JAKARTA, GRESNEWS.COM – Bertepatan dengan perayaan hari ulang tahun Bhayangkara 1 Juli 2015, sekelompok orang yang menamakan diri Koalisi untuk Reformasi Polri (Koreksi) berbondong mendatangi Mahkamah Konstitusi. Mereka mendatangi gedung Mahkamah Konstitusi untuk mendaftarkan gugatan atas UU Polri dan UU LLAJ.

Perwakilan Koreksi diantaranya Erwin Natosmal Oemar dari Indonesia Legal Roundtable (ILR), Julius ibrani dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Daud Beureuh dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), serta Lola Ester Indonesia Corruption Watch (ICW) menggugat kewenangan polisi menerbitkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).  

Mereka berpandangan kepolisian harus fokus pada penegakan hukum. Sehingga persoalan administrasi yang masih ´dipegang´ kepolisian seperti penerbitan SIM dan STNK seharusnya tidak lagi menjadi wewenang kepolisian. "Wewenang administrasi tersebut bisa dialihkan ke Kementerian Perhubungan," ujar Erwin kepada gresnews.com.

Persoalan kewenangan kepolisian dalam menerbitkan dua surat izin bagi pengendara itu diujimaterikan Koreksi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menggugat Pasal 15 ayat (2) huruf B Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (UU Kepolisian) dan Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 66 ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).

Pasal 15 ayat (2) huruf b UU Kepolisian mengatur Kepolisian berwenang menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor. Lalu Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6) UU LLAJ berisi ketentuan registrasi kendaraan bermotor dilaksanakan kepolisian melalui sistem manajemen registrasi kendaraan bermotor. Lalu ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi diatur dengan peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selanjutnya Pasal 67 ayat (3) UU LLAJ berisi aturan mekanisme penyelenggaraan sistem administrasi manunggal satu atap dikoordinasikan oleh kepolisian. Adapun Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3) menyebutkan surat tanda coba kendaraan bermotor dan tanda coba nomor kendaraan bermotor diberikan kepolisian pada badan usaha di bidang penjualan, pembuatan, perakitan atau impor kendaraan bermotor.

Sementara Pasal 67 ayat (3) UU LLAJ tersebut tercantum ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian dan penggunaan surat tanda coba kendaraan bermotor dan tanda coba nomor kendaraan bermotor diatur dengan peraturan kepala kepolisian.

TAK ADA WEWENANG - Menurut Perwakilan Koreksi, Erwin Natosmal Oemar, melihat dari sejarah dan konstitusionalitas, kepolisian tidak diberikan kewenangan untuk mengurus SIM dan STNK. Sebab kewenangan tersebut milik pemerintah daerah. Tapi, perkembangannya kewenangan itu mengarah ke kepolisian. Akibat wewenang tersebut, ketika kepolisian mengurus kewenangan yang tidak dimilikinya, maka tugas-tugas utamanya terbengkalai. "Misalnya seperti melayani publik dan menegakkan hukum," jelas  Erwin.

Ia menilai fokus dari kepolisian ´tersedot´ akibat mengurus persoalan SIM dan STNK. Padahal urusan yang dianggapnya sebagai persoalan administratif tersebut bukan tugas institusional dari kepolisian. Sehingga koalisi meminta kepada MK agar kewenangan kepolisian untuk mengurus administrasi penerbitan SIM dan STNK dihapus dalam UU Kepolisian dan UU LLAJ.

Erwin menambahkan dalam konsep trias politica, buruknya kinerja kepolisian atau ´terperosoknya´ kepolisian terhadap profit karena tidak seimbangnya praktek pengelolaan SIM dan STNK. Sebab kepolisian memiliki tugas ganda mengelola surat-surat tersebut untuk menerbitkan, menjalankan dan menegakkan hukum.

Menurutnya, pengelolaan SIM dan STNK terlalu terkonsentrasi hanya pada kepolisian. Akibatnya pengawasan terhadap kewenangan tersebut tidak berjalan optimal. Hal ini membuat polisi ´tergelincir´ pada praktek koruptif. Contoh praktek koruptif yang dilakukan kepolisian, terjadi pada kasus Joko Susilo dan Rusdiharjo.

UNTUNG RUGI TAK URUS ADMINSTRASI -  Erwin menjelaskan keuntungan kepolisian tidak mengurusi penerbitan SIM dan STNK adalh praktek check and balances berjalan dengan optimal. Ketika Kementerian Perhubungan berjalan dengan efektif mengurusi penerbitan SIM dan STNK, kepolisian bisa menjalankan penegakan hukum lebih maju lagi.

Lalu dengan dipindahkannya kewenangan penerbitan SIM dan STNK ke Kementerian Perhubungan maka makin menjelaskan roadmap pengelolaan perhubungan atau transportasi di Indonesia. Data itu yang bisa dijadikan dasar bagi Kementerian Perhubungan untuk membuat kebijakan yang menyangkut pengaturan jalan dan lalu lintas," lanjut Erwin.

Erwin mencurigai jangan-jangan buruknya pengelolaan lalu lintas di Indonesia disebabkan oleh kewenangan yang tersentralisasi oleh kepolisian. Padahal yang berwenang mengurus persoalan transportasi adalah Kementerian Perhubungan.

Terkait gugatan ini, anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi Hanura Fauzi H Amro menyatakan dukungannya untuk mengalihkan kewenangan penerbitan SIM dan STNK ke Kementerian Perhubungan. Sebab kepolisian sudah diberikan wewenang untuk menjaga keamanan. Sehingga persoalan lalu lintas diserahkan pada Perhubungan.

"Jalan, jembatan, sungai, laut, dan udara semuanya yang mengatur Perhubungan," ujar Fauzi saat dihubungi gresnews.com pada kesempatan terpisah, Jumat (3/7).

Ia menilai kalau wewenang polisi tersebut dialihkan, Kementerian Perhubungan bisa lebih maksimal dalam mengurus persoalan administrasi tersebut. Menurutnya, negara lain yang memberikan wewenang soal ini pada Kementerian Perhubungan dinilai lebih efektif menjalankan tugasnya dibandingkan diserahkan pada kepolisian.

KUE BESAR - Kriminolog Universitas Indonesia Erlangga Masdiana mengatakan bahwa tugas kepolisian adalah menjaga keamanan dan ketertiban umum, memberikan pelayanan pada masyarakat, dan penegakan hukum. Menurutnya, ketiga wewenang tersebut bergantung pada definisi yang diberikan eksekutif dan legislatif.

Ia mencontohkan penerbitan SIM dan STNK bisa jadi sebagai sebuah pelayanan pada masyarakat. Kalaupun kewenangan ini dianggap relevan diserahkan pada Kementerian Perhubungan, tentu sumber daya manusia departemen bersangkutan harus diperbanyak.

Masalahnya, menurut dia,  soal kue besar. Masalah ini bisa menjadi pendapatan besar buat negara. Tapi kalau saja wewenang ini ditangani profesional dan tidak dijadikan sebuah kue yang bisa diambil kelompok tertentu. "Saya kira pemerintah dan DPR akan lebih fair soal siapa yang akan menangani," ujar Erlangga kepada gresnews.com dalam kesempatan berbeda.

PERBANDINGAN DI NEGARA LAIN - Lalu jika dibandingkan pada hukum di sejumlah negara mengenai pengelolaan SIM dan STNK, Erwin menyimpulkan kepolisian sebenarnya tidak berwenang masuk ke dalam administratif untuk mengurus SIM dan STNK. Kewenangan itu di sejumlah negara diberikan pada departemen transportasi atau dalam konteks Indonesia disebut sebagai departemen perhubungan.

Adapun kewenangan kepolisian di sejumlah negara hanya terfokus pada penegakan hukum saja. Sehingga ia menilai praktek yang dijalankan kepolisian untuk mengurusi persoalan administrasi mengurus SIM dan STNK menyimpang dari konstitusi.  

Koalisi menginventarisir,  di sejumlah negara persoalan surat-surat pengendara tidak dijalankan oleh kepolisian. Misalnya di Amerika Serikat yang berwenang mengurus perizinan bagi pengendara adalah department of motor vehicle, Israel oleh ministry transportation, New Zealand oleh New Zealand transport agency, Singapura oleh ministry of transportation. Lalu kewenangan yang sama untuk Thailand, Inggris, Filipina, Islandia, dan India juga diatur oleh kementerian transportasi.

SIKAP KEPOLISIAN - Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Agus Rianto mengatakan di kepolisian sudah ada pembagian yang menangani tugas dan tanggungjawab Polri. Misalnya dalam persoalan lalu menjadi tugas kepolisian di bidang lalu lintas. Sehingga tidak bertugas menangkap teroris atau melakukan penyidikan tindak pidana korupsi karena ada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim).

"Justru saat ini Polri mengedepankan pelaksanaan tugas yang bersifat humanis. Sehingga tidak mengedepankan penegakan hukum semata. Jadi lebih pada pencegahan. Lalu juga aspek penyuluhan dan pembinaan pada masyarakat," ujar Agus kepada gresnews.com, Jumat (3/7).

Ia menyadari kepolisian belum mampu melaksanakan tugas secara maksimal sesuai yang diharapkan masyarakat. Tapi ia menjamin kepolisian akan berupaya lebih baik. Menurutnya, jangan menjadikan sesuatu yang dianggap kurang optimal dijadikan sebagai alasan untuk menganggap kewenangan tersebut tidak cocok dilakukan kepolisian.

Menurutnya, Polri yang sudah berpuluh tahun menangani persoalan penerbitan SIM dan STNK dianggap masih kurang pas. Ia mempertanyakan bagaimana dengan pihak lain yang akan menangani wewenang tersebut.

"Kalau dalam masyarakat ada hal yang kurang, kami siap dan tidak resisten dikoreksi, dikritik, dan ditegur. Tapi tolong juga beri kami solusi. Kami juga berharap peran serta masyarakat untuk jangan melanggar atau melakukan hal di luar ketentuan. Jangan juga mengajak polisi untuk melanggar. Itu harapan kita," lanjutnya.

Untuk diketahui, koalisi yang mengajukan gugatan ini terdiri dari perseorangan Alissa Wahid dan Hari Kurniawan serta lembaga seperti Malang Corruption Watch, Pemuda Muhammadiyah, Gerakan Kaum Tuli Indonesia (Gerkatin) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

BACA JUGA: