JAKARTA, GRESNEWS.COM - Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan) digugat karena dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 terhadap pembina yayasan. Padahal pembina yayasan juga ikut mengajar sama dengan pengurus atau dosen. Sehingga sudah seharusnya pembina juga mendapatkan hak yang sama bagi upah mengajarnya.

Pemohon Dahlan Pido yang merupakan pembina Yayasan Toyib Salmah Habibie merasa dirugikan atas Pasal 5 ayat (2) UU Yayasan. Pasal tersebut menghilangkan hak pemohon mendapatkan gaji dalam mengurus yayasan hingga ia mengajukan gugatan. Pada sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi, pemohon mengajukan seorang saksi ahli untuk memberikan keterangan.

Saksi Ahli pemohon Safri Nurmantu menilai Pasal 5 ayat (2) UU Yayasan bersifat diskriminatif terhadap pembina dan pendiri yayasan bersangkutan. Pasalnya pembina dan pendiri yayasan sejak dari awal didirikannya yayasan telah ikut mengajar atau memberikan kuliah. Lagipula UU ini dianggap bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.

Pasal 28 A UUD 1945 telah memberikan jaminan  pada tiap orang untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Lalu Pasal 28 B juga menyebutkan tiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak memajukan diri memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun bangsa. Selanjutnya, Pasal 28 C juga menjamin tiap orang untuk bekerja dan mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

"Jika saya memberikan kuliah yang dikelola yayasan lain saya mendapat honorarium, makanan kecil disertai ucapan terima kasih. Mengapa jika saya memberikan kuliah di perguruan tinggi dimana saya sebagai pembina saya dilarang menerima gaji dan diancam pidana? " ujarnya saat memberikan keterangan dalam sidang pengujian UU Yayasan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/3).

Ia menambahkan hingga kini sebagian besar pendidikan yang berada di Indonesia diasuh oleh yayasan baik sekolah maupun perguruan tinggi. Ada sekitar 7000 yayasan yang mengasuh masalah sosial seperti pendidikan. Jika tiap yayasan memiliki masing-masing paling sedikit lima pembina maka terdapat 35 ribu pembina yang berhadapan dengan Pasal 5 UU Yayasan.

Saksi ahli yang juga memiliki yayasan dan berperan sebagai pendiri dan pembina kemudian menceritakan ketidakadilan yang ia rasakan atas UU ini. Sejak 1983 ia bersama teman-temannya mendirikan Yayasan Ilomata dan mengasuh Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Manda Indonesia (STIAMI).

Ia menceritakan sebelum diberlakukan UU Yayasan, melalui Yayasan Ilomata ia memberikan kuliah dan mengatur manajemen sekolah tinggi untuk mendapatkan imbalan resmi. Menurutnya, semua imbalan yang diterimanya merupakan hasil kerja melalui mengajar. Paska adanya UU Yayasan, ia mengaku khawatir ketika ia mengajar dan disuguhkan makanan kecil berupa air mineral dan kue seharga Rp 15 ribu maka melalui snack tersebut ia bisa terkena pidana paling lama 5 tahun berdasarkan UU Yayasan.

Safri melanjutkan ancaman pidana bisa menjeratnya lantaran ia mengajar dan mendapatkan suguhan. Padahal dengan mengajar ia telah merasa ikut mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat konstitusi.

Menanggapi hal ini, Hakim Konstitusi Aswanto melontarkan pertanyaan. Aswanto meminta ahli menyampaikan filosofi pendirian yayasan. "Apakah memang boleh profit oriented atau cukup sosial saja? Karena ini yang kita harapkan bapak berikan tafsir," ujar Aswanto pada kesempatan yang sama.

Menjawab pertanyaan Aswanto, Safri menjelaskan filosofi pendirian yayasan mulanya untuk membantu anak-anak yang tidak diterima di perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia (UI). Di sisi lain, secara historis sebagian besar pendiri yayasan merupakan dosen dan guru. Sehingga mau tidak mau mereka juga mempertimbangkan profesinya.

"Hidup dari mana? Pegawai Negeri seperti UI dapat gaji dari negara. Swasta dari mana?" ujar Safri.

Ia melanjutkan sebagai pendiri dan pengajar yayasan tentunya akan mendapatkan gaji dari mahasiswa. Tapi tidak semata-mata menjadikan yayasan sebagai mata pencaharian. Sebab tujuan utama yayasan menyangkut unsur pengabdian. Sehingga menurutnya Pasal 5 UU Yayasan soal menyalahgunakan kepercayaan masyarakat melalui yayasan tidak dibenarkan.

Menurutnya, Pasal 5 UU Yayasan tidak secara detail menyebutkan tafsiran pembina. Sebab banyaknya pembina yang mengajar di yayasan membuat mereka takut dikenakan pidana. Hematnya dalam praktik pasal ini menimbulkan ancaman. Ia menilai seharusnya UU tersebut menjelaskan lebih detail dan membedakan bagaimana kalau pendiri juga merangkap sebagai dosen.

 

BACA JUGA: