JAKARTA, GRESNEWS.COM - Surat Edaran Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penundaan Pelayanan TKI Pelaut Perikanan ke Luar Negeri oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dinilai bukan solusi untuk mengatasi permasalahan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Sebab akar permasalahan perlindungan TKI pelaut ada di hulu yaitu soal penertiban ijin perusahaan perekrut TKI pelaut.

Terkait hal ini, Juru Bicara Serikat Pekerja Indonesia Luar Negeri (SPILN) Imam Syafi´i menjelaskan SE BNP2TKI terbit akibat banyaknya kasus korban trafficking dan pemalsuan dokumen TKI pelaut saat bekerja ke luar negeri. Tapi ia menilai SE tersebut bukan solusi dari akar permasalahan yang dihadapi TKI pelaut selama ini.

"Kalau bicara moratorium tutup sana, tutup sini, gampang saja. Tapi apakah pemerintah bisa menyiapkan lapangan pekerjaan setelah dimoratorium?" ujar Imam saat dihubungi Gresnews.com, Kamis (26/3).

Imam melanjutkan, akar permasalahan TKI pelaut yang harus dibenahi pemerintah berasal dari hulu yaitu perusahaan yang mengirim TKI pelaut. Sejak keluarnya Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (Permenhub 84) terdapat ketentuan prosedur bagi perusahaan yang merekrut TKI pelaut untuk dikirim keluar negeri.

Permenhub 84 menyaratkan perusahaan perekrut TKI pelaut harus memiliki dua izin untuk dapat beroperasi yaitu izin dari kementerian perhubungan (kemenhub) dan kementerian tenaga kerja (kemenaker). Faktanya sejak Permenhub dikeluarkan hingga kini ia mencatat hanya 15 perusahaan yang mengikuti prosedur tersebut.

Adapun perusahaan perekrut TKI pelaut lainnya belum mengikuti ketentuan Permenhub dan masih menggunakan izin dari aturan sebelumnya. Sehingga perusahaan-perusahaan tersebut hanya memiliki izin dari kementerian perdagangan.

Menurut Imam, perusahaan-perusahaan yang tidak meminta izin dari kemenaker dan kemenhub jelas sudah mengabaikan Permenhub 84 dan menyalahi aturan. Akibat dari pengabaian prosedur tersebut yang terkena dampaknya adalah TKI pelaut.

Sebab TKI pelaut yang mengalami masalah ketika bekerja di luar negeri akan kesulitan mendapatkan perlindungan lantaran izin perusahaan ada di kementerian perdagangan. "Padahal perlindungan TKI pelaut merupakan kewenangan kemenaker," tegasnya.

Selanjutnya, Imam menegaskan pemerintah perlu melakukan penertiban perusahaan nakal khususnya soal perizinan, perekrutan yang memakai jasa calo, dan perjanjian kerja yang seringkali tidak diberikan pada TKI pelaut. Sehingga seharusnya BNP2TKI tidak perlu mengeluarkan SE tapi harus melakukan pengetatan pengawasan melalui perizinan perusahaan pengirim TKI pelaut.

Ia menegaskan antar kementerian juga harus melakukan koordinasi. Sebab ketika menyoal perijinan, semua instansi pemerintah seakan ingin ikut andil dan mengeluarkan peraturan. "Tapi saat terjadi permasalahan di luar negeri dengan perusahaan pemilik kapal, antar lembaga pemerintah malah saling lempar tangan," kata Imam menyayangkan.

Terkait hal ini, Peneliti kebijakan publik Pusat Studi Nusantara (Pustara) Wiend Sakti Myharto mengatakan pemerintah memiliki tanggungjawab untuk memberikan perlindungan TKI sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia. Pasal 5 UU tersebut berisi ketentuan pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan TKI di luar negeri.

"Lalu Pasal 12 UU 29/2004 menyebutkan perusahaan pelaksana penempatan TKI harus memiliki izin sebagaimana diatur UU," ujar Wiend kepada Gresnews.com, Kamis (26/3).

Ia menambahkan, seharusnya pemerintah memiliki itikad baik untuk melindungi TKI di luar negeri. Itikad baik tersebut bisa dilakukan dengan secara tegas memberikan sanksi administratif terhadap pelanggaran atas UU tersebut.

Sebelumnya, Kepala BNP2TKI Nusron Wahid menerbitkan SE Nomor 1/2015 tentang penundaan pelayanan TKI pelaut perikanan ke luar negeri (16/3). SE tersebut berisi ketentuan perusahaan perekrut TKI pelaut keluar negeri untuk sementara waktu dilarang merekrut dan menempatkan pelaut. SE ini tidak menyebutkan sampai kapan penundaan pelayanan tersebut.

Untuk diketahui, salah satu kasus terkait penempatan TKI pelaut terjadi saat PT Cartigo Multi Global dan PT Bahana Bekasi menempatkan 203 TKI pelaut ke Trinidad dan Tobago sejak 2008 hingga 2010. Di tengah masa kerja mereka mengalami permasalahan yang mengakibatkan mereka terlantar di tengah laut hingga akhirnya terdampar di daratan Trinidad.

Mereka berhasil pulang ke Indonesia setelah pemerintah Trinidad menyurati pemerintah Indonesia. Nahasnya, hingga kini gaji para TKI pelaut tersebut belum dibayar lunas perusahaan yang menempatkan mereka.

BACA JUGA: