JAKARTA, GRESNEWS.COM - Keinginan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menambah kewenangan dalam hal penyidikan, penggeledahan dan penyitaan terkait penyelidikan persaingan usaha tak diakomodasi oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Baleg DPR telah menyetujui revisi terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat itu tanpa penambahan kewenangan yang diminta KPPU. Persetujuan di  tingkat Baleg itu selangkah lagi di bawah ke Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi UU.

Diakui Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo, dalam draf revisi Nomor 5 Tahun 1999 sebelumnya ada usulan untuk menambah kewenangan penyidikan dan penyitaan terhadap KPPU. Namun setelah melalui harmonisasi,  usulan tersebut dihapuskan dan akan dikembalikan kepada instansi terkait sebagaimana yang tertuang dalam KUHAP.

"Penyelidikan, penyitaan, dan penggeledahan akan dikembalikan kepada kepolisian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan lain. Sanksi-sanksi pun kita arahkan ke sana," jelas politisi F-Golkar ini, seperti dikutip dpr.go.id, Kamis (13/4).

Namun ia menambahkan kelembagaan KPPU akan diperkuat di revisi UU Nomor 5 Tahun 1999 ini.  Penguatan itu agar KPPU memiliki landasan hukum yang jelas. Pemimpin KPPU nantinya terdiri dari komisioner yang akan diperbantukan dengan Sekretariat Jenderal.

"Status kelembagaannya kita tingkatkan dan setelah tahapan itu akan kita evaluasi kembali," tegasnya usai acara Pengambilan Keputusan RUU LPMPUTS di Gedung DPR RI,  Senayan, Jakarta,  Kamis (13/4).

Firman menjelaskan bahwa revisi itu merupakan sebuah kebutuhan. Melihat banyaknya tindakan  praktik monopoli dan kartel yang ditemui dalam dunia bisnis saat ini. Menurutnya dengan maraknya monopoli terselubung, maka DPR menyadari bahwa revisi UU yang terkait larangan praktik monopoli harus disesuaikan.

Seperti diketahui revisi UU 5 Tahun 1999 telah diwacanakan sejak 2011 lalu. Namun baru lolos dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2013.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Muhajir sebelumnya menyatakan bahwa UU Anti Praktik Monopoli perlu direvisi. Alasannya karena banyak masalah yang timbul di dalam praktik.

Diantaranya mengenai definisi pelaku usaha, notifikasi merger, dan pemberian sanksi yang tumpang tindih. Persoalan lainnya yakni mengenai hukum acara yang belum jelas dalam hal pengajuan keberatan dan banding. Termasuk soal kewenangan lembaga KPPU dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penuntutan, dan sekaligus sebagai pengadilan dalam satu tempat.
 
Untuk itulah Badan Legislatif membuat rancangan UU Anti Praktik Monopoli tersebut. RUU Anti Praktik Monopoli itu disebutkan terdiri atas 15 Bab dan 99 Pasal.

Muhajir menyebut pasal-pasal penting yang sempat menjadi sorotan utama di antaranya soal definisi pelaku usaha. Dalam RUU Anti Praktik Monopoli ini telah diperluas cakupan definisi pelaku usaha dengan memasukkan asas ektra teritorialitas. Atau tidak hanya mencakup badan usaha yang berkedudukan di Indonesia tetapi juga menjangkau Badan Usaha yang berkedudukan di luar Indonesia.

Sebab selama ini banyak peserta tender tidak hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga ada peserta yang berasal dari negara lain. Bahkan, kerap kali peserta tender tidak memiliki kantor perwakilan atau afiliasinya di Indonesia.

Pihak KPPU Mengakui ketika berhadapan dengan persoalan tersebut. Lembaga tersebut kesulitan untuk menanganinya jika tidak diberikan kewenangan hingga ke luar Indonesia. Apalagi saat ini Indonesia telah memberlakukan pasar bebas ASEAN, yang akan banyak transaksi terjadi di luar wilayah Indonesia namun memiliki dampak pada Indonesia.

Demikian juga dengan notifikasi pra-merger atau akusisi. Sebelumnya, pengaturan notifikasi ini diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1999. Ketentuan ini mengatur bahwa penggabungan atau peleburan badan usaha atau pengambilalihan saham yang berakibat nilai aset atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi selambat-lambatnya 30 hari sejak tanggal penggabungan, peleburan dan pengambilalihan tersebut.

Namun aturan itu diubah, pemberitahuan notifikasi merger atau akuisisi ke KPPU itu,  dilakukan sebelum penggabungan atau peleburan badan usaha, pengambilalihan saham, pengambilalihan aset atau pembentukan usaha patungan.
 
"Dalam hal merger dan akuisisi ini dilakukan secara ketat dan itu dilakukan pra merger," lanjut Muhajir beberapa waktu lalu.
 

TAK DIKABULKAN - Sebelumnya Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf menyebut pihaknya menghendaki sejumlah revisi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pihaknya menyebut setidaknya ada lima poin yang perlu direvisi dalam uu sebelumnya.

Antara lain, Pertama soal denda, pihaknya menghendaki adanya perubahan soal denda persaingan yang sebelumnya dinilai sangat tak sebanding dengan tindakan kejahatan yang dilakukan. Pada UU sebelumnya denda maksimal hanya Rp25 miliar. Padahal banyak pelaku kartel yang keuntungannya dari bisnis kartelnya lebih dari Rp25 miliar. "karena aturan itu, Kami tidak bisa menghukum lebih dari itu," ujarnya.

Empat hal Lainnya  yang perlu direvisi adalah soal definisi pelaku usaha. Selama ini KPPU hanya bisa mengawasi perusahaan yang bersaing di Indonesia, padahal ada kasus persaingan yang dilakukan di Singapura atau Malaysia yang kemudian berdampak ke Indonesia.

Kedua soal  penguatan KPPU secara kelembagaan. Ketiga, terkait kewenangan KPPU menggeledah dan menyita suatu hal yang terkait dengan penyelidikan persaingan usaha. Terakhir soal perubahan  aturan notifikasi proses merger atau akuisisi ke KPPU. Dalam aturan sebelumnya, proses ini berada di tahap post merger atau akuisisi pihaknya berharap notifikasi itu dilakukan pada tahapan pre-merger atau akuisisi.

Namun kewenangan terkait penyidikan seperti penyitaan, penggeledahan dan penyadapan tak bisa dikabulkan DPR. Lembaga wakil rakyat itu justru mengembalikan kewenangan itu sesuai KUHP atau menyerahkan penanganan penyidikan kepada petugas hukum seperti polisi dan kejaksaan agung atau aparat hukum yang ditunjuk.

BACA JUGA: