JAKARTA, GRESNEWS.COM – Kejaksaan Agung kembali menetapkan delapan tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan keuangan biaya pengiriman Kartu Perlindungan Sosial (KPS) di PT. Pos Indonesia tahun 2013. Penetapan  para tersangka itu merupakan kelanjutan  dari penetapan tiga tersangka sebelumnya yang berkasnya telah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung.

Ketiga tersangka itu adalah Zulkifli Assagaf bin Salim (mantan Senior Vice President PT Pos), Arjuna (karyawan BUMN) dan Pamungkas Tedjo Asmoro. Perkara ketiganya saat ini tengah dalam proses di Pengadilan Tipikor Bandung untuk segera disidangkan.  

Sementara kedelapan tersangka baru itu adalah "YN" berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor: Print-68/F.2/Fd.1/06/2016 tanggal 29 Juni 2016. Tersangka "AYS" berdasarkan (Sprindik)  Nomor: Print-69/F.2/Fd.1/06/2016 tanggal 29 Juni 2016. Tersangka "A" berdasarkan (Sprindik) Nomor: Print-70/F.2/Fd.1/06/2016 tanggal 29 Juni 2016. Tersangka "SZ" berdasarka(Sprindik) Nomor: Print-71/F.2/Fd.1/06/2016 tanggal 29 Juni 2016. Tersangka "MHP" berdasarkan (Sprindik) Nomor: Print-72/F.2/Fd.1/06/2016 tanggal 29 Juni 2016. Tersangka "AM" berdasarkan (Sprindik) Nomor: Print-73/F.2/Fd.1/06/2016 tanggal 29 Juni 2016. Tersangka "K" berdasarkan (Sprindik) Nomor: Print-74/F.2/Fd.1/06/2016 tanggal 29 Juni 2016, dan tersangka "JAN´ berdasarkan (Sprindik) Nomor: Print-75/F.2/Fd.1/06/2016 tanggal 29 Juni 2016.

"Ya, ini kelanjutan dari kasus KPS sebelumnya yang tersangkanya telah dilimpah ke Pengadilan Tipikor Bandung," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Selasa (10/1).

Rum mengatakan, saat ini tim penyidik terus memperkuat bukti-bukti keterlibatan delapan tersangka melalui pemeriksa sejumlah saksi. Saksi yang telah diperiksa diantaranya Iri Sapria Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Sekretariat Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kementerian Sosial. Lalu Markus C. Doso Nugroho selaku Deputi Kepala Sistem Pengawasan Intern Bimbingan Pengawasan Keuangan PT. POS Indonesia wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Kepada penyidik Iri Sapria sempat menerangkan bahwa pada 2013 ada penggunaan dana  APBN oleh PT.Pos Indonesia untuk melakukan percetakan kartu perlindungan sosial (KPS) yang didistribusikan untuk masyarakat tidak mampu. Namun faktanya ditemukan ada pemotongan biaya distribusi. Hal itu dibenarkan saksi Markus C. Doso Nugroho.

"Ternyata dalam praktiknya ditemukan adanya penyalahgunaan keuangan berupa pemotongan biaya distribusi KPS yang kemudian disetorkan kepada Pimpinan Area Operasi VI Semarang dan Area Operasi VII Surabaya," kata Rum.
 
Perhitungan kerugian negara dalam kasus KPS PT Pos Indonesia ini diperkirakan mencapai Rp2,4 miliar.

Kasus itu bermula dari kejanggalan munculnya Surat Izin Tambahan Biaya Pendistribusian KPS dari 10 wilayah area kantor pos sebesar Rp21,7 miliar. Surat ini ternyata tanpa adanya detail/rincian kekurangan biaya dimaksud dari UPT yang direkapitulasi oleh kepala area operasi.

Surat itu ditandatangani tersangka Zulkifli Assagaf selaku Ketua II Satgas KPS Pusat. Selanjutnya kepala area operasi menindaklanjutinya dengan mengeluarkan surat keputusan tentang izin tambahan biaya operasional pendistribusian kepada masing-masing UPT.

Atas dasar surat izin itulah, kepala UPT mengeluarkan kas perusahaan dengan alasan untuk pembayaran honor petugas pengantar KPS. Serta untuk keperluan sewa kendaraan berdasarkan format yang dipresentasikan Tedjo saat pertemuan di Hotel Bilique, Lembang.

"Namun pada kenyataannya sebagian dana itu digunakan untuk membeli telepon seluler dan diserahkan kepada pimpinan area operasi. Sebagai bukti pertanggungjawaban dana, para kepala UPT terpaksa membuat bukti dengan kuitansi palsu atau kuitansi pembayaran yang di-mark up," kata Rum.

Pada 2013 lalu pemerintah melalui Kementerian Sosial memproduksi dan mendistribusikan kartu perlindungan sosial (KPS) sebanyak 15,5 juta lembar dengan anggaran sebesar Rp154 miliar. Saat itu Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar mengungkapkan, anggaran tersebut akan dibiayai sepenuhnya dari APBN dan akan didistribusikan oleh PT Pos Indonesia.

BOROK PT POS – Kasus korupsi telah beberapa kali terungkap terjadi di PT Pos Indonesia. Dugaan korupsi di PT Pos Indonesia pernah terendus pada 2009, atas dugaan korupsi penggunaan anggaran tahun 2008-2009. Korupsi itu diantaranya  penyelewengan dana renovasi rumah dinas wakil direktur utama sebesar Rp970 juta, biaya konsultan Jhon More Rp1,596 miliar, biaya pembuatan buku sejarah sosial politik dan ekonomi PT Pos Indonesia senilai Rp914 juta. Total negara dirugikan sebesar Rp3,3 miliar.

Pada tahun 2015 juga kembali terbongkar kasus korupsi pengadaan alat portable data terminal (PDT). Dari hasil perhitungan BPKP kerugian negara  atas kasus ini ditaksir mencapai Rp9,56 miliar.

Dalam kasus ini Direktur Utama PT Pos Indonesia Budi Setiawan, karyawati PT Datindo Infonet Prima Sukianti Hartanto, Direktur PT Datindo Infonet Prima Effendy Christina, dan Muhajirin Penanggung jawab Satuan Tugas Pemeriksa dan Penerima Barang di PT Pos Indonesia Bandung telah divonis bersalah.

Pegiat anti korupsi yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Justice Watch (IJW) Akbar Hidayatullah meminta Kejaksaan Agung mengusut tuntas kasus ini hingga ke akarnya. Penanganannya jangan tebang pilih orang tertentu saja.

"Yang terlibat harus diseret, katanya Satgassus jaksa terbaik buktikan seret pelaku utamanya," kata Akbar kepada gresnews.com.

BACA JUGA: