JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang lanjutan kasus sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di Mahkamah Konstitusi (MK) yang digelar Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengungkap sepak terjang Muhtar Ependy dalam mengurus sengketa Pilkada di beberapa wilayah Sumatera Selatan, termasuk pilkada Kota Palembang yang melibatkan walikotanya, Romi Herton.

Muhtar, ternyata tidak hanya memberi suap kepada mantan Ketua MK Akil Mochtar. Pria yang disebut sebagai makelar kasus sengketa Pilkada ini juga menyuap oknum petugas keamanan di internal MK untuk memuluskan rencananya tersebut.

Salah satu petugas keamanan MK Zulhafis yang menjadi saksi dalam sidang kali ini mengakui menerima sejumlah uang dari Muhtar. Uang tersebut didapat setelah ia memberikan sejumlah informasi perihal jadwal, serta hasil sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).

"Saya dikasih tiga kali. Pertama Rp1 juta, kedua Rp500 ribu, ketiga Rp1 juta," kata Zulhafis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (4/12).

Informasi tersebut didapatkannya dari panitera serta print out yang terdapat di ruang petugas keamanan di lantai 2 Gedung MK. Ia memberikan jadwal persidangan, siapa pihak pemohon, termohon, hasil sidang sengketa, hingga selisih suara para oknum yang sedang berperkara.

Tak hanya itu, bahkan Muhtar meminta Zuhafis untuk menghubungkan dirinya dengan pihak berperkara. Salah satunya dengan memberikan nomor telepon Muhtar kepada pihak tersebut termasuk Romi Herton yang ketika itu sedang menjalani sidang sengketa Pilkada di MK.

Parahnya lagi, Muhtar juga mengundang dirinya melalui pesan singkat untuk hadir di Apartemen di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Undangan tersebut dimaksudkan untuk menyusun strategi pemenangan sengketa Pilkada yang sedang berperkara salah satunya Kota Palembang.

"Mengundang saya ke apartemen untuk mengatur strategi bertemu pihak-pihak berperkara. Dia cuma mengatur strategi, mungkin untuk Kota Palembang," ujarnya.

Namun, ia mengklaim tidak menghadiri undangan tersebut. Zulhafis beralasan ketidakhadirannya itu disebabkan tidak ingin melanggar kode etik pegawai MK dengan berhubungan dengan pihak berperkara.

Karuan saja alasan ini dipertanyakan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pulung Rinandoyo. Menurut Pulung, alasan tersebut tidak sesuai dengan sikap yang ditunjukkan Zulhafis sebelumnya, yaitu menerima sejumlah uang dari Muhtar Ependy.

"Ini menerima uang, tapi kontradiktif, katanya terikat peraturan, apa latar belakang, di satu sisi saudara bilang tidak boleh, tapi disisi lain berikan informasi, apa yg dijanjikan?" tanya Jaksa Pulung.

Mendengar pertanyaan tersebut, Zulhafis pun tidak bisa menjawab. Ia hanya menyatakan tidak ada yang dijanjikan oleh Muhtar, Zulhafis hanya mengaku ia menerima sejumlah uang sebesar Rp2,5 juta.

Jaksa Pulung pun mencecar apakah uang tersebut memang dikasih, atau ada permintaan sebelumnya kepada Muhtar. Tetapi, ia mengklaim tidak pernah meminta uang tersebut. "Kalau untuk THR? Ada dalam transkip sms saudara meminta THR?" cecar Jaksa Pulung.

Zulhafis pun mati langkah. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut apalagi setelah Jaksa Pulung menampilkan transkip percakapan permintaan uangnya dalam rangka Tunjangan Hari Raya (THR) yang "ditukar" dengan sejumlah informasi mengenai sengketa Pilkada.

BACA JUGA: