JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung menyatakan tak akan mundur mengusut kasus dugaan korupsi dalam penjualan hak tagih utang (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang rugikan negara Rp425 miliar. Meski sebelumnya Pengadilan Jakarta Selatan menyatakan proses penggeledahan yang dilakukan penyidik Kejaksaan Agung terhadap PT Victoria Securities Indonesia (VSI) tidak sah, Kejaksaan mengaku tetap akan memeriksa pihak yang diduga terkait, termasuk dari PT VSI.

"Apa pun putusan praperadilan kita jalan terus. Itu tidak akan membuat kita mundur. Praperadilan belum menyangkut materi perkara," kata Jaksa Agung M Prasetyo di Kejaksaan Agung, Jumat (2/9).

Prasetyo memastikan pengusutan dugaan kasus korupsi penjualan hak tagih ini tak akan berhenti, kendati telah dikalahkan dalam praperadilan. Sebab sidang praperadilan  tersebut lebih soal prosedur dalam penggeledahan untuk mengumpulkan alat bukti.

Kekalahan Kejaksaan dalam praperadilan ini justru menjadi tantangan penegak hukum untuk hati-hati dalam setiap penegakan hukum. Apalagi saat ini ruang lingkup praperadilan makin diperluas tak hanya soal penggeledahan, penyitaan dan ganti rugi tapi juga penetapan tersangka. Prasetyo pun mengkritik menjamurnya gugatan praperadilan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Di satu sisi itu sebagai tantangan tapi di sisi lain menjadi hambatan penegak hukum.

Sebelumnya hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Ahmad Rifai mengabulkan gugatan yang diajukan pihak PT VSI terkait proses penggeledahan dan penyitaan barang bukti yang dilakukan penyidik kejaksaan. Penggeledahan itu terkait kasus dugaan korupsi penjualan hak tagih milik PT Adyesta Ciptatama yang berada di tangan BPPN oleh Victoria Securities International Corporation (VSIC) dengan harga murah.

Hakim menilai proses penggeledahan tidak sah karena salah alamat dan melanggar prosedur. Sebab izin yang diberikan pengadilan berbeda alamat dengan lokasi penggeledahan, meski ditemukan dokumen yang terkait kasus dugaan korupsi penjualan cessie BPPN yang disidik Kejaksaan.

Hakim pun memerintahkan Kejaksaan Agung mengembalikan barang dan dokumen yang telah disita. Tak hanya itu, semua proses hukum terhadap barang dan dokumen juga dinyatakan tidak sah.

KEYAKINAN JAKSA - Dari hasil penggeledahan di kantor VSI tersebut, ada sejumlah dokumen dan file data soal pembelian cessie. Dari penggeledahan tersebut, penyidik bahkan telah mengantongi sejumlah nama calon tersangka. Bahkan terhadap yang bersangkutan, Kejaksaan Agung telah melakukan pencekalan.

Kapuspenkum Kejaksaan Agung Amir Yanto mengatakan, ada empat nama yang dimasukkan dalam daftar cekal dalam kasus cessie VSI. Salah satunya mantan Direktur VSI Lis Lilia Jamin. Menurut Amir, status cekal bisa diberikan kepada pihak yang diduga kuat dan memiliki kaitan dengan satu kasus. "Meskipun belum ditetapkan tersangka," kata Amir.

Dalam kasus cessie ditemukan bukti telah terjadi dugaan pelanggaran. Yakni ada kerjasama BPPN saat itu dengan VSIC dalam mempermainkan harga. Sehingga atas dugaan itu, negara dirugikan Rp425 miliar. Hitungan kerugian negara diakui Amir baru sebatas potensi.

Persoalan hak tagih itu muncul saat PT Adyesta meminjam kredit ke Bank BTN, untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektar. Bank pelat merah itu kemudian mengucurkan kredit sebesar Rp469 miliar dimana PT Adyesta harus menyerahkan sertifikat tanahnya seluas 1.200 hektar tersebut.

Sayangnya saat itu terjadi krisis dan banyak kredit macet, Bank BTN pun harus masuk ke penyehatan BPPN dan sejumlah hak tagih kredit macet itu harus diserahkan ke BPPN. Lalu BPPN pun melelang sejumlah aset dan hak tagih tersebut. Tak terkecuali hak tagih PT Adyesta. Dari lelang itu PT First Capital memenangkan lelang hak tagih atas lahan milik PT Adyesta senilai Rp 69 miliar.

Namun karena alasan kurang lengkapnya dokumen maka First Capital mundur. BPPN lalu melakukan program penjualan aset kredit IV (PPAK IV) pada 8 Juli 2003 hingga 6 Agustus 2003. Lelang tersebut dimenangkan Victoria Securities Internasional dengan harga yang lebih murah lagi, yakni Rp 26 miliar.

PT Adyesta telah mencoba melakukan penawaran pelunasan kepada Victoria dengan harga di atas penawaran BPPN, yakni Rp 266 miliar. Namun Victoria justru menaikkan harga secara tidak rasional yakni Rp 1,9 triliun. PT Adyesta kemudian melakukan penawaran ulang sebesar Rp 300 miliar yang direspons Victoria dengan makin melambungkan harga pelunasan sebesar Rp 2 triliun.

Belakangan Direktur Utama PT Adyesta Ciptatama Johnny Widjaja yang gagal menebus kembali aset yang pernah diagunkan di Bank Tabungan Negara (BTN) melaporkan kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi pada 2013. Ia menuding ada ketidakwajaran dalam penjualan hak tagih aset oleh BPPN, sebab hak tagih dengan nilai pinjaman sebesar Rp 266 miliar hanya dijual kepada PT VSIC seharga Rp 26 miliar.

Kuasa hukum VSIC Irfan Aghasar menampik telah terjadi korupsi dan menyebabkan kerugian negara. Malah Irfan menyatakan, VSIC membantu negara karena membeli asetnya. Kebetulan saat itu, BPPN mengobral habis sejumlah aset negara akibat krisis. Irfan mengatakan kasus cessie murni soal bisnis bukan pidana.

Sementara menurut kuasa hukum VSI Peter Kurniawan, langkah Kejaksaan Agung terus menyidik dengan menggunakan barang bukti dokumen dan data yang disita dari VSI tidak dibenarkan. Sebab, proses mengumpulkan alat bukti untuk menentukan terjadi pidana korupsi telah salah. Dan itu ditegaskan dalam putusan hakim praperadilan bahwa benda yang disita tidak bisa dijadikan alat bukti.

ADA KASUS CHEVRON - Kalah praperadilan dari VSI tak membuat kecil hati penyidik Gedung Bundar Kejaksaan Agung. Sebab berkaca pada kasus bioremediasi PT Chveron Pasific Indonesia. Saat itu Bachtiar Abdul Fatah, yang telah ditetapkan sebagai tersangka, juga sempat mengajukan gugatan praperadilan.

Hakim tunggal sidang praperadilan saat itu Sungkoharsono memenangkan gugatan Bachtiar dan membebaskannya dari status tersangka. Namun Jaksa Agung Muda Pidana Khusus saat itu Andhi Nirwanto memutuskan untuk melanjutkan dan segera melimpahkan perkaranya ke pengadilan.

Dan dalam prosesnya Kejaksaan Agung berhasil membuktikan dalam persidangan Bachtiar Abdul Fatah bersalah. Dalam kasus ini, Bachtiar masih menempuh upaya hukum luar biasa dengan melakukan peninjauan kembali. Namun PK ditolak Mahkamah Agung. MA memutus Bachtiar Abdul Fatah empat tahun penjara dan denda Rp200 juta dalam kasus proyek bioremediasi.

Jampidsus R Widyopramono mengatakan tim Satgassus akan tetap menyidik kasus cessie VSIC ini. Jaksa telah menyiapkan langkah untuk dugaan korupsi pada kasus cessie ini. Namun Widyo mengaku belum akan menyampaikan langkah dan upaya hukum apa yang akan diambil. "Tunggu nanti, saya harus membaca putusan tertulisnya dulu," kata Widyo.

BACA JUGA: