JAKARTA, GRESNEWS.COM - Masih ingat dengan Haji Abraham "Lulung" Lunggana? Ketika kasus korupsi APBD DKI Jakarta tahun 2014 mulai disidik aparat Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, akhir Juni lalu, mendadak Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta itu mendatangi markas Bareskrim Mabes Polri dengan membawa segepok dokumen.

Ketika itu, tepatnya tanggal 25 Juni 2015, Lulung datang ke Bareskrim dan mengaku ingin menjadi whistleblower kasus korupsi yang merebak akibat perseteruan antara DPRD DKI dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok terkait persetujuan penyusunan APBD DKI.

"Saya membantu untuk memberikan beberapa berkas yang diperlukan untuk kepolisian tentunya. Hari ini saya datang dan saya sampaikan tadi," kata Lulung ketika itu.

Berkas-berkas itu, kata dia, nantinya dapat menelusuri kait mengkait para pelaku yang diuga ikut terlibat dalam pembahasan APBD DKI Jakarta tahun 2014. "Biar siapa pelaku-pelakunya semakin jelas nantinya," kata Lulung.

Hanya saja, saat itu upaya Lulung menjadi whistleblower dianggap "sepi" oleh Kabareskrim Komjen Budi Waseso. "Saya bilang kalau mau jadi whistleblower dari awal. Jangan begitu ramai dia langsung datang. Pak sebenarnya begini lho kejadiannya," kata Buwas saat itu.

Dalam kasus lain, terkait suap yang dilakukan oleh Kementerian ESDM terhadap anggota Komisi VII DPR RI periode 2009-2014 terkait pembahasan anggaran Kementerian ESDM yang melibatkan Ketua Komisi VII Sutan Bhatoegana, yang bersangkutan juga didesak menjadi whistleblower untuk mengungkap kasus itu seterang-terangnya.

Desakan itu datang dari kolega Sutan di Partai Demokrat Gede Pasek Suardika. Ketika itu, Pasek mengaku prihatin dengan penahanan atas Sutan. "Saya sebagai teman sesama partai prihatin. Saya berharap beliau dapat tabah meskipun saya yakin beliau sudah sangat tabah dan siap menjalani proses hukum," kata Pasek saat itu.

Memang sejak berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi dimana upaya pemberantasan korupsi mulai gegap gempita, istilah whistleblower juga mulai mengemuka.

Whistleblower adalah seseorang yang melaporkan perbuatan yang berindikasi tindak pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi tempat dia bekerja, dan dia memiliki akses informasi yang memadai atas terjadinya indikasi tindak pidana korupsi tersebut. Dalam arti harfiahnya whistleblower adalah peniup peluit yang sering digunakan dalam pertandingan olahraga.

KPK sendiri sejak tahun 2011 lalu juga sudah mempublikasikan cara-cara menjadi whistleblower. Sistem itu disebut KPK Whistleblower´s System. KWS adalah laman atau website kws.kpk.go.id. KWS ini diadakan terutama untuk mereka yang ingin identitasnya tetap dirahasiakan, lalu tidak punya waktu karena berbagai alasan, dan juga tidak ingin publikasi.

PERAN PENTING WHISTLEBLOWER UNGKAP KASUS KORUPSI - Whistleblower memang menjadi elemen penting dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi yang tersembunyi. Keberadaan seseorang yang berada dalam satu organisasi dan mengetahui lalu menentang laku koruptif di organisasi atau lembaga tersebut dan melaporkannya ke aparat berwenang, sering bernilai emas dalam mengungkap kasus korupsi.

Hanya saja, memang dalam kaitan ini diperlukan adanya pengaturan khusus soal apa dan siapa whistleblower itu dan bagaimana seseorang bisa memenuhi syarat menjadi whistleblower. Sebagai contoh, di internal Kementerian Keuangan misalnya, seiring tertangkapnya beberapa pejabat khususnya di Direktorat Jenderal Pajak akibat kasus korupsi, peran whistleblower mulai diakui efektivitasnya.

Terkait hal ini, sejak tahun 2010 lalu, pihak Kemenkeu telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.09/2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan dan Tindak Lanjut Pelaporan Pelanggaran (Whistleblowing) di Lingkungan Kementerian Keuangan. Lewat beleid itu diatur siapapun pejabat atau pegawai lingkungan Kementerian Keuangan yang melihat atau mengetahui adanya Pelanggaran, wajib melaporkannya kepada Unit Kepatuhan Internal atau Unit Tertentu dan/atau Inspektorat Jenderal.

Beleid itu juga memungkinkan masyarakat yang melihat atau mengetahui adanya Pelanggaran dan/atau merasa tidak puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh pejabat/pegawai di Lingkungan Kementerian Keuangan, dapat melaporkannya kepada Unit Kepatuhan Internal atau Unit Tertentu dan/atau Inspektorat Jenderal.

Dalam Pasal 12 PMK itu juga diatur soal perlindungan kepada para whistleblower tadi. Pada Ayat (1) misalnya disebutkan, Unit Kepatuhan Internal, Unit Tertentu, dan Inspektorat Jenderal wajib memberikan perlindungan kepada Pelapor Pelanggaran (whistleblower). Pada Ayat (2) ditegaskan perlindungan diberikan dengan cara menjaga kerahasiaan identitas Pelapor Pelanggaran (whistleblower).

Di lembaga peradilan, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04/2011 yang mengakui keberadaan dan peran whistleblower serta justice collaborators. Ketentuan dalam SEMA Nomor 04/2011 mengatur mengenai perlakuan khusus berupa keringanan pidana dan perlindungan bagi whistleblower dan justice collaborators.

Selain itu, juga ada kategori yang dijadikan acuan bagi hakim dalam menentukan seseorang sebagai whistleblower dan justice collaborators. Selain itu ada juga aturan soal pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap whistleblower dan justice collaborators.

Menilik peran penting whistleblower ini, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang memang bertugas melindungi para saksi atau pihak yang berani melaporkan adanya pelanggaran, melihat perlu adanya koordinasi terkait pembuatan konsep terkait Whistleblowing System (WBS).

Hal itu ditegaskan oleh Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam pertemuan koordinasi pembuatan konsep WBS di Jakarta, Selasa (28/7). "Amanat dari Inpres No 7 Tahun 2015, LPSK diinstruksikan untuk memberikan pendampingan pada 17 Kementerian dan lembaga dalam rangka pelaksanaan WBS dan penanganan pengaduan internal dan eksternal," kata Semendawai dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Selasa (28/7).

TERKAIT KEWENANGAN LPSK - Aksi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di 17 kementerian/lembaga melalui Whistleblowing System sangat terkait dengan tugas dan wewenang LPSK, terutama dalam memberikan perlindungan kepada pelapor, saksi dan saksi pelaku tindak pidana korupsi.

Perlindungan itu, kata Semendawai, sangat penting sehingga memberikan rasa aman kepada pelapor dan saksi sehingga mereka bersedia dan berani melaporkan dan memberikan keterangan pada proses peradilan tindak pidana korupsi. Pelapor dan saksi akan memikul beban psikologis yang sangat berat karena akan berurusan dengan teman, atasan bahkan keluarga sekali pun yang diduga melakukan korupsi.

"Belum risiko yang telah dan akan dihadapi baik risiko terhadap keamanan diri dan keluarga, juga risiko terhadap serangan balik (counter attack) berupa tuntutan pidana pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan dan bentuk-bentuk kesalahan yang dapat dipidanakan. Pelapor juga menghadapi risiko serangan balik berupa pemindahan tugas, pemberhentian dari jabatan dan pemecatan dan bentuk-bentuk tindakan administrasi kepegawaian lainnya," kata Semendawai.

LPSK melihat hak-hak pelapor dan saksi harus benar-benar dijaga sehingga tidak mengalami kondisi seperti yang ancaman fisik, beban mental hingga serangan balik. Karena itu, dalam indikator ideal, WBS wajib membangun sistem kerahasiaan, tim pengelola yang kapabel dan kredibel, rujukan kepada LPSK untuk memberikan perlindungan kepada pelapor (whistleblower) dan saksi, serta perlu diberikannya reward bagi pelapor dan saksi yang telah mengungkap tindak pidana korupsi.

"LPSK senantiasa akan siap apabila kementerian/lembaga mengajukan permintaan untuk memberikan perlindungan kepada pelapor dan saksi tindak pidana korupsi," ujarnya.

LPSK meyakini, penyelenggaraan WBS di 17 kementerian/lembaga apabila dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, mampu memberikan kontribusi signifikan pada pemberantasan korupsi. Untuk itu ke depannya perlu dirumuskan dan dijalankan indikator yang lebih terukur dari pelaksanaan WBS di K/L sehingga pencegahan dan pemberantasan korupsi baik secara kualitatif dan kuantitatif dapat dicapai.

"Dengan adanya WBS yang baik, semoga Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi bisa berjalan dengan baik," kata Semendawai.

Sebelumnya, LPSK sendiri memang ingin memperkuat peran whistleblower dan justice collabolator dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Penguatan peran itu tercermin dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pada 12 Februari 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Surat Persetujuan Presiden atas RUU ini. Dengan adanya persetujuan tersebut maka perubahan RUU ini akan dibahas oleh DPR RI.

Sejak lahirnya UU Nomor 13 Tahun 2006 ini, LPSK dan sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Saksi dan Korban telah melihat banyak pasal yang berpotensi bermasalah. Setidaknya ada 14 pasal yang akan dilakukan perubahan untuk menguatkan LPSK ke depan.

"Revisi ini merupakan momen penting yang harus segera dituntaskan," kata Semendawai beberapa waktu lalu.

Dari penyisiran 14 pasal yang berpotensi masalah, perubahan-perubahan dalam pasal itu akan mencakup beberapa hal. Yang utama terkait perlindungan terhadap whistleblower dan justice collabolator. Kedua peran ini akan diperkuat dengan definisi lebih tegas, jangkauan lebih luas dan adanya pemberian penghargaan khusus. Sehingga aparat penegak hukum memiliki pemahaman yang sama, khususnya untuk kejahatan korupsi.

"Nanti, penegak hukum tak perlu ragu untuk memberikan penghargaan khusus kepada mereka yang berani membongkar suatu kejahatan," jelas Semendawai.

Selain memperkuat peran whistleblower dan justice collabolator, lainnya adalah memperkuat pengertian restitusi dan kompensasi korban. Termasuk memasukkan subyek hukum baru terkait korban kejahatan terorisme. (dtc)

BACA JUGA: