JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mungkin banyak orang yang tidak tahu atau bahkan tidak pernah mendengar sama sekali jika esok Senin, (16/6) adalah Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional. Ketika para pekerja rumah tangga alias PRT di seluruh dunia memperingati hari perayaan itu besok, di Indonesia jutaan PRT masih rentan terhadap eksploitasi ekonomi dan kekerasan. Pangkal soalnya adalah karena DPR-RI tak juga mengesahkan RUU Perlindungan PRT meski beleid dimaksud sudah dirancang sejak sepuluh tahun silam.

Hal ini menjadi keprihatinan mendalam dari Amnesty International lembaga yang banyak menyoroti masalah hak-hak asasi manusia di dunia. Amnesty International, telah lama memiliki keprihatinan akan PRT di Indonesia yang mayoritas adalah perempuan dan anak perempuan, yang mana tidak terlindungi secara hukum sebagai pekerja di bawah perundang-undangan Indonesia.

Pengkampanye Amnesty International untuk Indonesia-Timor Leste Josef Roy Benedict mengatakan, Undang-Undang domestik yang ada, khususnya UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, masih mendiskriminasi para PRT karena undang-undang ini tidak menyediakan mereka perlindungan yang sama dengan para pekerja lainnya.

"Tanpa adanya perlindungan hukum yang memadai, para PRT tersebut seringkali dieksploitasi secara ekonomi dan tidak diakui hak-hak mereka atas kondisi kerja layak, kesehatan, pendidikan, standar penghidupan layak dan kebebasan bergerak. Sebagai hasilnya banyak dari PRT tersebut bekerja dan tinggal dalam kondisi yang sengsara tanpa perlindungan, dan banyak dari mereka beresiko menghadapi kekerasan fisik, psikis, dan seksual," kata Josef, dalam pernyataan tertulis yang diterima Gresnews.com, Minggu (15/6).

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga telah menjadi agenda legislasi sejak 2004 silam, tetapi menghadapi penundaan terus menerus karena minimnya kemauan politik para anggota DPR RI untuk memastikan pengesahannya. Lebih lanjut, Amnesty International prihatin tentang ketentuan-ketentuan dalam RUU tersebut yang tidak sesuai dengan standar-standar dan hukum internasional.

Kegagalan untuk mengesahkan RUU ini telah diangkat terus menerus oleh Badan-Badan Pengawas PBB atas instrumen HAM internasional setelah menilai rekam jejak HAM Indonesia. Ini termasuk Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan di tahun 2012 dan baru-baru ini oleh Komite PBB atas Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada Mei 2014.

"Amnesty International mendesak DPR RI segera membahas dan mengesahkan Undang-Undang PRT ini sebagai urusan yang mendesak, sesuai dengan standar-standar dan hukum internasional, sebelum masa tugasnya berakhir di September 2014," ucap Josef.

Amnesty International juga prihatin akan penundaan di Indonesia untuk meratifikasi Konvensi Pekerja Rumah Tangga ILO (Organisasi Buruh Internasional) No. 189, sebuah traktat tonggak peletak standar-standar internasional bagi perlindungan hak-hak PRT. Konvensi ini diadopsi pada 16 Juni 2011 dan berlaku pada September 2013.

Tiga tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato pada saat diadopsinya traktat ini dalam Konferensi Buruh Internasional di Jenewa, membuat komitmen publik mendukung instrumen ini dan mendesak delegasi-delegasi lainnya di konferensi itu untuk melakukan hal yang sama. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga di tahun ini telah menyatakan komitmennya untuk meratifikasi instrumen tersebut.  

"Amnesty International menyerukan kepada Presiden Yudhoyono untuk berdiri di atas komitmennya tersebut untuk memastikan Konvensi ILO tentang PRT ini diratifikasi sebelum beliau meninggalkan jabatannya nanti di tahun ini," kata Josef menegaskan.

Amnesty International percaya langkah-langkah ini akan mengirimkan pesan yang kuat bagi para PRT di Indonesia bahwa pemerintah mereka berkomitmen terhadap perlindungan hak-hak mereka. "Ini juga akan memperkuat upaya-upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan perlindungan hukum bagi para PRT Indonesia di luar negeri," ujar Josef.

Suara DPR dalam pembahasan RUU ini sendiri memang sejak lama tidak bulat. Secara mikro misalnya di internal Fraksi Golkar, sejak akhir tahun lalu telah terpecah suaranya menyikapi hal ini. Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Nurul Arifin menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap RUU Perlindungan PRT. Namun rekan satu fraksi Nurul, Poempida Hidayatulloh yang duduk di Komisi IX justru tercengang dengan pandangan Nurul.

Bahkan, ketika itu, Poempida segera mengklarifikasi bahwa pendapat Nurul bukan pendapat resmi Fraksi Golkar. "Statementnya Mbak Nurul tidak mewakili Fraksi Partai Golkar, itu pendapat pribadi. Justru Fraksi Golkar di Komisi IX lah yang menggagas RUU ini, kita sudah banyak bicara. Kita memandang RUU ini perlu ada," kata Poempida beberapa waktu silam.

Nurul sempat menyatakan pandangannya selepas rapat Badan Legislatif DPR. Menurut Nurul, RUU Perlindungan PRT dapat menjadikan masyarakat menjadi lebih materialistis dan merusak tatanan masyarakat. Nurul berpandangan, PRT merupakan pekerjaan yang terkait langsung dengan ikatan keluarga, tidak seperti pekerja industrial.

Sementara itu, Poempida berpandangan lain. Dirinya mendukung agar RUU itu maju jalan. "Masalahnya, ada majikan yang semena-mena dan tidak bisa mengakomodir kepentingan pekerjanya. Maka, dengan RUU ini, akan lebih diperhatikan kepentingannya, cutinya, jam kerjanya, dan hak-haknnya," terang Poempida.

Poempida mencontohkan di budaya Barat dikenal istilah ´butler´. Butler adalah pelayan senior yang mengakomodasi kebutuhan rumah si majikan. Seorang mempunyai posisi tawar yang tak bisa diremehkan oleh majikan. Toh, profesionalitas semacam itu tak menghalangi butler untuk menjalin kehangatan dengan keluarga yang dia layani.

"Tujuan pemikiran kami yaitu mengangkat harkat PRT ke level yang lebih profesional. Kalau di film Batman ada Alfred, itu butler, hubungannya professional. Tapi hubungan emosionilnya kan tetap dalam sekali, kayak keluarga," ujarnya memberi contoh.

Poempida menyatakan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) didasarkan atas Konvensi International Labour Organization (ILO) tahun 2011. Konvensi tersebut sudah diratifikasi Indonesia.

Menurut Poempida dengan adanya UU tersebut, advokasi PRT akan lebih terjamin legitimasinya. Adanya kontrak tertulis antara PRT dengan majikan tak akan membuat hubungan kekeluargaan semakin materialistis. Justru, menurut Poempida, adanya aturan yang jelas akan menjamin perlakuan yang layak terhadap PRT.

Para PRT sendiri pernah menyampaikan rasa kekesalanya dalam sebuah unjuk rasa di DPR terkait selalu molornya pembahasan RUU ini. Beberapa waktu silam dalam salah satu aksinya, para PRT ini bahkan sempat mengirimkan kain pel ke DPR, Menakertrans, dan Presiden RI sebagai tanda pernyataan kekesalannya.

"PRT masih mengalami diskriminasi, stigmatisasi, dan pelanggaran HAM. Banyak PRT yang harus bekerja 12-16 jam per hari, yang membahayakan kesehatan mereka," kata koordinator aksi, Murtini, di Yogyakarta beberapa waktu lalu.

Mereka mendesak badan legislasi dan Komisi IX DPR segera membahas RUU PPRT dan segera mengesahkan RUU tersebut. Juga menuntut Presiden RI untuk meratifikasi Konvensi ILO No 189 mengenai kerja layak pekerja rumah tangga serta mendesak Menakertrans mengambil langkah-langkah aktif agar pembahasan RUU PPRT segera terlaksana. "Kami berharap mereka segera merespons aspirasi kami," kata Murtini. (dtc)

BACA JUGA: