JAKARTA, GRESNEWS.COM – Koalisi Anti Mafia Hutan menegaskan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) inskonstitusional. Ketentuan penunjukkan status kawasan hutan ini juga dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab definisi perusakan hutan yang disebutkan dalam ketentuan pasal ini melingkupi segala perusakan yang dilakukan di kawasan yang secara definitif belum ditetapkan sebagai kawasan hutan.
 
Frasa "dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh pemerintah" sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 3 dianggap menyamakan status hutan yang telah ditetapkan dengan hutan yang telah ditunjuk maupun hutan yang berstatus masih dalam proses penetapan oleh pemerintah.
 
Pasal 1 angka 3 UU P3H berbunyi: "Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan  merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah".

"Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU P3H itu juga mengabaikan legal policy yang sepatutnya dikenali dalam UUD 1945," kata kuasa hukum Koalisi Anti Mafia Hutan, Andi Muttaqien kepada Gresnews.com, di Jakarta, Sabtu (13/12).
 
Kebijakan yang dimaksud Andi adalah Putusan MK No.45/PUU-IX/2011 dan Putusan MK No.35/PUU-X/2012. Menurutnya, legal policy yang dirumuskan oleh hakim dalam putusan MK sebagai pengawasan dalam mekanisme check and balance terhadap produk legislasi yang dibentuk oleh pembuat undang-undang, seyogianya menjadi pedoman bagi pembuat undang-undang dalam melakukan kegiatan perubahan dan pembaharuan hukum.
 
Selanjutnya ketika pasal itu dikaitkan dengan sanksi pidana yang dijeratkan kepada perusak hutan, Andi meilai sangat tendensius menyasar masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, penduduk desa di sekitar yang bersinggungan langsung dengan kawasan hutan. Seperti yang dialami komunitas adat Semende merupakan suku yang bermukim di Banding Agung, Bengkulu.

Empat orang warga adat yang ditangkap dituduh sebagai perambah berkebun di dalam kawasan hutan tanpa izin melanggar Pasal  92 Ayat (1) huruf (a) dan (b) UU P3H. "Mereka kini masih menjalani pidana kurungan selama 3 tahun dengan denda Rp1,5 miliar berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bintuhan," kata Andi.
 
Terkriminalisasinya masyarakat adat, juga dialami komunitas adat Tanaq Sembalun, Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kehidupan mereka terganggu sejak masa perintahan kolonial Belanda, yang mencapai puncaknya sejak diberlakukannya UU P3H.

Ketidakadilan juga dialami masyarakat adat Cek Bocek, Desa Lawin, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa, NTB. Kehidupan warga di sana terganggu hutan seluas 28 ribu hektare lebih di Desa Lawin berubah menjadi hutan lindung.

Masyarakat adat Cek Bocek tidak lagi sebebas sebelumnya memasuki hutan. Baik untuk mencari nafkah maupun melakukan ritual. Sementara, di dalam hutan yang sama justru ada aktivitas parusahaan. "Kalau memang hutan lindung, mengapa ada kegiatan perusahaan di situ?" tegas Andi.
 
Penunjukan kawasan hutan oleh pemerintah dengan aturan itu, menurut Andi inkonstitusional seperti yang diungkapkan Maruarar Siahaan, mantan hakim konstitusi yang menjadi saksi ahli dalam pengujian UU P3H yang dimohonkan Koalisi Anti Mafia Hutan yang disidangkan Jumat (12/12) kemarin.
 
Dalam sidang itu, Maruarar berpendapat, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sejatinya sebagai arah kebijakan perubahan hukum, termasuk saat merumuskan UU P3H. Ia merujuk pada putusan MK Nomor 45 Tahun 2011 terkait Pengujian UU Kehutanan.

MK secara tegas menyatakan, penunjukan atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui melalui proses  atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan--sesuai dengan hukum dan peraturan peraturan perundang-undangan--merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter.
 
Demikian juga Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang mengeluarkan hutan adat dari status hukum negara, merupakan pengakuan dan implementasi konstitusi tentang hak-hak masyarakat hukum adat menjadi bagian yang tidak terpisahkan  dari arah perubahan dan pembaharuan hukum yang dilakukan.

"Seharusnya, kajian yang dilakukan dalam naskah akademik UU P3H, telah dapat menginventarisasi seluruh ketentuan undang-undang, seperti putusan MK dan norma konstitusi yang berhubungan dengan undang-undang yang akan diperbarui atau diubah," tutur Maruarar dalam surat elektronik yang diterima Gresnews.com, Jumat (12/12).

Ia berpendapat, ketidaktaatan akan arah yang telah dirumuskan dalam politik hukum yang harus ditempuh baik karena kesengajaan maupun kelalaian, menyebabkan produk hukum yang dihasilkan tidak bergerak kearah ius constituendum (peraturan hukum yang diharapkan berlaku pada masa mendatang) yang diinginkan. Juga tidak memenuhi harapan untuk mewujudkan tujuan negara yang ditetapkan dalam konstitusi, dengan memperhatikan seluruh kepentingan yang terkait dengan suatu kebijakan publik yang dirumuskan.
 
Karena itu, Maruarar menegaskan, penunjukan kawasan hutan harus memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau ulayat pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan.

"Penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus memperhitungkan dan mengeluarkannya dari kawasan hutan tersebut agar tidak merugikan masyarakat yang berkepentingan dengan kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan," ujarnya.
 
Koalisi Anti Mafia Hutan yang diantaranya terdiri dari Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo, Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Sawit Watch, dan mengajukan gugatan terhadap ketentuan Penunjukan Kawasan Hutan oleh Pemerintah. Ketentuan tersebut tercantum dalam UU P3H dan UU Kehutanan.
 
Mereka meminta MK menguji beberpa pasal diantarannya Pasal 1 angka 3, Pasal 6 Ayat (1) huruf d, Pasal 11 Ayat (4), Pasal 17 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 26, Pasal 46 Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4), Pasal 52 Ayat (1); Pasal 82 ayat (1) dan ayat (2). Para Pemohon juga menguji ketentuan Pasal 50 Ayat (3) huruf a, b, e, i, dan k, serta Penjelasan Pasal 12, Pasal 15 Ayat (1) huruf d dan  Pasal 81 UU Kehutanan.

BACA JUGA: