tak bersalah, Dedi melalui kuasa hukumnya melakukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Timur. Sayang gugatannya ditolak. Dedi pun tetap menjalani proses hukum hingga kasusnya dilimpahkan ke pengadilan.

Dedi kemudian divonis 2 tahun penjara di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Dia pun mengajukan banding, dan  tingkat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dia dinyatakan bebas. Namun Dedi sudah terlanjur menjalani hukuman penjara selama 10 bulan.

Menurut pengacara Dedi dari LBH Jakarta Romy, kliennya dikerjai saksi yang memberikan keterangan tidak benar, hingga divonis bersalah. Padahal saat peristiwa terjadi pengeroyokan terjadi dia di rumah. Dedi sendiri mengaku masih syok dengan proses penahanan yang dijalaninya.

Dedi mengatakan, selama ditahan tak bisa melihat anaknya Ibrahim yang sakit, hingga akhirnya meninggal akhir Januari 2015 lalu karena kekurangan gizi. Sebagai tukang ojek dia tak bisa berbuat apapun. "Sedih ingat anak, dari sakit sampai meninggal nggak bisa lihat," imbuh Dedi dengan mata berkaca-kaca.

"Saya sekarang masih shock, saya alhamdulillah bebas. Saya nggak bersalah, saya nggak tahu soal pengeroyokan itu," tegas Dedi yang didampingi pengacara LBH Jakarta saat proses banding.

Sesuai aturan hukum, atas kejadian yang menimpa Dedi itu membuatnya berhak menerima semacam kompensasi atau penggantian mengingat posisinya sebagai korban peradilan sesat. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 mengatur secara rinci soal itu termasuk besaran kompensasi yang bisa diterima orang semacam Dedi.

Hanya saja, PP ini dinilai sudah ketinggalan zaman, lantaran di dalamnya mengatur penggantian korban peradilan sesat hanya sebesar Rp1-3 juta. Nilai ini dianggap tak pantas mengingat korban peradilan sesat telah banyak merugi baik materiil maupun immateriil.

Dalam kasus Dedi misalnya, dia sampai harus rela kehilangan anaknya akibat kasus kurang gizi lantaran bapaknya tak bisa mencari nafkah karena harus menjalani penahanan tanpa dasar hukum. Karena itu pemerintah pun kini berupaya merevisi beleid yang sudah berusia 32 tahun itu.

Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM pun bergerak mengumpulkan para pakar hukum untuk meminta pendapat penerapan nilai yang sepadan kepada para korban peradilan sesat. Para pakar hukum pun bersuara sama yaitu, ketentuan kompensasi itu harus diganti karena sudah ketinggalan zaman.

MINIMAL Rp1 MILIAR - Pengamat hukum pidana Teuku Nasrullah mengatakan, besaran minimal kompensasi yang bisa diterima korban peradilan sesat semacam Dedi adalah sebesar Rp1 miliar. "Besarnya kami masukkan minimal Rp1 miliar, ketika cacat permanen atau meninggal Rp5 miliar," katanya kepada gresnews.com, Minggu (4/10).

Angka itu, kata dia, lebih manusiawi ketimbang aturan dalam beleid lama yang yang hanya memberikan Rp1-3 juta saja. "Seharusnya ini sudah lama berubah, tapi ternyata tidak. Lihat bagaimana negara meremehkan warganya," katanya.

Dalam PP tersebut dinyatakan penggantian korban yang tidak cedera apapun maksimal diberikan Rp1 juta. Sementara untuk korban peradilan sesat yang mengalami cacat permanen atau meninggal diberikan penggantian maksimal Rp3 juta.  

Aturan yang meremehkan harkat warga negara ini, kata Nasrullah, bisa memicu aparat penegak hukum semakin brutal dan bisa seenaknya dalam menangkap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. "Padahal buat mengurusnya saja sudah habis ratusan juta, nah ini ketika terbukti tak bersalah hanya diganti Rp1-3 juta," ujarnya.

Pemerintah, kata dia, harus memperhitungkan segaIa risiko yang bisa dihadapi para korban. Mereka bisa saja setelah keluar penjara harus kehilangan pekerjaan, nama baik, mental, dan kesehatan. Sayangnya, begitu dibebaskan karena terbukti tak bersalah, negara negara malah tak melindunginya.

Untuk itulah, kata Nasrullah, dirinya sebagai anggota salah satu tim penyusun RPP KUHP mengusulkan draf yang meminta penggantian yang setimpal untuk para korban peradilan sesat seperti yang disebutkan tadi. Selain soal besarannya, kata Nasrullah, draf itu juga memuat soal siapa yang harus menanggung penggantuan tersebut.

Nasrullah mengungkapkan, dalam draf itu disebutkan, jika kesalahan penangkapan dilakukan oleh perilaku sengaja dan semena-mena dari aparat penegak hukum, maka tanggung jawab penggantian akan diserahkan secara pribadi kepada si penegak hukum. Ketika dia tak mampu, baru terdapat upaya tanggung renteng atas kompensasi itu bersama negara.

Namun ketika seluruh mekanisme dan prosedur sudah sesuai dan masih ada korban peradilan sesat maka lembaga yang melakukan penangkapan lah yang harus bertanggung jawab melakukan penggantian.

Besarnya nilai yang diajukan juga membawa harapan agar para petugas tak sembarangan dalam menciduk tersangka hukum pidana, dan juga tak menjadi euforia sesaat. "Saat itu kita berdiskusi mencari angka, dasar pilihan kita ini berdasar nilai keadilan layak diperoleh," katanya.

PENGHORMATAN HAM - Selain soal besaran dan juga siapa yang menanggung kompensasi, pengenaan kata kompensasi ketimbang kata ganti rugi itu sendiri juga dipertimbangkan dengan matang.

Guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof Adji Samekto mengatakan, dalam kata ´kompensasi´ terdapat nilai pemberian kerugian materil, sikap penghormatan terhadap HAM, perasaan penyesalan dan kedudukan negara menyetarakan warga negaranya.

Kompensasi ini lalu dituangkan dalam nilai materil sebagai simbol-simbol perasaan kenegaraan tersebut. "Ketentuan ganti rugi yang begitu kecil tidak mencerminkan pemenuhan rasa keadilan kontekstual," ujar Prof Adji.

Oleh sebab itu maka sudah saatnya negara menaikkan nilai kompensasi itu. Namun nilai tersebut harus disebut secara fleksibel agar hakim mempunyai kebebasan penuh untuk memperhatikan proses konkret dalam kasus yang dihadapinya. "Makin sempit dan makin kaku suatu aturan maka akan mempersempit kebebasan hakim untuk mewujudkan rasa keadilan masyarakat," beber Prof Adji.

Menurutnya, sebagian pelanggaran memang dapat dikompensasi, akan tetapi tidak semua bentuk pelanggaran dapat dikompensasi. Menyitir pendapat Robert Nozick, kompensasi diberikan apabila hidup korban menjadi lebih buruk dari sebelumnya sehingga seberapa pun nilai kompendasi atau ganti rugi tidak akan pernah membayar kerugian dan nilai kebebasan yang melekat pada setiap manusia kodrati.

"Terdapat pembenaran filosifis, yuridis maupun sosiologis mengapa perlu diadakan tinjauan terhadap aturan (PP Nomor 27 tahun 1983)," cetusnya.

Terkait penyusunan RPP ini, para pakar berharap tak hanya dukungan dari Kemenkumham tetapi juga Kementerian Keuangan terkait besaran kompensasi yang bakal diberikan. "Saya harap kementerian keuangan dapat mendukung usulannya dalam RPP KUHP guna melindungi korban peradilan sesat," kata Nasrullah.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyatakan kesepahamannya terkait masalah besaran angka kompensasi, dimana angka maksimal penggantian hanya Rp3 juta dinilainya terlalu kecil. Namun soal berapa angka yang pantas, dia mengatakan punya formulasi sendiri untuk jumlah kompensasi korban peradilan sesat yang sesuai dengan saat ini.

"Menurut saya, seharusnya ganti rugi tidak ditetapkan nilai maksimalnya, tetapi dihitung berdasarkan jumlah hari dimana si korban ditangkap atau ditahan dan hari-hari menjalani persidangan," katanya kepada gresnews.com, Sabtu (3/10).

Dasarnya, kata Arsul, saat menjalani proses itulah, korban mengalami kerugian materil seperti tak bisa mencari nafkah. Kemudian hasil perhitungan hari tersebut dikalikan dengan nilai rupiah tertentu per hari, misalkan Rp250 ribu.

Ia mengharapkan revisi nominal penggantian dapat dilakukan dengan tepat dan nominal yang sesuai. "Jika nantinya dinaikkan tapi tak signifikan maka tak tertutup kemungkinan peraturan itu akan diuji materi (judicial review) ke MA," katanya.

Menyoal pembahasan RUU KUHP yang dituduhkan terlalu lama berada di DPR sehingga memperlambat pula pengesahan RPP KUHP yang memasukkan klausul kompensasi korban peradilan sesat Rp1-5 miliar, Arsul menyatakan RUU KUHP saat ini sudah sampai pada pengumpulan daftar inventarisasi masalah (DIM). "Sebelum reses akhir Oktober kita akan lakukan pembahasan awal dengan tim pemerintah," ujarnya. (dtc)

BACA JUGA: