JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergeming tetap kukuh tak mempedulikan pernyataan Partai Demokrat yang meragukan operasi tangkap tangan terhadap salah satu anggotanya, I Putu Sudiartana. KPK menegaskan biar pengadilan yang memutuskan bersalah atau tidaknya kader Demokrat yang tertangkap tersebut.

Salah satu Komisioner KPK Saut Situmorang terlihat santai menanggapi hal tersebut. Ia justru meminta agar semua pihak termasuk Partai Demokrat untuk menerima kadernya menjadi tersangka kasus korupsi setelah terjadi penangkapan.

"Itulah pentingnya open mind atas realitas hukum," kata Saut saat dihubungi wartawan, Rabu (30/6).

Saut meyakini, penetapan status I Putu Sudiartana setelah melalui pemeriksaan 1x24 jam setelah terjadinya tangkap tangan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Dan KPK juga mempunyai bukti yang cukup kuat untuk hal tersebut.

Kemudian untuk pengujian biar pengadilan yang memutuskan nantinya. "Rekomendasinya kita harus mau mendekati materil dan formilnya TPK dimaksud baru kemudian yang terbaik adalah kita membahas kasusnya di pengadilan," tutur Saut.

Saut kembali menegaskan bahwa penyidik dan penuntut umum KPK meyakini memang ada tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Putu Sudiartana yaitu berupa suap yang berkaitan dengan jabatannya. Oleh karena itulah penyidik menaikkan statusnya menjadi penyidikan.

"Penyidik dan penuntut KPK firm pada kasus tersebut dengan tambahan bahwa dinamika Tindak Pidana Korupsi (TPK) kalau hanya diikuti dengan pendekatan yang linear alias tidak progresif," pungkas Saut.

"Maka upaya kita untuk menaikkan angka Indeks Persepsi Korupsi yang 36 saat ini akan jalan di tempat. Itu sebabnya pasal yang kita gunakan pun sebaiknya diuji di pengadilan," sambungnya.

Saut juga mempunyai pendapat berbeda dengan rekannya Laode Muhammad Syarief mengenai pemberian suap melalui rekening yang dilakukan pengusaha kepada Putu merupakan modus baru. Menurut Saut justru modus itu merupakan modus klasik.

Saut berpendapat, tiap orang mempunyai cara tersendiri dalam melakukan korupsi sesuai dengan kenyamanan masing-masing. Dan untuk pemberian transfer ini, memang tidak lazim. Karena sebelumnya kasus suap diberikan melalui uang tunai.

"Modus klasik atau lama juga ya sebenarnya transfer. Ini dinamika saja, saya lebih suka menyebutnya style aja yang di dalamnya yang bersangkutan merasa aman dan nyaman dengan model menggunakan pihak ketiga," imbuhnya.

RAGUKAN OPERASI TANGKAP TANGAN KPK - Sebelumnya, Partai Demokrat memang meragukan penangkapan yang dilakukan KPK atas kadernya. Wakil Sekertaris Jenderal Partai Demokrat Rachlan Nasidik menganggap alat bukti berupa bukti transfer tidak lazim digunakan dalam operasi tangkap tangan (OTT).

"Kami tidak melihat kejadian yang dimaksud lazimnya OTT diperlihatkan oleh KPK. OTT biasanya clear, ada uang diserahkan kepada orang kemudian menjadi tersangka. Kami tidak menemukan adanya penjelasan eksplisit ada uang ditransaksikan, yang selama ini dijadikan sebagai unsur utama tangkap tangan," ujar Rachlan dalam jumpa pers, Rabu (26/6) malam.

Rachlan menganggap hal itu tidak lazim lantaran transfer tidak dilakukan ke rekening Sudiartana. Partai Demokrat menganggap yang namanya penangkapan lewat operasi tangkap tangan harus ada unsur penyerahan uang tunai ke penyelenggara negara.

"Ini pernyataan paling lemah sebagai OTT. Ini bukan peristiwa OTT yang lazim sebagaimana diketahui. Di mana pejabat publik disuap. Dalam peristiwa ini tidak ada. KPK mengatakan yang ada bukti transfer, dan itu bukan kepada rekan kami sebagai tersangka. Ini petunjuk dalam hukum namun harus ada bukti lanjut. Saya katakan ini adalah OTT paling lemah. Tidak seperti biasanya," papar Rachlan.

Dalam kasus tersebut, KPK telah menetapkan 5 orang tersangka yaitu Putu Sudiartana, Novianti selaku staf pribadi Sudiartana, Yogan seorang pengusaha, Suhaemi orang dekat Sudiartana, dan Kepala Dinas PU Sumbar Suprapto. Sudiartana menerima suap lewat tiga kali transfer ke rekening Mukhlis, suami Novianti, staf pribadi Sudiartana.

Sudiartana ditangkap KPK pada Selasa, 28 Juni 2016, di rumah dinasnya di Ulujami, Jakarta Selatan. Uang Sin$40 ribu turut disita KPK saat menangkap Sudiartana. Namun uang suap yang diduga KPK berkaitan dengan sebuah proyek infrastruktur di Sumatera Barat berjumlah Rp500 juta. Duit itu ditransfer ke beberapa rekening dalam waktu berdekatan dengan rincian Rp150 juta, Rp300 juta, dan Rp50 juta.

Uang itu merupakan suap dari pengusaha Yogas Askan. Sudiartana menjanjikan akan menggolkan 12 proyek pembangunan jalan di Sumatera Barat dengan nilai proyek Rp300 miliar. Proyek akan dimasukkan di APBNP 2016 dan didanai menggunakan skema multiyears 3 tahun.

Putu, Novianti, dan Suhemi diduga sebagai penerima suap. Mereka disangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Yogan Askan dan Suprapto sebagai pemberi suap. Mereka disangkakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat ke-1 KUH Pidana. 

GELAR PENGGELEDAHAN - Penyidik KPK telah selesai melakukan penggeledahan di ruangan anggota DPR dari Fraksi Demokrat I Putu Sudiartana. Penyidik membawa dokumen dalam sebuah koper.

Kurang lebih enam orang penyidik KPK keluar dari ruangan Putu yang ada di lantai 9 Gedung Nusantara 1, Kamis (30/6). Ruangan ini sebelumnya sudah disegel sejak Rabu kemarin.

Salah satu penyidik membawa koper berwarna hitam. Sedangkan para penyidik lainnya menenteng tas punggung. Enam polisi yang mengawal penggeledahan ini juga ikut balik kanan. Mereka menuju basement untuk mengambil mobil dan meninggalkan kompleks Senayan.

Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Sufmi Dasco Ahmad sempat menemani para penyidik KPK. "Suatu ketentuan perundang-undangan bahwa pengeledahan harus didampingi oleh MKD dan sesuai dengan aturan," tutur Dasco.

Putu Sudiartana ditetapkan sebagai tersangka kasus penggiringan proyek jalan di Sumatera Barat. Pria yang juga merupakan Wakil Bendahara Umum Partai Demokrat ini mendapatkan tiga kali transfer uang dari pengusaha.

BACA JUGA: