JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalibd yang diduga akibat dibunuh pada 7 September 2004 lalu, masih menyisakan berbagai persoalan. Salah satunya adalah soal pengungkapan siapa dalang pembunuhan Munir yang masih menyisakan tanda tanya hingga sekarang. Kasus ini seprtti menemui jalan buntu karena dokumen hasil investigasi Tim Pencari Fakta (TPF) kasus kematian Munir hilang tanpa jejak.

Pemerintah dianggap bertanggung jawab atas hilangnya dokumen TPF Munir tersebut. Beberapa dugaan menyatakan Munir dibunuh karena memegang data penting seputar pelanggaran hak asasi manusia seperti pembantaian di Talang Sari, Lampung, pada 1989, penculikan aktivis 1998, referendum Timor Timur, hingga kampanye hitam pemilihan presiden 2004.

Pengamat hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan, dokumen TPF tersebut sebenarnya sudah diserahkan pada Kantor Kepresidenan melalui Sekretariat Negara. Karena itu Jokowi selaku presiden harus bertanggung jawab. "Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus bertanggung jawab atas hilangnya dokumen itu," ujar Margarito Kamis, di Cikini, Jakarta, Sabtu (22/10).

Margarito juga meminta mantan Presiden SBY untuk turut aktif dalam mengungkap keberadaan dokumen tersebut, sebab SBY dianggap sebagai orang yang mengetahui berkas dokumen TPF Munir pada masa kepemimpinannya. Bahkan kalau dibutuhkan, Jokowi bisa memerintahkan Jaksa Agung atau Polisi mendatangi SBY agar mau berbicara. "Kita harus meminta SBY untuk berbicara masalah Dokumen TPF Munir," tegasnya.

Sementara itu Jaksa Agung Muhammad Prasetyo sendiri mengakui pihaknya mengalami kesulitan dalam menelusuri keberadaan dokumen hasil Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir. Dokumen yang terakhir kali diketahui hilang di Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) sulit untuk dilacak disebabkan tim pencari fakta sudah bubar.

Saat ini, kata Prasetyo, Kejaksaan Agung tengah menghubungi satu persatu anggota tim guna melacak keberadaan dokumen tersebut. "Sampai sekarang kita masih terus menelusuri tetapi tidak mudah untuk mendapatkan dokumen tersebut," ujar Prasetyo, Jumat, (21/10).

Prasetyo juga menyampaikan agar pihak-pihak yang menyimpan dokumen hasil temuan TPF Munir dapat segera menyerahkan kepada Kejaksaan Agung. Dengan demikian, pihaknya dapat dengan segera untuk melakukan pendalaman serta mempelajari dan mengambil sikap berdasarkan dokumen hasil temuan TPF tersebut.

Terkait isu bahwa dokumen tersebut berada di tangan SBY, ia menyatakan jika terpaksa pihaknya akan menghadap mantan presiden tersebut guna mencari informasi walaupun hal ini menjadi pilihan terakhirnya. Berdasarkan informasi yang ia dapatkan, dokumen TPF pada saat itu telah menyerahkan dokumen aslinya ke SBY.

Namun, penyerahannya bukan kepada Sekretariat Negara seperti yang selama ini diberitakan. "Saya akan mencari dokumen tersebut ke mantan anggota TPF terlebih dahulu," ujar Prasetyo.

Munir meninggal dunia di pesawat Garuda kursi 40 G dalam sebuah penerbangan menuju Amsterdam. Dari persidangan terungkap, Munir dibunuh dengan menggunakan racun arsenik yang yang ditaruh ke makanannya oleh Pollycarpus Budihari Priyanto. Pollycarpus adalah seorang pilot Garuda yang waktu itu sedang cuti. Dan pada saat keberangkatan Munir ke Belanda, secara kontroversial ia diangkat sebagai corporate security oleh Dirut Garuda.

Polycarpus sendiri dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan, Pollycarpus terbukti sebagai orang yang menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin membungkam pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan, sebelum melakukan pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi persidangan itu tidak menjelaskan lebih lanjut siapa yang mengubungi Polly.

Pasca persidangan tuntutan untuk mengungkap dalang pembunuhan Munir tetap menguat. Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu baru saja terpilih, segera membentuk tim pencari fakta. Kini kasus Munir dibuka lagi oleh Presiden Joko Widodo, sayang penyelidikan masih mandek karena dokumen TPF Munir hilang, dan belum terang dimana keberadaannya.

TETAP BISA DIUSUT - Meski dokumen TPF hilang, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menegaskan, kasus Munir tetap bisa diusut. "Ya kita tidak tahu dulu diadministrasikan di mana laporan TPF Munir yang masuk ke Pak SBY, tapi Pak Sesneg kan sudah menjelaskan bahwa tidak ada. Tapi tentu ini bukan alasan untuk tidak mengclear, toh Pak Presiden sudah minta Jaksa Agung untuk menindaklanjuti dan saya kira tentu Kejaksaan bisa minta ke tim TPF lama," ucap Teten di kantornya, Kompleks Kepresidenan Jakarta, Jumat (21/10).

Teten meyakini laporan TPF itu masih ada. Namun dia enggan menebak-nebak, termasuk apakah masih dipegang di kabinet periode sebelumnya. Kejaksaan Agung menurut Teten, bisa menelusuri termasuk ke pihak terkait di kabinet SBY. "Oh tentu bisa. Mereka dalam penyelidikan kan ada kewenangan untuk itu (telusuri di era SBY). Ini jelas Presiden sudah memberikan arahan kepada Jaksa Agung dan jelas pesannya adalah penyelesaian secara hukum," ujar Teten.

Teten juga menyebut tidak ada batas waktu untuk penyelesaian kasus Munir, yang jelas pemerintah sudah menunjukkan komitmen untuk menuntaskan kasus yang dinilai penuh konspirasi itu. "Saya kira kita tahu lah pemerintahan lama sudah melakukan upaya untuk penyelesaian kasus Munir ini, dan nampaknya bukan hal yang mudah. Jadi memang tidak diberikan tenggat waktu. Mungkin ketika sudah ada perkembangan, laporan dari Jaksa Agung barang kali dari situ kita bisa pertegas lagi soal penyelesaiannya," kata Teten.

Jaksa Agung M Prasetyo juga sudah mendapat perintah langsung dari Presiden Jokowi untuk menelusuri keberadaan dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus meninggalnya Munir. Hingga kini penelusuran terus dilakukan. "Sementara timnya (TPF) sudah bubar, kami akan coba hubungi satu persatu kan tidak mudah. Saya beharap mereka masih ada yang menyimpan dan menyerahkan pada kami. Kalau tidak, terpaksa kami akan menghadap Pak SBY," kata Prasetyo.

TPF kasus Munir memang menyerahkan dokumen itu pada tahun 2005 ke Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kini dokumen tersebut dinyatakan hilang dan tak tercatat dalam arsip Sekretariat Negara. "Menurut keterangan TPF diserahkan pada Pak SBY. Kami tanya nanti kalau memang tidak juga ditemukan dari para mantan anggota TPF," imbuh Prasetyo.

Dia belum merencanakan kapan akan menemui SBY. Saat ini Jaksa Agung menugaskan Jamintel untuk menghubungi para mantan anggota TPF. Salah satu anggota TPF adalah Retno Marsudi yang dahulu merupakan Dubes RI untuk Belanda dan kini menjadi Menteri Luar Negeri Kabinet Kerja. Tetapi karena kesibukan tugas diplomasi, Retno masih belum dihubungi oleh Jaksa Agung.

"Ya nanti. Pokoknya kami berusaha keras untuk menelusuri dan mencari itu. Saya katakan ini enggak mudah. Kan diserahkan di sini di pemerintahan sebelumnya ya," kata Prasetyo. (dtc)

BACA JUGA: