JAKARTA, GRESNEWS.COM - Harimau mati meninggalkan belang, Fredi Budiman mati meninggalkan kegegeran publik. Pasalnya, gembong penyelundup narkoba yang sudah menjalani eksekusi mati pada Jumat (29/7) dini hari itu, sempat meninggalkan pengakuan yang menghebohkan kepada kepada Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar.

Haris sendiri mengakui adanya kesaksian Fredi yang disampaikan kepadanya pada tahun 2014 itu. Dalam keterangan Haris, Fredi menguak fakta keterlibatan sejumlah oknum di beberapa instansi negara yang diduga ikut membekingi aksi penyelundupan narkoba yang dilakukannya.

Haris mengatakan, berdasarkan keterangan Fredi, dia telah memberikan uang ke oknum Badan Narkotika Nasional (BNN) sebesar Rp450 miliar dan Rp90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Selain itu, penyelundup 1,4 juta butir ekstasi ini juga mengaku, harga per butir ekstasi dari pabrik di China Rp5 ribu.

Kemudian dia bekerja sama dengan oknum-oknum mulai dari perizinan masuk barang sampai penegak hukum. Mereka kerap menitip harga mulai dari Rp10 ribu sampai Rp20 ribu per butir. "Fredi mengaku dia bisa menjual Rp200 ribu per butir, dan dia tak masalah ketika oknum Bea Cukai, oknum polisi, dan oknum BNN ikut menitip harga per butirnya," ujar Haris, dalam konferensi persnya di Kontras, Jakarta Pusat, Jumat (29/7).

Tak hanya itu saja, ketika barang narkoba miliknya disita, Fredi mengaku barang itu malah ada yang dijual ke pasar narkoba oleh oknum penegak hukum. Dia juga menyetor miliaran rupiah ke oknum penegak hukum. Fredi bahkan mengaku bisa bebas menyetir mobil berisi narkoba menggunakan kendaraan oknum perwira tinggi militer. Si jenderal itu, ujar Fredi, bahkan duduk menemani di sampingnya.

Sayangnya, pengakuan itu, kata Haris, tidak ditindaklanjuti dengan maksimal oleh penegak hukum. Haris menjelaskan, setelah adanya pengakuan Fredi itu, penindakan peredaran narkoba oleh penegak hukum tetap dilakukan setengah hati. Sejumlah oknum pejabat yang disebutkan Fredi, tetap tidak tersentuh hukum.

"Saya juga menyesal, Senin saya sudah ngomong ke Johan Budi walaupun Johan Budi sudah ngomong ke Jaksa Agung tapi tidak ada kebijakan optimal. Ini bukan soal menyelamatkan Fredi tapi menyelamatkan institusi negara yang dipakai untuk  memfasilitasi pengedar, bandar," kata Haris

Sebelumnya Jokowi begitu bersemangat berbicara soal pemberantasan kasus narkoba. Dengan adanya pengakuan Fredi ini, kata Haris, presiden-lah kini yang harus mengambil alih tanggungjawab untuk meninjau kembali informasi yang disebutkan Fredi itu.

Haris mengaku sudah menyampaikan informasi tersebut kepada Johan Budi pada Senin (25/7) dengan harapan akan disampaikan kepada presiden. Namun pihak pemerintah, menurut Haris, tidak merespons sedikit pun dari informasi yang disampaikannya, hingga hari Kamis (28/7). Padahal jika pemerintah benar berkomitmen memberantas peredaran Narkoba, maka eksekusi terhadap Fredi bisa saja ditangguhkan untuk menggali lebih jauh lagi keterlibatan oknum BNN, Kepolisian dalam kasus Fredi.

"Tapi kenapa ketika ada informasi dari Fredi tentang keterlibatan oknum institusi negara, enggak kelihatan gesturnya?" ujar Haris kecewa.

Lebih lanjut Haris menyayangkan tindakan pemerintah yang tak mempertimbangkan eksekusi hukuman mati terhadap Fredi Budiman. Menurut dia, kalau pemerintah mengeksekusi Fredi, maka pemerintah sebenarnya "melindungi" oknum pejabat negara yang terlibat dalam kasus tersebut.

"Kalau eksekusi orang ini (Fredi Budiman-red) maka akan berpotensi menghilangkan keterangan signifikan untuk membongkar kejahatan yang melibat sejumlah pejabat di institusi negara dan sejumlah ratusan miliaran suap-menyuap," ungkap Haris.

Haris menilai kasus Fredi, bisa menjadi momentum untuk mengungkapkan fakta jaringan mafia Narkoba. "Meskipun pengakuan Fredi tidak menyebut nama oknum namun petunjuk-petunjuk itu bisa dilacak untuk penegak hukum," ujar Haris.

Dia menantang pemerintah mengungkap keterlibatan oknum petinggi instansi BNN, Kepolisian dan TNI seperti pengakuan Fredi Budiman padanya. Menurut Haris sebenarnya bisa menelusuri dari indikasi-indikasinya. Dalam percakapan bersama Fredi, Haris sempat menanyakan nama-nama oknum tersebut. "Cek saja di pleidoi (nota pembelaan-red) saya," kata Haris meniru kata Fredi.

KASUS FREDI DITUTUPI? - Haris Azhar menegaskan, meski sudah dieksekusi mati, kasus Fredi Budiman belum sepenuhnya selesai. Dia mendesak indikasi-indikasi yang menunjukkan keterlibatan oknum yang disebut Fredi masih perlu didalami.

Sayangnya, kata Haris, kasus itu seperti sengaja ditutup rapat dengan cara mengeksekusi Fredi. Permintaan Fredi untuk mengecek ke pledoinya pun masih diselimuti kejanggalan. "Saya sudah minta teman Kontras untuk mengecek. Tapi dalam website MA hanya mencantumkan putusan," ujarnya.

Kontras juga sempat menanyakan secara resmi dan tidak resmi ke panitera, tapi tidak diberikan oleh pihak pengadilan. Bahkan Kontras kemudian berinisiatif untuk mengecek putusan Fredi namun dalam putusan itu tidak mencantumkan keterangan Fredi yang disampaikan kepadanya. "Diputusan tidak ada informasi yang mencantumkan keterangan Fredi seperti yang diceritakan kepada saya," tukas Haris.

Selain itu, kejanggalan juga dijumpai pada penanganan Fredi saat masih berada di lembaga pemasyarakatan Nusa Kambangan. Waktu itu, Kepala Lapas Nusakambangan Liberty Sitinjak memasang dua kamera CCTV dalam kamar Fredi Budiman untuk memantau aktivitas Fredi yang diketahui masih bisa mengontrol bisnis narkobanya saat di dalam penjara.

Namun dua unit CCTV itu juga sempat diminta oleh petugas BNN agar dicabut. Karena itu desakan untuk mengungkap kasus keterlibatan oknum pejabat dalam kasus Fredi agar diungkap semakin menguat.

Pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Yohan Misero juga mendesak agar pemerintah berani menyeret oknum pejabat negara yang terlibat bisnis haram Fredi. Dia melihat, penyelesaian kasus narkoba selama ini masih sangat lemah pada sisi penindakannya.

Yohan juga menilai, eksekusi hukuman mati tidak terbukti menyelesaikan peredaran narkoba, justru akan menambah daftar pengedar akan semakin banyak. Pasalnya akan terjadi kenaikan harga sehingga pemakai akan menjadi pemain baru. "Perang terhadap narkotika pada awal ternyata hanya kelemahan penindakannya," ungkap Yohan.

Dia juga menuding, pemerintah tidak serius menangani peredaran narkoba. Dia menduga, penindakan dengan mengeksekusi mati terpidananya sarat dengan kepentingan politik. "Eksekusi mati untuk mengurangi peredaran dapat ditangkap sebagai pencitraan," tukasnya.

Padahal jika pemerintah serius menanganinya, seharusnya berani mengungkap keterlibatan oknum-oknum yang disebut Fredi Budiman. "Ternyata ada oknum negara yang bermain dibalik eksekusi mati itu padahal mereka juga menikmati," tutupnya.

Terkait pengakuan Fredi ini, Komisi III DPR menegaskan akan mendalami pengakuan tersebut. "Panja Penegakan Hukum Komisi III DPR RI akan mendalami pengakuan Fredi Budiman tersebut sebagaimana yang ditulis oleh Haris," kata Bambang saat dihubungi, Jumat (29/7).

Bambang menambahkan, Panja Penegakan Hukum Komisi III jakan mendalami keberadaan pengacara dan kepala Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan. "Termasuk kita akan tanyakan ke Mahkamah Agung soal pledoi Fredi," Bambang menambahkan.

Bambang juga mendesak Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Budi Waseso untuk berikan perhatian serius pada pengakuan yang menghebohkan itu. "Apakah hanya karangan semata dari Haris atau tidak? Ini harus menjadi perhatian serius bagi Kepala BNN," ujar Bambang.

POLRI TANGGAPI SERIUS - Hal senada juga disampaikan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Tito mengaku sudah membaca tulisan aktivis Kontras Haris Azhar terkait pengakuan Fredi Budiman. Tito meminta Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli menemui Haris dan menggali informasi mengenai cerita Fredi soal setoran ke oknum Polri.

"Saya sudah tugaskan Pak Kadiv Humas untuk bertemu Pak Haris Azhar, informasinya tepatnya seperti apa. Karena kalau kita lihat yang beredar viral itu informasinya kan enggak jelas, ada polisi, ada disebut-sebut nama BNN, yang lain-lain ya, nah kita ingin tahu, apakah Pak Haris Azhar mendapat informasi itu, ada nggak nama-nama yang jelas berikut buktinya," tegas Tito di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Jumat (29/7).

Tito menegaskan, apa yang didapatkan Haris dari pengakuan Fredi itu sebatas informasi, bukan alat bukti. "Saya tugaskan Pak Kadiv Humas untuk bertemu Pak Haris Azhar, kalau memang ada data lengkap akan kita follow up. Tapi kalau hanya data seperti yang viral itu saja, ini bisa diterjemahkan, bisa saja terjadi kita akan dalami, tapi bisa saja jadi alasan yang bersangkutan untuk menunda eksekusi, supaya ramai jadi tunda eksekusi," jelas dia.

Tito mengaku akan mencoba menggali informasi lebih detil lagi terkait pengakuan Fredi ke Haris. "Kalau segitu saja, karena tidak menyebut nama, bukti dan lain-lain, maka bisa dua, bisa mungkin iya, kita dalami, tapi bisa juga itu alasan yang bersangkutan untuk menunda eksekusi," tegasnya.

"Artinya kami akan lakukan klarifikasi ke Pak Haris Azhar yang menyampaikan informasi ini ke publik. Kalau informasi hanya seperti itu, kita akan lakukan anev ke dalam, tapi juga jangan salah, bisa juga yang bersangkutan (Fredi) menyampaikan dalam rangka untuk menunda eksekusi, dan itu trik-trik seperti ini sering kita temui," tutup dia.

ISU CCTV DIBANTAH - Sementara itu, mantan Kalapas Nusakambangan Liberty Sitinjak tak mau berkomentar soal kasus pemasangan CCTV yang disebutkan Haris. "Saya tidak mau berkomentar, saya hanya menjalankan tugas dari atasan saya saat itu untuk melakukan pengawasan ketat," jelas Sitinjak.

Sitinjak menegaskan selama berdinas di LP Nusakambangan dia tidak pernah mencopot CCTV yang mengawasi Fredi. "Tidak boleh ada yang mengintervensi, saya hanya patuh pada atasan saya. Tugas saya melindungi institusi, jadi lebih baik saya tidak menanggapi itu," tegas dia.

Sedang soal cerita Fredi Budiman ke Haris, menurut Sitinjak, semua yang ada di Lapas Nusakambangan tahu cerita Fredi itu. Karena Fredi memang cerita ke mana-mana. "Semua napi tahu cerita Fredi Budiman itu, jadi ya sudahlah ya," tegas dia.

Sosok Sitinjak, yang kini menjabat sebagai Kalapas di NTB ini, memang dikenal memiliki catatan bagus. Dia ditunjuk Denny Indrayana yang saat itu menjadi Wamen Kumham untuk membenahi LP Nusakambangan. Sitinjak dikenal memiliki integritas dan tidak kompromi.

"Saya masuk LP Nusakambangan saya berlakukan aturan ketat. Saya razia melibatkan Kodim dan Polres Cilacap. Saya bongkar dapur pribadi milik terpidana teroris, saya bakar freezer milik terpidana narkoba dari Afrika, saya sita springbed milik napi dan saya bakar. HP juga saya sita dan saya bakar. Saya lakukan itu untuk menegakkan UU. Saya melarang petugas membawa Napi ke ruangan saya untuk bertemu, kalau mau bertemu di ruang pembinaan dan dihadiri beberapa orang," tegas dia.

Sitinjak mengaku sikap tegas dia berlaku pada semua termasuk Fredi. Dia menyikat narkoba dan melakukan razia rutin di LP Nusakambangan. Soal isu pejabat BNN atau Polri atau penegak hukum lainnya datang bertemu Fredi, Sitinjak mengaku tak tahu.

"Saya waktu itu di luar, ada staf saya menelepon ada orang dari BNN datang menemui Fredi. Seingat saya yang lapor ke saya cuma sekali, dan saya tidak tahu apa pertemuannya, apakah pemeriksaan atau apa," kata Sitinjak.

Sementara soal permainan dengan bea cukai, Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga dari Bea Cukai Robert Marbun menegaskan, pihaknya selalu melakukan pengawasan ketat atas arus lalu lintas masuk barang. "Pengawasan secara optimal terhadap lalu lintas keluar masuk barang barang ilegal termasuk narkotika," jelas Robert.

"Dan apabila masyarakat memiliki informasi terkait penyelundupan narkotika agar disampaikan segera kepada kami untuk segera kami tindak lanjuti," tegas dia. (dtc)

BACA JUGA: