JAKARTA, GRESNEWS.COM – Wakil Kepala Pusat Pelaporan Analisis dan Tranksaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso punya informasi menarik. Menurut dia, dari data yang dimiliki PPATK, dari enam profesi bidang hukum dan keuangan yaitu advokat, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), akuntan, akuntan publik dan financial planner, yang paling banyak melakukan transaksi mencurigakan adalah advokat. Di urutan kedua adalah notaris.

Karena itu, kata Agus, dua profesi ini termasuk paling rentan terkena jerat pasal pencucian uang. Agus memang tak menyebutkan seberapa banyak advokat atau notaris yang terdeteksi PPATK melakukan transaksi mencurigakan hingga dinilai rentan tersangkut pencucian uang. Namun, dia menegaskan, advokat sebaiknya juga menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menangani kliennya.

Advokat memang menjadi salah satu pihak yang wajib melaporkan tindak pidana pencucian uang seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PP TPPU). Pasal 3 PP tersebut menyebutkan salah satu yang wajib menjadi pelapornya adalah advokat.

Terbitnya beleid ini memang kemudian mengundang reaksi keras dari kalangan advokat. Sebab, PP tersebut dianggap bertabrakan dengan kode etik advokat yang harus menjaga rahasia kliennya.

Dalam konteks inilah, kata Agus, bagi advokat juga berlaku asas "know your customer" sebagaimana yang berlaku bagi bank dan lembaga keuangan lainnya. Dengan terbitnya PP tersebut, kata Agus, ada dua yang harus dilakukan para advokat.

Pertama, yaitu mereka harus mengenali "nasabah" alias klien yang menggunakan jasa mereka. Mengenali klien ini maksudnya memverifikasi dan mengidentifikasi serta melihat transaksi klien mereka.

Kedua, mereka harus melaporkan apabila ada transaksi mencurigakan. "Tapi bentuknya seperti apa masih harus kita bicarakan karena PPATK juga menyadari bahwa profesi notaris dan akuntan publik punya UU sendiri yang di dalamnya ada kerahasiaan jabatan. Jadi kita akan mulai diskusi untuk membangun sistem pelaporan," ujar Agus saat dihubungi gresnews.com, Jumat (7/8).

Dia menambahkan, PP itu diterbitkan berdasarkan riset PPATK yang menemukan profesi tertentu rentan disalahgunakan tindak pidana pencucian uang. Profesi terbanyak yang terlapor adalah advokat diikuti peringkat selanjutnya profesi notaris.

Kalau profesi tertentu yang disebutkan dalam PP tidak melapor dugaan TPPU, maka bisa bisa kenal Pasal 4 dan Pasal 5 PP 43/205 sebagai penerima pasif hasil kejahatan. "Kalau advokat menjadi pelapor maka tidak akan terkena Pasal 4 dan Pasal 5 PP tersebut. Dengan menjadi pelapor, profesi yang bersangkutan akan terlindungi dari oknum yang berbuat jahat terhadap profesi tersebut," ujarnya.

GANGGU IMUNITAS ADVOKAT - Pengacara senior Juniver Girsang mengaku para advokat sangat keberatan dengan adanya PP ini. Pasalnya, menurut dia, terkait masalah kejahatan, jika memang terjadi, advokat pun tidak akan melindungi perbuatan kejahatan tersebut.

Dalam KUHAP juga diatur apabila mengetahui satu perbuatan jahat maka kita harus melaporkan pada aparat. Yang jadi persoalan, menurut dia, jangan dengan alasan ada dugaan kejahatan, kemudian secara memaksa mengganggu hak imunitas yang dimiliki advokat.

"Contohnya advokat wajib melindungi rahasia klien. Tentu kalau wajib melindungi rahasia klien maka yang dimaksud melindungi ini adalah hal-hal yang menyangkut kepentingan hukum dari klien itu. Tapi kalau dikatakan melindungi hasil kejahatan itu bukan melindungi hak klien. Itu sudah melindungi kejahatan. Jadi harus dibedakan," kata Juniver saat dihubungi gresnews.com, Jumat (7/8).

Dia mengatakan, para advokat menghormati adanya penegasan dalam PP yang menyebutkan advokat harus melaporkan ketika mengetahui ada perbuatan yang terindikasi tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh klien. Menurutnya penekanan PP tersebut lebih pada kalau advokat mengetahui terdapat uang dari hasil kejahatan.

Kalau advokat mengetahuinya maka tentu advokat tidak boleh "bersentuhan" dengan hasil kejahatan tersebut. Tetapi, kata Juniver, dia tidak menerima tindakan-tindakan yang mengganggu dan mempreteli hak imunitas advokat untuk melindungi klien.

"Jangan sampai organisasi advokat dipecundangi dengan mengganggu hak imunitas advokat," ujarnya.

BERTENTANGAN DENGAN UU ADVOKAT - Secara lebih tegas, Pengurus Harian Himpunan Advokat Muda DKI Jakarta Ferdian mengatakan, PP ini tidak sejalan dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).

Pasal 19 Ayat (1) UU Advokat menyebutkan advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Lalu pada Ayat (2) dinyatakan, advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik advokat.

"PP dengan UU hirarkinya beda. UU tentu lebih tinggi dibandingkan PP," ujar Ferdian saat dihubungi gresnews.com, Jumat (7/8).

Lalu ia menambahkan advokat juga berhak menerima honorarium dan bergantung pada kemampuan kliennya. Honorarium advokat ini sesuai dengan Pasal 21 UU Advokat. Menurutnya, antara PP dengan UU yang ada tidak sejalan.

Ferdian sendiri berencana mengajukan uji materi atas PP ini. Namun mengajukannya ia akan mengkajinya lebih dulu. Dia menilai, uji materi PP ini dinilai perlu untuk melihat apakah bertentangan dengan UU atau tidak.

"Ketika PP ini dianggap bertentangan dengan UU maka PP harus digugurkan," ujarnya.

Ketua HAMI Dewan Pimpinan Cabang Tangerang Dedy Junaedi Syamsuddin mengatakan, dalam praktiknya, PP ini jelas bakal bertentangan dengan Pasal 19 UU Advokat soal kewajiban advokat menjaga kerahasiaan klien.

"Contoh kita punya klien pegawai negeri yang punya duit miliaran. Dari mana? Kita diam-diam laporkan ke PPATK. Itu dari sisi moral kita, memang kita sangat setuju KPK dan PPATK untuk memberantas korupsi di negara ini. Tapi di sisi lain bertentangan dengan UU Advokat di Pasal 19 bahwa kita harus jaga kerahasiaan klien sekecil apapun selama menjadi klien kita," tutur Dedy pada gresnews.com pada kesempatan terpisah.

Menurutnya, baik pengacara maupun KPK sebenarnya sama-sama penegak hukum. Hanya saja posisinya ketika mendapat kuasa dari klien, bagia advokat kerahasiaan kliennya harus tetap dijaga. Menurutnya posisinya dilematis karena ingin tujuan hukum tercapai soal keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.

Kalau kliennya memang terbukti melakukan korupsi maka advokat juga harus dukung penuh KPK dan PPATK untuk pemberantasan korupsi. Tapi advokat juga menganut prinsip asas praduga tak bersalah.

Dia menilai kalau belum bisa dibuktikan di pengadilan secara inkracht maka belum bisa dikatakan orang yang bersangkutan bersalah. Terkait perlunya PP ini diujimaterikan, Dedy menilai, PP ini memang harus diujimaterikan ke Mahkamah Agung (MA).

"Pasalnya PP ini bertabrakan dalam konteks advokat yang harus melaporkan kliennya yang diduga memiliki tranksasi mencurigakan," ujarnya.

Dedy melanjutkan, ketika PP ini dihadapkan dengan UU Advokat, tentu posisi UU Advokat lebih tinggi dibandingkan PP ini. Dengan demikian, UU Advokat yang dinilai lebih berlaku untuk menjaga kerahasiaan klien daripada membongkar rahasia klien. "Ketika advokat membongkar rahasia klien maka sama dengan melanggar UU Advokat," tegasnya.

Dedy menilai, ketika ingin PP dan UU Advokat disinkronkan seharusnya ada kelanjutan aturan dari Pasal 19 UU Advokat. Menurutnya sebelum PP diberlakukan harusnya MA, organisasi advokat, dan PPATK duduk bersama untuk membahas aturan ini.

"Diundanglah organisasi kita, kita sebagai penegak hukum. Biar duduk bersama. Baru dijalankan. Memang pasti akan ada pro kontra. Tapi paling tidak kita bagian dari pilar penegak hukum harus dilibatkan supaya tidak terjadi diskresi," pungkasnya.

DEMI KEPENTINGAN PEMBERANTASAN KORUPSI - Terkait polemik ini, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) fraksi PPP Arsul Sani mengatakan di satu sisi memang advokat harus menjaga kerahasiaan kliennya. Tapi di sisi lain untuk kepentingan yang lebih besar untuk melakukan pencegahan kejahatan dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU), advokat diwajibkan melaporkan.

"Persoalannya ketika ada dua kepentingan antara menjaga kerahasia klien dengan menjaga kepentingan negara, maka yang harus diutamakan adalah menjaga tidak terjadinya tindak pidana kejahatan. Kalau kami di DPR mendukung bahwa siapapun yang punya potensi untuk terkait dengan kemungkinan TPPU, perlu diberi kewajiban melakukan pelaporan atas tiap transaksi mencurigakan," tutur Arsul kepada gresnews.com, Jumat (7/8).

Saat ditanya soal UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang tidak sama sekali mengatur advokat harus melapor, ia mengakui belum melihat UU tersebut. Tapi, kata dia, secara umum memang terdapat prinsip untuk melakukan pencegahan kejahatan TPPU. 

Karena itu, meski tak disebut di UU, secara moral setiap orang terikat pada aturan pencegahan TPPU. Secara teoritis, kata dia, PP memang bisa dibuat ketika ada kewenangan yang diberikan UU. Tapi ia yakin cantolannya ada dalam UU tersebut (UU No 8/2010 -red).

Menurut Arsul, PP ini tidak menghilangkan hak para advokat dan profesi lain yang berkeberatan dengan PP tersebut. Ia menilai PP tersebut bisa diujimaterikan ke MA.

Kalau MA memutuskan harus dimuat dalam UU dan tidak boleh dalam bentuk PP, maka, kata Arsul, DPR tinggal merevisi UU bersangkutan. Toh, dalam program legislasi nasional 2015-2019 terdapat perubahan Rancangan UU TPPU.

"Sebab PP ini dilihat dari tujuannya bagus. Tapi apakah PP ini memiliki cantelan hukum atau tidak? Maka itu harus dikaji lagi," ujarnya.

Terkait hal ini, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Mudzakkir menilai, kewajiban melaporkan memang agak sulit bagi advokat lantaran menjalani profesi. Sama dengan dokter yang melihat gejala pencucian uang pasiennya, ia mempertanyakan apakah harus melapor.

Dia menilai aturan seharusnya tidak memaksa seperti PP tersebut tapi harus juga menghargai profesi. "Saya kira itu berlebihan. Jangan masuk dunia profesi. Karena dunia profesi diberi wewenang untuk menjaga kehormatan kliennya. Menurut saya itu juga menabrak payung hukum profesi bersangkutan," ujar Mudzakkir kepada gresnews.com, Jumat (7/8).

Ia melanjutkan, prinsipnya yang melaporkan TPPU bisa semua orang. Tapi pelaporan tersebut urusan pribadi yang bersangkutan dan tidak bisa dikatakan sebagai kewajiban. Sama dengan hakim, misalnya ketika hakim mengadili sesuatu yang berhubungan dengannya maka harus mengundurkan diri dan tak bisa dipaksa mengadili.

Menurutnya, bank yang harusnya "dikriminalkan" lebih dulu ketika ada simpanan uang yang tak terhingga ketimbang advokat. Intinya, Mudzakkir menekankan, dalam TPPU, bukti awal tindak pidana lebih penting dari TPPU itu sendiri.

Alasannya, dalam Pasal 2 UU TPPU disebutkan TPPU harus berasal dari tindak pidana tertentu. Kalau pada pencucian uangnya yang lebih ditekankan, maka hal itu menunjukkan sistem hukum Indonesia dianggap lemah dalam memproses orang yang melakukan tindak pidana, sehingga dicari yang mudah melalui TPPU.

"Padahal dalam TPPU harus ada tindak pidananya," pungkasnya.

BACA JUGA: