JAKARTA, GRESNEWS. COM - Gara-gara carut-marutnya pengelolaan izin tambang, pemerintah Indonesia terancam kena gugat triliunan rupiah oleh perusahaan asing asal India.

Adalah PT India Metals and Ferro Alloys Limited (IMFA),  perusahaan asal India ini mengajukan gugatan arbitrase internasional lantaran merasa dirugikan pemerintah Indonesia setelah membeli perusahaan tambang asal Indonesia. Pasalnya kendati memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) mereka tak bisa serta merta menambang lantaran di lokasi yang ada terdapat klaim yang sama oleh pihak lain.

Mereka pun menempuh gugatan ke Arbitrase Internasional dan menuntut ganti rugi pemerintah Indonesia senilai US$ 581 juta, atau sekitar Rp 7,7 triliun. Gugatan diajukan PT IMFA pada 2015 lalu dan dijadwalkan akan diputus oleh Permanent Court of Arbitration pada 2017 ini.

Kasusnya sendiri berawal saat IMFA  membeli PT Sri Sumber Rahayu Indah pada tahun 2010 lalu. PT Sri diketahui memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk batu bara di Barito Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng). Untuk pembelian itu IMFA telah menggelontorkan duit sebesar US$ 8,7 juta.

Namun belakangan IMFA tak bisa melakukan penambangan karena ternyata IUP di lahan seluas 3.600 hektar bekas milik PT Sri tidak Clean and Clear (CnC). IUP mereka ternyata tumpang tindih dengan IUP milik 7 perusahaan lainnya.

Oleh karena IMFA menuntut ganti rugi pemerintah Indonesia senilai US$ 581 juta alias Rp 7,7 triliun. Nilai itu berasal dari perhitungan mereka, dari potensi hilangnya pendapatan (potential loss) akibat tidak bisa menambang batu bara dari investasi yang sudah mereka gelontorkan  senilai Rp 7,7 triliun.

Gugatan itu diajukan pada 23 September 2015. Sesuai ketentuan arbitrase harus telah memutuskan sengketa itu dalam dua tahun, yakni pada 2017 ini.

Terjadinya tumpang tindih IUP itu diduga karena kesembronoan pemerintah daerah setempat. IUP diketahui diterbitkan oleh bupati Barito Timur pada tahun 2006.

Munculnya kasus tersebut membuat panik pemerintah pusat. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun sempat memanggil menterianya, Pada Maret 2017 lalu untuk membahas permasalahan tersebut. Menteri yang  dipanggil adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Thomas Lembong, Jaksa Agung M Prasetyo, Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

 Menanggapi kasus tersebut,  Kepala Biro Hukum Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Heriyanto menilai gugatan yang diajukan IMFA memiliki banyak kelemahan. Diantaranya Perusahaan asal India tersebut tak cermat. Seharusnya sebelum melakukan akuisisi PT Sri, IMFA terlebih dahulu melakukan legal audit terhadap perusahaan PT Sri, serta melakukan pengecekan ke pemerintah pusat, apakah IUP PT Sri sudah CnC atau belum.

"Perusahaan itu (IMFA) tidak melakukan legal audit terhadap perusahaan (PT Sri), harusnya dilakukan sebelum akuisisi, dan bertanya kepada pemerintah apakah yang IUP yang mereka sudah CnC atau belum," ujarnya.

Menurut Heriyanto gugatan tersebut masuk pada 23 September 2015 lalu dan mulai sidang pertama pada 6 Desember 2015 lalu. Sidang dipimpin oleh 3 orang arbiter independen di arbitrase Singapura.‎ "Dalam waktu maksimal 2 tahun, arbitrase akan menetapkan keputusan," ujarnya.

Heriyanto juga membenarkan IUP yang tumpang tindih itu diterbitkan oleh bupati Barito Timur pada tahun 2006. "Izinnya dari Bupati Barito Timur tahun 2006. Ini preseden buruk bagi perusahaan non CnC yang dibeli perusahaan asing," tambahnya.

Ia mengatakan telah berkoordinasi dengan Direktur Perdata ‎Jamdatun Kejaksaan Tinggi Provinsi Kalteng untuk mengusut dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh mantan bupati Barito Timur. Gara-gara kesembronoan mantan bupati Barito Timur negara terancam dirugikan Rp 7,7 triliun."Jika ini sampai kalah di arbitrase internasional," ujarnya.

Terkait soal ini  Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) meminta agar kepala daerah tak salah mengartikan pasal 33 di Undang-undang Dasar 45, sehingga semena-mena meloloskan izin pertambangan.

"Bahwa UU pasal 33 tentang menguasai tentu menguasai mempunyai arti yang luas, bukan hanya memiliki tapi mengontrol, namun perlu ada suatu ketentuan-ketentuan," kata JK  di Gedung MPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (18/8).

Namun sayangnya menurut JK masih ada pihak yang kerap memanfaatkan celah kata ´menguasai´ dan kemudian menuntut pemerintah. JK menyebut kejadian serupa banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

JK Mengingatkan bahwa Indonesia bukanlah negara sosialis, atau kapitalis. Namun sebuah negara dengan ekonomi terbuka didasarkan pada UU dan  UUD, yaitu dikuasai negara untuk kemaslahatan seluruh bangsa.

Menurutnya ada beberapa pemerintah daerah memberikan izin pengelolaan daerah ke pihak swasta, namun disalahartikan. Setelah mendapatkan masalah di daerah, pihak asing justru menuntut pemerintah.


SALAH ALAMAT - Sementara itu Ahli Hukum Sumber Daya Alam, Ahmad Redi, juga menilai gugatan IMFA salah alamat. Sebab IUP berbeda dengan Kontrak Karya (KK). Selain itu penyelesaian untuk masalah sengketa IUP juga harusnya berada di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan di arbitrase internasional seperti halnya KK.

"Kewenangan menerbitkan IUP kan ada di pemerintah kabupaten/kota, harusnya penyelesaian sengketa di PTUN. Ini beda dengan KK seperti yang dipegang PT Freeport Indonesia," ujar Redi, Senin (21/8).

Diungkapkan Redi antara Indonesia dan India memang terikat Bilateral Investment Treaty (BIT) yang mewajibkan investor dari Indonesia dilindungi ketika masuk ke India, demikian juga sebaliknya.  Mungkin IMFA menggugat ke arbitrase karena adanya BIT  itu.

Hanya saja menurut Redi, gugatan IMFA ke arbitrase tetap salah alamat. Sebab, pemegang IUP adalah PT Sri yang diakuisisi IMFA, bukan IMFA sendiri. Dengan demikian, yang berhak mengajukan gugatan soal IUP adalah PT Sri.

"Saya lihat legal standing, ini kan hubungan antara pemerintah dengan PT Sri karena pemilik IUP sesuai SK Bupati adalah PT Sri. Jadi yang punya legal standing adalah PT Sri, bukan IMFA," tuturnya. (dtc)

BACA JUGA: