JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan uji materi Pasal 20 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diajukan oleh keluarga korban pelanggaran HAM. Kendati demikian MK memberi catatan agar pembuat undang-undang, dalam hal ini DPR, melengkapi pasal dalam UU Pengadilan HAM sehingga persoalan bolak-baliknya berkas penyelidikan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung  bisa diatasi.

"Untuk memberikan kepastian kepada semua orang maka Mahkamah memandang penting memberikan catatan kepada pembentuk undang-undang, agar melengkapi ketentuan dalam Pasal 20 UU Nomor 26 Tahun 2000," kata hakim konstitusi, I Dewa Gede Palguna, saat membacakan putusan uji materi Pasal 20 Ayat (3) UU Pengadilan HAM di Gedung MK, Jakarta, Selasa (23/8).

Permohonan uji materi itu sebelumnya diajukan oleh Paian Siahaan dan Yati Ruyati, keluarga korban kerusuhan Mei 1998. Dalam gugatannya mereka mendalilkan ada ketidakjelasan pada Pasal 20 Ayat (3) UU Pengadilan HAM yang mengakibatkan ketidakpastian hukum atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi beberapa tahun lalu.

Dalam pertimbangannya Palguna menjelaskan, masalah adanya ketidakpastian hukum dalam penerapan Pasal 20 Ayat (3) maupun penjelasan Pasal 20 Ayat (3) UU Pengadilan HAM berawal dari perbedaan pendapat antara penyelidik (Komnas HAM) dan penyidik (jaksa) dalam menafsirkan pasal. Karena itu, Palguna meminta Pasal 20 UU Pengadilan HAM harus dilengkapi untuk memberikan jalan keluar atas tiga persoalan penting kasus HAM.

"Jadi mesti ada penyelesaian maupun jalan keluar dalam hal terjadinya perbedaan pendapat yang lama antara penyelidik (Komnas HAM) dan penyidik (jaksa) terkait dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat, khususnya dalam kelengkapan hasil penyelidikan," ujar Palguna.

Untuk itu, MK menginginkan agar DPR membuat aturan penyelesaian atau pun jalan keluar bila dalam tenggang waktu 30 hari sebagaimana ketentuan penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM terlampaui dan penyelidik Komnas HAM tidak bisa melengkapi kekurangan hasil penyelidikannya. Selain itu, MK memutuskan harus ada langkah-langkah hukum yang dapat ditempuh warga negara yang merasa dirugikan oleh peraturan pada dua hal sebelumnya.

"Adanya ketegasan pengaturan yang demikian, maka di masa yang akan datang diharapkan tidak ada warga negara yang mendapatkan ketidakpastian hukum sebagaimana dialami para pemohon," ujarnya.

Sebelumnya pemohon, dalam gugatannya, meminta MK untuk menggugurkan Pasal 20 Ayat (3) UU Pengadilan HAM. Namun dalam putusannya MK menolak, sebab tidak ditemukan unsur diskriminatif dan pelanggaran konstitusi pasal tersebut terhadap UUD 1945. MK justru menilai timbulnya ketidakpastian hukum karena ada perbedaan tafsir dari Komnas HAM dan Kejagung.

"Karena perbedaan pendapat dalam menerapkan norma tersebut dalam praktik dan tidak lengkapnya norma Pasal 20 Ayat (3) UU Pengadilan HAM," jelasnya.

Ketidakpastian hukum tersebut juga menghambat hak para pemohon atas keadilan. Selain itu juga menghambat hak pemohon untuk mendapatkan kompensasi restitusi dan rehabilitasi sebagai korban pelanggaran HAM berat.

Seperti diketahui, Pasal 20 Ayat (1) berbunyi: dalam hal Komisi Nasional HAM berbendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah  terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik;

(2) Dalam lambat tujuh hari kerja setelah kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan, Komnas HAM menyerahkan seluruh hasil penyelidikan kepada penyidik;

(3) Dalam hal penyidik berpendapat, hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum lengkap, penyidik secepatnya mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima hasil penyelidikan, wajib melengkapi kekurangan berkas tersebut;


Sebelumnya Paian Siahaan dan Yati Ruyati selaku keluarga korban kerusuhan Mei 1998 menggugat Pasal 20 Ayat (3) UU Pengadilan HAM dan penjelasannya. Gugatan mereka dilandasi kenyataan bahwa penyelidikan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus hak kerusuhan Mei 1998, tak kunjung dilimpahkan ke Pengadilan HAM.  

13 TAHUN MENANTI - Sepanjang 2002, Komnas HAM sebagai lembaga yang diberi kewenangan menyelidiki kasus HAM telah menyerahkan tujuh berkas perkara pelanggaran HAM berat kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Tujuh berkas perkara itu adalah Peristiwa Trisakti, Semanggi I 1998 dan II 1999, Peristiwa Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Wasior  2001 dan Wamena 2002.

Namun kenyataannya, Jaksa Agung mengembalikan tujuh berkas tersebut. Jaksa mendasarkan atas Pasal 20 Ayat (3) UU Pengadilan HAM dan penjelasan pasalnya. Alasan pengembalian, karena secara materiil berkas hasil penyelidikan Komnas HAM dianggap belum cukup bukti. Sementara secara formil; penyidik Komnas HAM tidak disumpah dan belum terbentuk Pengadilan HAM Ad hoc atas peristiwa-peristiwa tersebut.

Atas pengembalian itu pihak Komnas HAM kembali menyerahkan berkas tersebut karena merasa tugasnya telah selesai. Bolak-balik perkara antara Komnas HAM dan Jaksa Agung terjadi satu hingga enam kali, selama 13 tahun.  Sementara selama itu jutaan keluarga korban terus mencari kepastian hukum terkait nasib keluarganya.

BACA JUGA: