JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Majelis Kasasi Mahkamah Agung yang menghukum dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani dan dua koleganya memantik kontroversi. Tiga dokter itu dianggap terbukti lalai sehingga menyebabkan pasien, Julia Fransiska Makatey, meninggal.

Penahanan terhadap dokter Ayu dan koleganya memicu gelombang protes kalangan dokter. Mereka menuding telah terjadi kriminalisasi terhadap profesi kedokteran. Aksi protes pun menjalar ke banyak wilayah. Kini pengacara pihak keluarga Julia juga telah melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali.

Bagaimana pertimbangan majelis hakim kasasi dalam memutus perkara yang sebelumnya oleh Pengadilan Negeri Manado mereka dibebaskan? Berikut pertimbangan majelis hakim kasasi perkara nomor 365 K/Pid/2012 yang diketuai oleh hakim agung Artidjo Alkostar bersama dua hakim anggota Sofyan Sitompul dan Dudu D. Machmudin, pada 18 September 2012 dengan menjatuhkan putusan bunyinya:

- Menyatakan para terdakwa : dr. Dewi Ayu Sasiary Prawani (Terdakwa I), dr. Hendry Simanjuntak (Terdakwa II) dan dr. Hendy Siagian (Terdakwa III) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain”;

- Menjatuhkan pidana terhadap Para Terdakwa : dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjutak dan dr. Hendy Siagian dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan.

Dasar pertimbangan hukum majelis kasasi dalam mengabulkan permohonan jaksa penuntut umum ini adalah;
- Judex Facti salah menerapkan hukum, karena tidak mempertimbangkan dengan benar hal-hal yang relevan secara yuridis, yaitu berdasarkan hasil rekam medik No. No. 041969 yang telah dibaca oleh saksi ahli dr. Erwin Gidion Kristanto, SH. Sp.F. Bahwa pada saat korban masuk RSU (Rumah Sakit Umum) Prof. R. D. Kandou Manado, keadaan umum korban adalah lemah dan status penyakit korban adalah berat

- Para terdakwa, sebelum melakukan operasi cito secsio sesaria terhadap korban tanpa menyampaikan kepada pihak keluarga tentang kemungkinan yang dapat terjadi terhadap diri korban.

- Perbuatan para terdakwa melakukan operasi terhadap korban Siska Makatey yang terjadinya emboli udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung. Sehingga  menghambat darah masuk ke paru-paru kemudian terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung

- Perbuatan para terdakwa mempunyai hubungan kausal dengan meninggalnya korban Siska Makatey sesuai Surat Keterangan dari Rumah Sakit Umum Prof. Dr. R. D. Kandou Manado No. 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010, tanggal 26 April 2010.

Majelis kasasi juga mempertimbangkan hal yang memberatkan para terdakwa yakni, "Sifat dari perbuatan para terdakwa itu sendiri yang mengakibatkan korban meninggal dunia."

Sedangkan hal-hal yang meringankan, para terdakwa sedang menempuh pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Sam Ratulangi Manado; dan para terdakwa belum pernah dihukum.

Munculnya kasus dr Ayu menuai perdebatan layak tidaknya seorang dokter dipenjara akibat meninggalnya pasien yang ditanganinya. Direktur Advokasi dan Kampanye Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain menilai pemidanaan dokter sangat dimungkinkan bahkan dibenarkan secara hukum.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kata Bahrain, faktor kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan orang lain meninggal dunia merupakan perbuatan tindak pidana. Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 359 KUHP yang berbunyi : "Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun".

Sehingga Bahrain menyarankan semua pihak seharusnya menghormati putusan hakim Mahkamah Agung (MA) karena putusan terhadap ketiga dokter tersebut sudah berkekuatan hukum tetap. Seharusnya para dokter lebih profesional dan berhati-hati dalam mengambil tindakan terkait tugas medisnya. "Karena tindakan kecerobohan seorang dokter bisa menyebabkan melayangnya nyawa seseorang," katanya lewat surat elektronik yang diterima Gresnews.com, Kamis (28/11)

Maka ia menyarankan polemik penahanan terhadap tiga dokter tersebut tidak ditanggapi secara berkepanjangan oleh dokter-dokter lainnya. Bahkan sampai memilih aksi mogok praktik melayani masyarakat.

Menyikapi polemik pemidaan terhadap para dokter itu kalangan sejumlah pihak mengusulkan dibentuknya Standar Pelayanan Medis Nasional. Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta, menyatakan akibat tidak adanya standar layanan medik nasional menyebabkan terjadinya kerancuan penyelesaian masalah seperti di Manado. Sebab, RS Kandouw tempat Dewa Ayu bekerja menyatakan telah melakukan tindakan medik sesuai dengan standar.

Desakan penyusunan standar layanan medik nasional juga disampaikan Anggota Komisi IX DPR RI Okky Asokawaty. Menurut politisi PPP itu, saat ini tiap rumah sakit memiliki standar pelayanan masing-masing. Standar tersebut berlaku hanya di rumah sakit bersangkutan dan tidak bisa berlaku di rumah sakit lain. "Tiap rumah sakit sarana dan prasarananya berbeda, apalagi akan diterapkannya program Jaminan Kesehatan Nasional tahun, namun belum ada standar nasional," kata Okky kepada Gresnews.com, Kamis (28/11).

Karena itu, Okky berharap pemerintah segera menyusun standar layanan medik nasional itu. Sehingga kasus malapraktik maupun kasus lain seperti terjadi di RS Kandouw Manado tidak perlu terjadi. Sebab, lanjut Okky, dari keterangan yang disampaikan pihak RS Kandouw, upaya medik yang dilakukan Dewa Ayu S, Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian telah sesuai dengan prosedur. Namun saat dibawa ke ranah hukum, ketiga dokter tersebut tetap dinyatakan bersalah. "Menkes perlu keluarkan SOP nasional dari setiap langkah layanan medik," lanjut Okky.

Sementara itu, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, tindakan medik yang dilakukan ketiga dokter di Manado untuk menolong pasien bernama Julia Fransiska telah sesuai dengan prosedur. Dan itu juga telah diakui oleh pasien. Hanya saja, kata Menkes, pengakuan dari pasien saat menandatangani surat pernyataan untuk dilakukan tindakan medik dalam keadaan tidak sadar.

Menkes menyatakan, dengan diterapkannya program Jaminan Kesehatan Nasional pada 2014, standar pelayanan medik optimis lebih baik. (Yudho Raharjo/Ainur Rahman/GN-02)

BACA JUGA: