JAKARTA, GRESNEWS.COM - Rancangan Undang-undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu yang saat ini sedang digodok DPR menuai banyak protes. Pasalnya, dalam draf RUU yang diserahkan pemerintah, tertulis bahwa mekanisme sistem pemilihan akan dibuat secara terbuka terbatas. Beberapa pihak menganggap poin terbuka terbatas itu secara substansi adalah sistem tertutup, yang bertujuan agar partai politik bisa menempatkan kader terbaiknya di parlemen.

Anggota Komisi II DPR Muchtar Lutfy A. Mutty mengatakan, permasalahan sistem proposional terbuka terbatas sudah pernah terjadi sebelumnya. Sistem tersebut sudah pernah digunakan sebelumnya pada pemilu legislatif tahun 2004, sehingga permasalahan sistem pemilu ini bukan menjadi hal yang baru.

Sistem proporsional terbuka terbatas yang diajukan pemerintah adalah perpaduan antar sistem terbuka dan tertutup. Para peneliti nantinya bisa melihat daftar calon anggota legislatif di partai tersebut, namun urutan para calon itu tetap merupakan kewenangan partai. "Yang pasti proporsional tertutup tidak mungkin lagi digunakan," ujar Muchtar kepada gresnews.com, Sabtu (5/11).

Hal tersebut berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 22-24/PUU-VI/2008 terkait Pasal 5 dan Pasal 215 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif yang menyebutkan, pemilu harus dilakukan dengan sistem proporsional terbuka. Dengan demikian, tidak mungkin lagi menggunakan sistem proposional tertutup.

Dalam permasalahan ini, ia mengungkapkan, tidak ada sistem yang sempurna, setiap sistem mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelemahan dalam sistem proposional terbuka akan membuat persaingan di tubuh partai politik menjadi terlalu liberal. "Orang-orang yang tidak berkeringat mengurus partai bisa menjadi terpilih karena berapa alasan," katanya.

Lebih lanjut ia meminta agar seluruh pihak bersabar menunggu pembahasan draf RUU Pemilu yang diserahkan pemerintah rampung diselesaikan. DPR akan melakukan yang terbaik dalam membahas segala hal terkait Pemilu  demi terselenggaranya pemilu berkualitas. "Akan kita selesaikan seluruh pembahasannya setelah reses," ujarnya.

Sebelumnya, pemerintah telah menyerahkan draf RUU Penyelenggara Pemilu ke DPR pada 21 Oktober yang lalu. RUU ini merupakan penggabungan 4 UU, yakni UU Pemerintah Daerah, UU Pemilihan Umum, UU Pemilihan Presiden, dan UU Penyelenggara Pemilu. RUU ini terdiri dari enam buku dengan 543 Pasal. DPR sendiri telah membentuk Pansus untuk membahas RUU Penyelenggaraan Pemilu.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan, RUU Pemilu sudah clear. Pemerintah dalam menyusun draf RUU penyelengara pemilu telah melakukan kolaborasi dengan tiga kementerian. Ketiga kementerian yang melakukan harmonisasi dalam mennyusun draf RUU tersebut antara lain Kemendagri, Kementerian Hukum dan HAM (Kemhumham) dan Setneg (Kementerian Sekertaris Negara).

"Pembahasan tidak hanya dilakukan Kemdagri tapi juga melibatkan sejumlah Kementerian," ujar Tjahjo Kumolo, Jumat (4/11).

PASAL INKONSTITUSIONAL - Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KODE) Inisiatif Adelina Syahda mengatakan, ada 22 Pasal dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu disinyalir inkonstitusional dan bertentangan UUD 45 serta dibatalkan lewat putusan MK sejak 2003 sampai 2016. Dari 111 permohonan yang 24 diantaranya diputus dengan amar dikabulkan.

"Nantinya, terhadap amar yang dikabulkan ini akan berdampak pada penafsiran konstitusionalitas pasal yang diujikan, yaitu apakah akan diakomodir atau justru luput dari perhatian pemerintah," kata Adelina, Kamis (3/11) lalu.

Ketua KODE Inisiatif Veri Junaidi mengatakan ke-22 pasal yang sudah dibatalkan itu menjadi indikator inkonstitusional atau tidaknya pasal-pasal pada UU Pemilu yang disusun pemerintah dan DPR. "Indikator dari inkonstitusional di sini yaitu sudah pernah diputuskan dan dimatikan atau dibatalkan oleh MK namun oleh pemerintah, oleh RUU Penyelenggraan Pemilu dihidupkan kembali," lanjut Veri.

Menurutnya, putusan MK adalah putusan konstitusi dan bahkan sama dengan konstitusi itu sendiri. Putusan MK seharusnya menjadi panduan pemerintah atau DPR dalam RUU Pemilu. "Jadi wajib hukumnya (putusan MK) dijalankan oleh semua pihak tak terkecuali apalagi pembuat UU pemerintah apalagi DPR, karena memang posisi MK sebagai lembaga penafsir konstitusi," ucap Veri.

Veri beranggapan apabila nantinya ke-22 pasal yang sudah dimatikan ini dibiarkan keberadaannya, maka akan berakibat inkonstitusional jika dilakukan judicial review. Salah satu contoh dari 22 pasal potensial melanggar Konstitusi adalah pasal 190 draf RUU Penyelenggara Pemilu terkait syarat parpol dalam pengajuan calon presiden.

Pasal 190 itu berisi, pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Pasal ini dianggap melanggar putusan MK 14/PUU-XI-2013 yang menyebutkan bahwa apabila suatu partai politik dinyatalan lolos verifikasi untuk menjadi peserta pemilu, maka semestinya secara langsung juga berhak untuk menjadi peserta pada pengusulan capres dan cawapres.

"Ketentuan soal Pasal 190 yang ada kewajiban dukungan 20 persen kursi dan 25 persen suara merupakan ketentuan yang inkonstitusional karena dengan pemilu serentak ini, semua dalam posisi yang sama kan, sama-sama ikut pemilu, pemilunya bareng di hari yang sama legislatif dan presiden. Jadi sama-sama tidak punya modalitas politik," terang Veri.

Angka 20 persen dan 25 persen ini pun didasarkan pada pemilihan sebelumnya tahun 2014 sehingga menghilangkan kesempatan untuk parpol tertentu yang tidak bisa mencukupi ambang batas. "Kemudian kenapa ketentuan dukungan 20 persen kursi dan 25 suara muncul di pemilu sebelumnya? Karena pemilunya beda. Waktunya beda, legislatif di April, Juli untuk presiden, sehingga ketika mau calonkan presiden sangat mungkin mereka yang lolos di legislatif punya kursi, boleh jadi syarat dia naik di presiden," katanya.

Namun untuk saat ini semua itu menjadi berbeda karena pemilu dilakukan serentak. Semua parpol sama-sama maju ikut pemilu di hari yang sama. "Apa kemudian yang mau dipakai sebagai dasar? Pemilu sebelumnya? Bagaimana dengan peserta pemilu yang sekarang ada misal seperti PSI dan Perindo? Mestinya mereka punya kedudukan yang sama di mata hukum untuk ikut Pileg Pilpres," papar Veri. (dtc)

BACA JUGA: