JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kendati kedapatan mengonsumsi narkoba dan tertangkap tangan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) saat mengkonsumsi sabu-sabu. Mantan Bupati Ogan Ilir, Sumatera Selatan  Ahmad Wazir Nofiadi sepertinya tak rela jabatannya sebagai Bupati dicopot oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Ia pun melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta atas Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri Nomor 131.16-3030 Tahun 2016 tersebut.  

Sebelumnya, Bupati Ogan Ilir yang akrab disapa Ovi ditangkap  BNN di kediamannya Jalan Musyawarah III, Kelurahan Karanganyar Gandus pada Minggu 13 Maret 2015. Ia ditangkap satuan tugas BNN karena kedapatan mengkonsumsi narkoba jenis sabu-sabu.

Proses gugatan itu telah berlangsung dalam beberapa kali sidang diketuai oleh hakim Subur MS. Sidang terakhir Selasa kemarin digelar dengan agenda kesaksian ahli dari pihak tergugat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri. Menteri Dalam Negeri menghadirkan saksi ahli hukum tata negara Andi Asrun.

Andi Asrun dalam kesaksiannya mengatakan pemberhentian kepala daerah oleh Kemendagri telah sesuai dengan kewenangannya sebagai pembantu presiden. "Langkah yang dilakukan Kemendagri memberhentikan penggugat sudah tepat," kata Andi Asrun dalam persidangan.

Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Pakuan Bogor ini menganggap, kebijakan Kemendagri memberhentikan Ahmad Wazir sebagai bupati terpilih sudah melalui prosedur yang diamanatkan perundang-undangan. Andi mengaitkan pemberhentian Nofiandi dengan pernyataan presiden bahwa negara berada dalam darurat narkoba.

Menurutnya, pernyataan presiden Jokowi tentang negara darurat narkoba juga dapat dinilai sebagai instruksi bagi pembantunya. Kondisi darurat ini, menurut Andi menjadi legitimasi bagi pemerintah untuk melakukan kebijakan diskresi bagi pemerintah, jika  terdapat kasus hukum harus cepat diselesaikan, termasuk dalam memberhentikan kepala daerah.

Selain itu, Andi juga menilai, secara etika kepemerintahan seseorang yang terkena narkoba menurutnya tidak akan mampu menjalankan roda pemerintahan. Atas dasar itu, kata Andi, pemerintah sudah tepat melakukan langkah diskresi itu.

Terkait penilaian ini, kuasa hukum penggugat Febuar Rahman sempat bertanya kepada ahli "Apakah langkah itu bisa mengesampingkan prosedur yang terdapat dalam Pasal 80 dan Pasal 81?," tanya Febuar.

Dimana Pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diusulkan kepada Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta kepada Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b, atau melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, huruf j, dan/atau melakukan perbuatan tercela;

Sementara Pasal 81 berhunyi, Dalam hal DPRD tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), Pemerintah Pusat memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang:
a. melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah;
b. tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b;
c. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j; dan/atau
d. melakukan perbuatan tercela.

Menanggapi pertanyaan ini. Andi pun mengungkapkan pendapatnya. "Bahwa tidak perlu lagi memakai Pasal 80 dan 81. Kalau sudah dinyatakan mengonsumsi dan meminta untuk direhabilitasi. Dengan begitu tidak perlu fatwa Mahkamah Agung (MA)," jelas Andi.

Lebih lanjut Andi menjelaskan, dalam kasus Nofiandi, pemerintah bisa mengesampingkan Pasal 80 dan 81. Sebab kasus tersebut  sudah diperkuat dengan penyelidikan BNN dan pernyataan Ovi yang meminta kepada BNN agar dirinya direhabilitasi.

PEMECATAN SUDAH TEPAT - Hal yang sama juga diungkapkan kuasa hukum Kemendagri, Bitner S. Pakpahan. Menurut Bitner, mengangkat dan memberhentikan kepala daerah merupakan kewenangan Kementerian Dalam Negeri.

"Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Mendagri diberi kewenangan oleh negara untuk mengangkat dan memberhentikan kepala daerah," kata Bitnar kepada gresnews.com, di PTUN Jakarta Jalan Sentra Primer Baru Timur, Selasa (19/7).

Dia meyakini dalam penerbitan SK pemberhentian Bupati Ogan Ilir itu tidak ada prosedur perundang-undangan yang dilanggar."Tidak ada prosedur yang dilanggar,"ujarnya singkat.

Sebelumnya menyikapi pemberhentiannya sebagai Bupati  yang baru beberapa bulan dijabatnya, Bupati Ogan Ilir ini langsung melayangkan gugatannya. Menurut  Kuasa hukum Ovi, Febuar Rahman alasan pengajuan gugatan itu karena keputusan Mendagri Tjahjo Kumolo memecat Ovi dinilai bertentangan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Menurutnya dalam undang-undang tersebut, kepala daerah yang ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka, tidak diberhentikan hanya dilarang menjalankan tugas dan kewenangannya. Sehingga ia menyayangkan hanya karena alasan penyalahgunaan narkoba, undang-undang tersebut dilanggar Mendagri, dengan langsung memberhentikan Ovi dari posisinya dan menggantinya dengan Wakil Bupati  Ilyas Panji Alam.

Menurutnya mengacu pada undang-undang, seharusnya Ovi baru bisa diberhentikan setelah ada keputusan hukum bersifat tetap dari pengadilan yang menyatakan bersalah.

BACA JUGA: