JAKARTA, GRESNEWS.COM - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menetapkan tujuh tersangka dalam kasus perbudakan di PT Pusaka Benjina Resources (PBR). Lima diantaranya merupakan nakhoda kapal berkewarnegaraan Thailand.

"Itu hasil pemeriksaan sementara dari 50 ABK dari Myanmar, dokumen seaman book mereka dipalsukan," kata Kepala Unit Human Trafficking AKBP Arie Darmanto di Bareskrim Polri, Selasa (12/5).

Arie menjelaskan pemeriksaan terhadap 50 ABK itu merupakan sampel dari keseluruhan korban kasus perbudakan Benjina yang jumlahnya mencapai 357 orang ABK berkewarnegaraan asing. Para korban perbudakan Benjina ini diketahui mengalami penyekapan yang lamanya berkisar antara antara satu hingga enam bulan lamanya.

Selain memeriksa korban, Arie mengungkapkan, pihaknya juga melakukan pemeriksaan terhadap 16 saksi yang terdiri atas pihak imigrasi, syahbandar dan staf serta petugas keamanan PT PBR. Ada 49 seaman book Thailand dan 24 KTP warga Myanmar disita sebagai barang bukti.

Ada juga catatan ABK yang dilakukan penyekapan, crew list, gembok dan kunci tempat penyekapan serta lima kapal yaitu Kapal Antasena 311, Antasena 141, Antasena 142, Antasena 309 dan Antasena 838.

Dari keterangan para korban maupun saksi serta alat bukti diperoleh, penyidik kemudian melakukan penangkapan terhadap para tersangka yang masing-masing bernama Hatsaphon Phaetjakreng, Boonsom Jaika, Surachai Maneephong, Somchit Korraneesuk (nakhoda) dan Hermanwir Martino selaku Pjs Pimpinan PT PBR.

Polisi juga turut menangkap seorang pria bernama Mukhlis Ohoitenan yang turut berperan melakukan perdagangan orang. Sementara Nahkoda KM Antasena 838 atas nama Yongkut N masih akan dilakukan pemanggilan tersangka karena masih dalam proses hukum oleh PSDKP Tual.

Modus yang digunakan dalam tindak pidana perdagangan orang dan perbudakan oleh PT PBR di Benjina ini, Arie menjelaskan, dilakukan dengan cara merekrut warga negara Myanmar di Thailand dan memalsukan dokumen Seaman Book. Para korban dibawa atau diangkut masuk ke wilayah negara Indonesia oleh nakhoda kapal.

Kemudian ABK warga negara Myanmar dipekerjakan dengan waktu kerja yang berlebihan dan dengan gaji yang tidak jelas. Bagi ABK yang malas bekerja, ketinggalan kapal, lari dari kapal dan lain-lain dilakukan penyekapan atau dimasukkan ke dalam ruang tahanan yang berada di PT PBR.

Arie mengatakan, kemungkinan tersangka bakal bertambah, salah satu adalah nakhoda kapal yang akan ditangkap. Polisi juga berencana menyita sembilan kapal lain sebagai barang bukti.

Disamping itu, pihaknya juga mengindikasi adanya keterlibatan petugas keamanan PT PBR Benjina dalam melakukan kekerasan dan penyekapan. "Saat ini penyidikannya terus dilakukan," kata Arie.

Kelima nahkoda yang diduga keras melakukan tindak pidana perdagangan orang dijerat UU Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 2 dan atau Pasal 3 UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan tindak pidana Perdagangan Orang. Tersangka Mukhlis dijerat UU Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 2 dan atau Pasal 3 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan tindak pidana Perdagangan Orang Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara Hermanwir dijerat UU Nomor 21 Tahun 2007 Pasal 2 dan atau Pasal 3 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana Perdagangan Orang Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 13 UU RI Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan tindak pidana Perdagangan Orang. Dalam Pasal 13 (Korporasi) disebutkan tersangka dalam melakukan tindak pidana tersebut bertindak untuk atas nama perusahaan, yaitu PT PBR.

Sebelumnya, Kepala Bareskrim Polri Komjen Budi Waseso mengatakan, pelaku yang ditahan merupakan aktor-aktor utama dalam kasus perdagangan orang ini. Karena kendala teknis, Kabareskrim menyebutkan barang bukti kapal disita akan dilakukan dengan cara difoto.

Polri sendiri membentuk tim khusus ini berdasarkan Laporan Polisi Nomor P/16/III/2015/Maluku/Res.Aru/Sek.Aru Tengah, tertanggal 03 Maret 2015 lalu untuk mengungkap kasus perbudakan Benjina ini. Diketahui ada ratusan ABK asal Myanmar, Kamboja dan Laos yang meminta pemerintah Indonesia memulangkan mereka karena tidak tahan disiksa. Mereka mengaku dipaksa bekerja keras tanpa upah setimpal dan pelayanan kesehatan yang memadai.

BACA JUGA: