JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang membebaskan dua guru pada Jakarta Intercultural School (JIS), Neill Bantleman dan Ferdinant Tjiong, menggelinding menuai kontroversi. Satu pihak putusan PT tersebut dianggap mengabaikan keadilan korban si anak akibat kasus sodomi. Namun di lain pihak, bagi dua guru JIS, putusan tersebut sebagai bentuk proses hukum yang fair karena didasari fakta di pengadilan.

Satuan Tugas Perlindungan Anak menyatakan dibebaskannya dua guru JIS dianggap sebagai bencana bagi perlindungan anak Indonesia. Putusan PT yang membebaskan Neil dan Ferdi akan menjadi preseden buruk dalam penegakan keadilan kasus kekerasan seksual anak. "Jaksa harus segera mengajukan kasasi sebagai upaya hukum keadilan korban," kata Ketua Satgas Perlindungan Anak M Ihsan dalam keterangan tertulisnya akhir pekan lalu.

Namun penasehat hukum dua guru JIS Hotman Paris Hutapea menegaskan putusan PT Jakarta membuktikan bahwa kasus JIS adalah sebuah rekayasa. Kasus ini tidak didukung oleh bukti-bukti yang akurat. Pertimbangan hakim PN Jaksel yang memvonis bersalah Neil dan Ferdi amburadul. Sebab fakta dan bukti dari Rumah Sakit seperti RSCM dan RS KK Women´s and Children´s di Singapura menegaskan kondisi anus si anak normal.

"Putusan PT Jakarta membuktikan bahwa kasus JIS ini rekayasa. Ada motivasi uang yang sangat besar yang ingin diraih ibu korban, tapi tidak didukung oleh bukti-bukti. Kebenaran pada akhirnya tidak akan salah," kata Hotman kepada media, Selasa (18/8).

HASIL PSIKOLOGI FORENSIK - Putusan Pengadilan Tinggi DKI telah sesuai fakta hasil pemeriksaan psikologi forensik. Reza Indragiri Amriel, Ahli Psikologi Forensik, mendukung langkah Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta membebaskan dua guru Jakarta Intercultural School (JIS) dari dakwaan kasus kekerasan seksual di sekolah itu.
Menurut Reza, tiga siswa JIS yang diduga mengalami kekerasan seksual, sebenarnya tidak mengalami tindak sodomi seperti yang selama ini diberitakan. Reza yang pernah memeriksa kondisi anak-anak yang diduga korban kekerasan seksual mengatakan, hasil pengamatannya kasus sodomi terhadap tiga siswa TK JIS itu tidak pernah terjadi. Yang terjadi adalah anak-anak itu mengalami kekerasan psikis.

"Itu tidak dilakukan oleh guru JIS, melainkan oleh orang-orang terdekatnya," kata Reza kepada media di Jakarta.

Penjelasan Reza tersebut sesungguhnya sesuai dengan bukti-bukti medis hasil pemeriksaan terhadap tiga siswa yang melaporkan kasus ini ke polisi. Sesuai hasil visum dari RSCM, siswa berinisial MAK dinyatakan tidak mengalami kekerasan seksual pada lubang pelepasan. Sementara hasil pemeriksaan oleh RS KK Women´ and Children´s Hospital, Singapura, yang melibatkan dokter bedah, dokter anestesi dan dr psikologi menyatakan bahwa kondisi lubang pelepasan AL normal dan tidak mengalami luka.

Berdasarkan bukti itulah pengadilan Singapura memenangkan gugatan pencemaran nama baik Neil Bantleman, Ferdinant Tjong dan JIS terhadap DR, ibu AL. Pengadilan memvonis DR untuk membayar ganti kerugian hingga SIN$ 230 ribu atau sekitar Rp2,3 miliar kepada Neil, Ferdi dan JIS karena terbukti menyebarkan berita fitnah dan mencemarkan nama baik ketiga pihak tersebut.

Begitu juga pada putusan pengadilan gugatan perdata JIS. Pengadilan memutus mengabulkan eksepsi tergugat dalam hal JIS, PT ISS dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang meminta hakim menolak gugatan tergugat yakni Theresia Pipit W, ibu siswa korban sodomi. Hakim memutuskan menolak gugatan penggugat seluruhnya.

Bukti lainnya pada awal Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka petugas cleaning service PT ISS, ibu korban AL tanda tangan menyatakan anaknya tidak pernah disodomi. Namun begitu muncul iming-iming gugatan US$ 125 juta yang disampaikan pengacara OC Kaligis, ibu korban mau mengikuti saran pengacara itu untuk membuat laporan kedua.

Rekayasa kedua terkait hasil pemeriksaan MAK di RSPI. Oknum dokter di RSPI menandatangani visum tanpa melakukan pemeriksaan. Jadi, pada 27 Maret 2014, ibu MAK memeriksa anaknya ke UGD di RSPI. Hasilnya, kondisi duburnya normal.

Untuk pemeriksaan lebih detail, si dokter meminta MAK datang lagi untuk pemeriksaan menyeluruh. Namun permintaan itu tak pernah dilakukan. Anehnya, tanggal 21 April muncul surat keterangan dari RSPI mengenai adanya bekas luka di dubur MAK dengan merujuk pemeriksaan di UGD tanggal 27 Maret 2014.

"Oknum dokter di RSPI telah mencabut keterangan 21 April lalu. Rekayasa kasus ini sistematis dan luar biasa," ungkap Hotman.

ATENSI KY - Kasus JIS sejak awal menarik perhatian publik, termasuk Komisi Yudisial (KY). Terhadap putusan PT DKI yang dianggap kontroversial, Komisioner KY Imam Anshori Saleh menyarankan para pihak untuk menempuh upaya hukum lain, dalam hal ini kasasi.

"Saya sudah katakan, silakan gunakan upaya hukum lain jika ada yang tidak puas dengan putusan pengadilan," kata Imam kepada gresnews.com ditanyakan soal putusan Pengadilan Tinggi DKI tersebut.

KY, menurut Imam, akan terus mengawasi proses hukumnya. Jika dalam perjalanannya ditemukan perilaku hakim yang menyimpang, seperti bertemu dengan pihak beperkara, agar melaporkan kepada KY.

Imam menyatakan akan responsif atas laporan perilaku hakim yang langgar etik tersebut. "Silakan laporkan, kita akan tindak lanjuti," kata Imam.

LAKUKAN KASASI - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dua guru JIS tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah berdasarkan bukti yang ada. Mereka dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun dengan denda Rp100 juta.

Namun dalam putusan tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta justru menyatakan dua guru JIS tersebut tak terbukti melakukan tindak kekerasan seksual terhadap dua siswanya. Majelis Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memutus perkara Neil dan Ferdi tidaklah bulat berpendapat.

Dari tiga hakim yang menyidangkan perkara tersebut yakni Silvester Djuma dengan hakim anggota Mochamad Djoko dan Sutoto Hadi, satu hakim yakni Mochamad Djoko menyatakan dissenting opinion (DO) atau pendapat berbeda. Djoko menyatakan sependapat dengan hakim tingkat pertama yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah dan putusan itu telah tepat dan benar.

Dalam pertimbangannya, Djoko memaparkan bahwa keterangan saksi Cristopher alias Alex, DA, MA (saksi korban) keterangannya tidak begitu saja disampaikan. Meski keterangan ketiga saksi korban tidak disumpah, tapi apabila ditinjau dari psikologi anak, ketiga saksi tersebut kecil kemungkinan akan berbohong. Karena akan takut pada dirinya sendiri.

"Menimbang bahwa ditinjau dari teori koherensi, keterangan ketiga saksi korban apabila dihubungkan dengan saksi lain yang disumpah maka keterangan ketiga saksi korban itu berhubungan," katanya.

Menyikapi putusan tersebut Kejaksaan Tinggi langsung bereaksi. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Waluyo mengatakan akan lakukan kasasi setelah mempelajari salinan putusannya. "Kita pasti akan kasasi, kita tunggu salinan putusan resminya," kata Waluyo kepada gresnews.com, Selasa (18/8).

Waluyo menilai, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang membebaskan Neil dan Ferdi aneh. Menurut Waluyo, yang lebih tahu fakta dan pembuktiannya adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, bukan Pengadilan Tinggi.

Sementara itu, pihak Neil dan Ferdi berharap jaksa tidak melakukan upaya kasasi. Sebab jelas kasus sodomi tidak terbukti di dua pengadilan berbeda. "Saya berharap itu tidak dilakukan. Sebab dalam putusan Pengadilan Tinggi jelas menyatakan peristiwa sodomi tidak pernah terjadi," tegas Patra Zen, kuasa hukum Neil dan Ferdi.

BACA JUGA: