JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan atas uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diantaranya Pasal 77 huruf a tentang obyek praperadilan. Hakim konstitusi akhirnya memutuskan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk ke dalam obyek praperadilan.

Putusan atas uji materi Pasal 1 angka 2, angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 29, Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2), dan ayat (4) KUHAP diucapkan Makamah Konstitusi dalam sidang pembacaan putusa, Selasan (28/4).

Permohonan ini sebelumnya diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah, General Manager Sumatera Light South PT Chevron Pasific Indonesia yang menjadi terdakwa korupsi bioremediasi. Bachtiar telah divonis selama 2 tahun dengan denda Rp200 juta subsidair 3 bulan kurungan pada 17 Oktober 2013.

Terkait dengan Pasal 77 huruf a KUHAP, dalam pembacaan putusan uji materi KUHAP tersebut, Ketua Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. "Sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan," ujar Arief dalam pembacaan putusan uji materi KUHAP di gedung MK, Jakarta, Selasa (28/4).

Atas dasar dikabulkannya Pasal 77 huruf a oleh MK, maka kini dalam Pasal 77 huruf a KUHAP, objek praperadilan juga mencakup penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Pertimbangan hakim dalam amar putusannya itu, mengatakan hakim mengabulkan pasal ini karena dalam proses peradilan pidana, terdakwa dan terpidana wajib diberikan perlindungan terhadap pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Sehingga warga negara harus mendapatkan rasa aman yang diberikan negara dari berbagai ancaman dan bahaya baik bagi mereka yang benar maupun yang melakukan kesalahan atau diduga melakukan kesalahan.

Pasal 77 KUHAP tentang praperadilan yang sebelumnya hanya berkewenangan memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan permintaan ganti rugi. Sementara penetapan tersangka tidak masuk ke dalam objek praperadilan.
Menurutnya, tidak masuknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dianggap menunjukkan KUHAP tidak memiliki check and balanced system. Sebab dalam KUHAP tidak ada mekanisme pengujian keabsahan perolehan alat bukti. Padahal perlu ada mekanisme pengujian atas keabsahan alat bukti.

Tujuan perlu ada mekanisme pengujian alat bukti agar dalam menemukan alat bukti, aparat tidak melanggar HAM calon tersangka dan memastikan alat bukti diambil secara sah. Lalu perlunya ada mekanisme untuk menentukan alat bukti diambil secara sah agar para penyidik tidak mengulang kesalahan ketika ada alat bukti yang diambil secara tidak sah. Sehingga dengan kepastian bahwa penetapan tersangka melalui alat bukti yang sah dalam proses acara pidana bisa membuat masyarakat percaya pada sistem hukum dan peradilan.

Sebab kalau aparat penegak hukum termasuk hakim memaklumi penyajian alat bukti yang didapat secara tidak sah, maka sistem hukum akan diragukan legitimasinya. Sehingga mengakibatkan rasa hormat masyarakat terhadap sistem peradilan berkurang.

Lalu majelis hakim juga menilai, saat KUHAP diberlakukan pada 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dalam masyarakat. Tapi kini bentuk upaya paksa yang dimaknai sebatas penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutuan mengalami perkembangan ke penetapan tersangka. Sehingga seseorang dipaksa menerima status tersangka tanpa tersedia kesempatan untuk menguji legalitas dan kemurnian penetapan tersangka tersebut.

Selanjutnya, MK berpendapat penetapan tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan yang terbuka kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik seperti perampasan HAM. Memang berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP kalau penetapan tersangka dilakukan secara ideal maka tidak perlu dilakukan praperadilan. Tapi kalau tidak dilakukan secara ideal, tidak diatur dimana seseorang yang menjadi tersangka bisa memperjuangkan haknya sesuai proses hukum. Sehingga sudah seharusnya penetapan tersangka menjadi bagian dari proses penyidikan yang dapat dimintakan perlindungan melalui upaya hukum praperadilan.

Begitupun dengan penggeledahan dan penyitaan yang juga terbuka kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum harus dilakukan dan beralasan menurut hukum. Sehingga dalam penggeledahan dan penyitaan juga berlaku dalil pemohon bahwa itu dimasukkan ke dalam objek praperadilan.

Terkait hal ini, Kuasa hukum pemohon Maqdir Ismail mengatakan kini penetapan tersangka bisa diuji di hadapan persidangan praperadilan. Menurutnya, putusan ini membuktikan apa yang terjadi selama ini proses praperadilan dilakukan sebagai pengawasan horizontal terhadap kegiatan penyidik. Inti dari dimasukkannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan menurutnya untuk memberikan perlindungan HAM.

"Putusan ini untuk kepentingan orang banyak. Bachtiar hanya jadi sarana yang mencoba akhiri polemik. Ini juga untuk ingatkan penyidik dari awal bahwa mereka harus hati-hati dalam menetapkan orang sebagai tersangka, tidak boleh sekenanya karena disitu potensi dilanggarnya HAM," ujar Maqdir pada wartawan usai pembacaan putusan.

Untuk diketahui, uji materi ini diajukan pada 19 Maret 2014). Sehingga uji materi ini tidak ada kaitan langsung dengan putusan praperadilan Sarpin Rizaldi yang membatalkan penetapan tersangka Budi Gunawan oleh KPK. Paska pembatalan penetapan tersangka Budi melalui praperadilan, dunia hukum ´ramai´ lantaran Sarpin dianggap melampaui kewenangan Pasal 77 KUHAP. Akibatnya banyak dari mereka yang ditetapkan menjadi tersangka mengajukan praperadilan.

Putusan praperadilan atas penetapan tersangka pun berbeda dengan putusan Sarpin, di Purwokerto praperadilan menolak praperadilan tersangka korupsi. Polemik praperadilan ini pun berujung pada permintaan masyarakat mendesak Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan aturan untuk menyeragamkan objek praperadilan. Tapi MA belum juga merespon secara konkrit hingga adanya putusan MK ini.

BACA JUGA: