JAKARTA, GRESNEWS.COM - Arus dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi terkait penetapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sebagai tersangka kasus kesaksian palsu terus membesar. Sebagian besar mereka malah meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut mengambil langkah penghentian kasus yang dianggap sebagai kriminalisasi KPK ini. Namun langkah ini dinilai bukanlah langkah yang tepat menyelesaikan konflik antar lembaga penegak hukum.

Meneruskan proses hukum hingga tuntas dianggap langkah yang terbaik penyelesaian kasus  tersebut. Sebab, jika dihentikan di tengah jalan maka tuduhan kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh polisi justru dinilai terbukti.

"Bagaimanapun polisi sudah menetapkan wakil ketua KPK sebagai tersangka dan ini tak boleh main-main," kata Pengamat Hukum Pidana, Teuku Nasrullah kepada Gresnews.com, Minggu (24/1).

Sehingga dalam hal ini penyidik harus tetap meneruskan perkara untuk membuktikan  perkara yang diajukan bukan main-main. Jika kemudian dalam pembuktian penuntut umum tak bisa menetapkan P-21, maka bukti dipastikan tidak cukup dan penuntut umum akan memerintahkan pencarian bukti kembali disertai petunjuk tambahan.

Namun, jika P-21 tak bisa ditetapkan maka polisi benar-benar berada di ambang bahaya karena telah berani bermain dengan hukum untuk menjatuhkan institusi lain. "Perkara ini harus diteruskan, nanti tergantung penuntut umum yang menilai ada perkara atau tidak. Jika perkara cukup bukti berarti harus P-21!" tegasnya.

Ia meminta masyarakat dapat bersabar dan tidak mengganggu proses hukum yang berjalan, karena polisi harus diberi keluasan menyidik. Mendukung pemberantasan korupsi tapi menyebabkan aparat tak bisa menyentuh individu KPK yang melakukan tindakan pidana sama saja melegalkan kekebalan hukum bagi KPK.

Aksi berduyun-duyun mendukung KPK bisa membahayakan proses peradilan. Dan menimbulkan kesan "menyentuh KPK berujung bahaya". Sehingga sebelum kebenaran terbukti  ia menghimbau masyarakat tidak menempatkan keberpihakan.

"Tapi begitu tidak P-21, semua pihak termasuk presiden harus mengambil sikap minta pertanggungjawaban pimpinan kepolisian yang berani menetapkan tersangka tanpa bukti yang jelas," katanya.

Begitu polisi tak bisa menetapkan P-21, presiden harus mencopot semua pimpinan polisi dan menggantinya dengan individu yang bersih. Masalah alasan kasus ini baru mencuat setelah komisioner KPK ini terpilih, Teuku mengulang kronologi kasus dimana tim panitia seleksi (pansel) DPR tentu tak dapat mendeteksi kasus lantaran sebelumnya belum ada laporan ke polisi.

Laporan polisi baru dilakukan pada Januari ini diharapkan bukanlah hasil rekayasa pelapor atau ada pihak yang merekayasa pelapor. "Mungkin pelapor memang sengaja mencari momentum, kalau laporannya di saat lalu, maka tak akan ada dukungan," katanya.

Kasus ini sudah lama mencuat ke permukaan, namun belum menyentuh ranah hukum. Sehingga pansel tak mungkin menyiapkan pertanyaan tentang kasus ini karena belum ada laporan penyidikan dan fakta yang diperoleh. "Saat ini masih sangat mentah untuk melakukan analisa. Berdoa  saja hukum tidak dipermainkan," katanya.

Sebelumnya Presiden Jokowi meminta agar proses hukum Budi Gunawan dan BW dijalankan secara objektif. "Tadi saya menyampaikan, terutama pada Ketua KPK dan Wakapolri, sebagai kepala negara, saya meminta kepada institusi Polri dan KPK memastikan bahwa proses hukum yang ada harus obyektif dan sesuai dengan aturan Undang-Undang yang ada," kata Jokowi usai bertemu dengan Plt Kapolri Komjen Pol Badrodin Haiti dan Ketua KPK Abraham Samad di Istana Bogor, Jumat (23/1).

Dalam kesempatan tersebut, Presiden Jokowi juga meminta agar kedua institusi hukum tersebut menghentikan perseteruan dan menjalankan tugasnya masing-masing dengan baik. "Saya minta sebagai kepala negara agar institusi Polri dan KPK tidak terjadi gesekan dalam menjalankan tugas masing-masing," katanya.

BACA JUGA: