JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah diam-diam telah mengeluarkan beleid yang membolehkan didirikannya reaktor nuklir komersial. PP Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir, memang menegaskan, pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir serta dekomisioning atau kegiatan untuk menghentikan beroperasinya reaktor nuklir wajib memiliki izin. Izin itu terdiri atas: Izin Pembangunan rektor nuklir meliputi izin tapak dan izin konstruksi; Izin pengoperasian reaktor nuklir meliputi izin komisioning dan izin operasi.

Hanya saja PP ini juga menegaskan dibolehkannya pembangunan reaktor nuklir komersial alias oleh swasta, misalnya untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Dalam PP itu disebutkan, pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor daya non komersial atau reaktor nondaya nonkomersial hanya bisa dilaksanakan oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Adapun untuk reaktor nondaya komersial bisa dilaksanakan oleh badan usaha milik negara (BUMN), koperasi, dan/atau badan usaha yang berbadan hukum.

Sementara pembangunan reaktor daya komersial yang berupa pembangkit listrik tenaga nuklir, ditetapkan oleh Menteri ESDM setelah berkonsultasi dengan DPR-RI. "Permohonan untuk memperoleh izin pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir serta dekomisioning harus disampaikan secara tertulis kepada Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten)," demikan bunyi Pasal 6 Ayat (1) PP ini.

Terbitnya PP ini mendapat reaksi dari para pegiat lingkungan. Dalam analisis WWF Indonesia, energi nuklir saat ini masih menuai pro dan kontra di Indonesia. Sejak KUBE (Kebijakan Umum Bidang Energi) 1998, nuklir sudah masuk dalam opsi pemenuhan kebutuhan energi di Indonesia. Begitupun dalam kebijakan energi selanjutnya Kebijakan Energi Nasional 2005 hingga kebijakan energi yang baru saja disahkan oleh DPR pada awal tahun ini, walaupun jelas disebutkan nuklir merupakan pilihan terakhir bila semua energi terbarukan dianggap tidak cukup.

Opsi ini merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi ketergantungan energi terhadap minyak bumi. Tentu saja alasannya adalah alasan ekonomi, mengingat harga minyak bumi menunjukkan trend yang meningkat sementara cadangan dan produksi dalam negeri semakin menurun yang menyebabkan peningkatan impor minyak bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat pesat.

Namun, menurut pandangan WWF, pengembangan energi termasuk energi nuklir perlu dilihat dari perspektif ketahanan energi dimana didalamnya harus memenuhi beberapa unsur. Unsur tersebut adalah unsur ketersediaan dalam jangka panjang, peningkatan akses energi yang berkelanjutan, tidak menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang besar serta menjamin keterjangkauan harga energi bagi seluruh masyarakat. "Apakah energi nuklir dapat memenuhi seluruh aspek tersebut? Ini yang perlu dicermati oleh para pembuat kebijakan di Indonesia," kata Indra Sari Wardhani, Coordinator Sustainable Energy  WWF Indonesia kepada Gresnews.com, Kamis (13/2)

Indra Sari mengatakan yang perlu dicermati adalah pertama, PLTN membutuhkan bahan bakar uranium. Saat ini produksi uranium terbesar di dunia dikuasai oleh negara Kazakhtan (37%), Canada (15%), Australia (12%), Rusia (5%), Amerika (3%), China (3%). "Bila kemudian Indonesia mengembangkan nuklir, bagaimana pemenuhan bahan bakar tersebut? Apakah akan impor dari negara-negara tersebut?" ujarnya.

Saat ini Indonesia memiliki cadangan uranium sebesar 53.000 ton yang terdapat di Kalimantan dan Bangka Belitung. Hanya saja kata Sari, untuk mendapatkan uranium tersebut dibutuhkan proses penambangan. "Hal ini juga perlu menjadi perhatian mengingat tekanan terhadap lingkungan akibat pertambangan sangat tinggi," katanya menambahkan.


Kedua, harus dipikirkan pula risiko dampak terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitar PLTN terutama terkait pengelolaan limbah radioaktif. Limbah radioaktif dari pemanfaatan energi nuklir tidak dapat terurai untuk waktu yang lama. "Bagaimana pengelolaan limbah tersebut?" ujar Indra Sari.

Pemerintah harus belajar dari pengalaman tragedi Fukushima di Jepang dimana gempa dahsyat menyebabkan PLTN Fukushima Daichii mengalami kerusakan. Adanya kebocoran dalam instalasi yang menyebabkan radiasi nuklir, mengharuskan pemerintah Jepang mengevakuasi lebih dari 100.000 penduduk dalam radius 20 Km disekitar lokasi pembangkit.

Berdasarkan Law on Compensation for Nuclear Damage and Law on Contract for Liability Insurance for Nuclear Damage, akibat tragedi Fukushima tersebut, operator pembangkit harus membayar US$ 1,46 miliar sebagai kompensasi. Di Indonesia, rencana pembangunan PLTN Muria sejak 2007 hingga saat ini terhenti karena penolakan yang cukup kuat dari masyarakat sekitar. Bahkan NU Jepara menetapkan fatwa/aturan haram terhadap nuklir. Bagi penduduk yang mayoritas muslim, tentu saja fatwa ini memberikan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap penolakan PLTN.

Ketiga, biaya Investasi Tinggi. Sebagai perbandingan, di Korea, biaya konstruksi PLTN pada tahun 2005, berkisar US$ 2300/Kw. Namun Batan yakin biayanya akan berada pada rentang antara US$ 1500- US$ 1800/Kw. Padahal MIT menghitung biaya pembangunan instalasi nuklir di atas tahun 2003 akan mencapai US$ 4000/Kw. Ini adalah harga yang sangat mahal.

Terkait investor, untuk PLTN Muria dengan kapasitas 4x1000 MW akan berpartner dengan KEPCO (Korea) dan Mitsubishi (Jepang). Untuk PLTN Bangka Barat dan Selatan 4x1000 MW, KEPCO, Mitsubishi, VUJE (Slovakia) dan ROSATOM (Rusia). Pengembang utamanya BATAN dan PT Medco Energi (Arifin Panigoro). 

Keempat yang harus diperhatikan adalah terkait good governance aspects. Sebagai contoh, PLTN Bataan di Luzon Filipina yang dibangun pada masa presiden Marcos 1976. Namun belum juga komisioning, pada tahun 1986 ditutup oleh Presiden Aquino. Alasannya karena adanya indikasi masalah transparansi dan kurangnya akses informasi kepada publik, korupsi, serta beberapa masalah yang belum terselesaikan terkait stabilitas kondisi geologi dan juga terjadinya bencana nuklir Chernobyl di Ukraina pada tahun 1986.

Berbagai kasus korupsi serta masalah "governance" yang terjadi di Indonesia merupakan salah satu pertimbangan penting dalam pembangunan instalasi nuklir. Meskipun tidak terkait secara langsung, terjadinya bencana lumpur lapindo di Sidoarjo yang terjadi sejak Mei 2006 dan masih berlangsung hingga saat ini harus menjadi pelajaran. "Masyarakat disekitar lokasi yang paling merasakan dampaknya," ujar Indra Sari.

Pada dasarnya, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat melimpah seperti mikrohidro, panas bumi, tenaga surya/matahari, tenaga angin, dan juga bio energi, dimana resiko bencana dan kerusakan yang jauh lebih kecil. "Saat ini jenis energi tersebut masih belum optimal dimanfaatkan. Mengapa harus mengembangkan nuklir?" kata Indra Sari menegaskan.


Namun pihak pemerintah sendiri tampaknya yakin Indonesia mampu mengusai sepenuhnya teknologi nuklir. Direktur Utama PT Batan Teknologi/Batantek (Persero), Yudiutomo Imardjoko mengatakan pembangunan reaktor nuklir secara komersial bertujuan untuk menghasilkan listrik dan listrik tersebut akan dijual kepada masyarakat.

Sedangkan non komersial diperuntukkan pengembangan ilmu dan pengembangan penelitian. "Jadi kalau kami (Batantek) yang komersial karena di bawah Kementerian BUMN. Sedangkan non komersial itu Batan dibawah Kementerian Riset dan Teknologi," kata Yudi kepada Gresnews.com, Jakarta, Kamis (13/2).

Yudi menjelaskan kriteria pembangunan reaktor nuklir harus berada di daerah tahan gempa dan daerah penduduknya paling dekat lima kilometer dari reaktor nuklir dan itu tidak boleh kurang. Dia menilai daerah yang paling cocok untuk pembangunan reaktor nuklir adalah di Pulau Kalimantan sebab pulau tersebut tidak memiliki potensi gempa.

Disatu sisi Kalimantan merupakan pulau yang kaya akan sumber daya alam dan juga pulau tersebut banyak pembangunan smelter yang membutuhkan listrik yang besar. Maka dari itu Kalimantan merupakan tempat cocok untuk pembangunan reaktor nuklir lagipula saat ini Kalimantan masih kekuarangan listrik untuk menopang kegiatan smelter.

Lalu bagaimana dengan bencana banjir dan tsunami? Yudi menjelaskan bencana banjir dan tsunami tidak berpengaruh terhadap operasional reaktor nuklir karena jika terjadi banjir malah justruk mendinginkan reaktor nuklir. Sedangkan tsunami, Yudi menjelaskan lokasi keberadaan reaktor nuklir berada di kedalaman 40 meter dibawah tanah.

Jadi jika terjadi tsunami tentunya tidak berpengaruh. "Kalau tsunami datang ya tidak apa-apa malah dibanjiri tsunami ya malah aman. Pembangunan gedung diatas reaktor nuklir itu hanya administrasi saja. Semuanya (reaktor nuklir) dibawah tanah," kata Yudi.

Yudi mengungkapkan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) membutuhkan dana sebesar US$6000 dengan daya kapasitas 1 KiloWatt (Kw), sedangkan untuk 1 MegaWatt dibutuhkan dana sebesar US$6 juta. Menurutnya investasi nuklir mahal karena menyangkut aspek keselamatan yang sangat tinggi.

Namun hasil yang diperoleh dari PLTN untuk memproduksi listrik sangatlah murah ketimbang menggunakan batubara, gas, dan minyak. "Listrik harga produksinya bisa lebih murah tetapi investasinya lebih mahal karena aspek keselamatannya tinggi," kata Yudi.

Menurutnya pemerintah tidaklah harus membangun PLTN tersebut. Dia menganjurkan agar swasta yang membangun PLTN dengan skema pengembangan listrik swasta (indpendent power producer/IPP) seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Typhoon di Jawa Timur. Menurutnya jika pemerintah menyerahkan pembangunan reaktor nuklir kepada swasta tentunya akan banyak swasta asing yang akan masuk untuk berinvestasi membangun PLTN.

Yudi mengatakan hal yang menjadi kekhawatiran masyarakat atas teknologi nuklir adalah limbahnya. Namun saat ini limbah tersebut sudah dapat diatas dengan perkembangan teknologi yang sudah maju. Terbukti salah satu perusahaan nuklir di Amerika milik Bill Gates. Perusahaan nuklir tersebut sudah mendesign agar bahan bakarnya tidak perlu diganti dalam kurun waktu 60 tahun sekali dengan demikian limbahnya tersebut sudah tidak mengandung radiasi dan tidak perlu menambang terlalu banyak.


Menurutnya kekhawatiran masyarakat tersebut dikarenakan sosialisasinya belum tersampaikan secara sempurna mengingat teknokrat nuklir bukanlah orang sosial dan bukanlah orang-orang yang ahli komunikasi. Jadi menurut teknorat nuklir itu menilai reaktor nuklir itu aman.

Maka dari itu diperlukan orang-orang sosial agar masyarakat dapat mudah memahami pentingnya PLTN. "Belum lengkap saja masyarakat menerima padahal teknologi nuklir berkembang terus," kata Yudi.

Jika masyarakat khawatir seperti kasus kecelakaan reaktor nuklir di Fukushima, Jepang pada saat tsunami. Yudi menjelaskan kecelakaan tersebut dikarenakan teknologi nuklir di Jepang merupakan teknologi generasi kedua. Disatu sisi pemerintah Jepang juga sudah meminta agar reaktor nuklir tersebut untuk ditutup. Namun tidak digubris karena memang masih menghasilkan uang.

Jadi menurut Yudi jika Indonesia memang ingin membangun reaktor nuklir haruslah memilih teknologi yang benar dan Indonesia merupakan negara yang beruntung karena teknologi nuklir saat ini sudah tergolong handal. "Nah sekarang sudah pas, kita ingin bangun teknologi nuklir dijaman teknologi yang sudah dewasa," kata Yudi.

Yudi mengungkapkan keuntungan Indonesia membangun teknologi nuklir nantinya menjadi diperhitungkan oleh negara-negara lain. Dia menjelaskan Indonesia merupakan produsen minyak dan negara pengimpor minyak bahkan pemerintah pun sudah memperkirakan akan menjadi importir minyak 100 persen pada tahun 2030. Kemudian jika suatu waktu Indonesia perang dengan negara lain lalu Indonesia diembargo tidak diberikan minyak maka dengan sendirinya Indonesia akan lumpuh, kendaraan pun lumpuh.

Oleh sebab itu, Yudi menilai langkah pemerintah untuk membangun PLTN adalah langkah yang tepat karena jika Indonesia memiliki nuklir maka listrik pun bertambah dengan begitu mobil listrik dan kendaraan lain tidak perlu minyak bahkan industri dalam negeri pun terus berjalan.

Di satu sisi jika dalam keadaan perang negara lain juga tidak akan mungkin melakukan pemboman di PLTN karena radiasinya akan lari ke negara-negara lain. "Bargaining power (daya tawar) kita meningkat dengan adanya PLTN. Jadi posisi kita menang," kata Yudi.

Menurutnya negara-negara lain seperti Perancis, Jerman, Jepang, Amerika dan Inggris sudah memiliki PLTN, dan itu sekarang menjadi negara maju. Indonesia tidak akan bisa menjadi negara maju jika belum memiliki PLTN karena saat Indonesia masih terombang-ambing dengan keran impor minyak. Jadi menurut Yudi dalam pembanguan teknologi nuklir lebih banyak keuntungannya ketimbang kerugiannya sebab ratusan jiwa orang di Indonesia akan terselamatkan dengan adanya energi nuklir.

Dia mengatakan Indonesia memiliki uranium terbanyak di Kalimantan sehingga sangat mudah untuk membangun teknologi nuklir. Menurutnya dengan teknologi nuklir yang dapat memproduksi listrik nantinya listrik tersebut bisa dialirkan dibawah laut. "Banyak propinsi yang diuntungkan dengan pembangunan teknologi nuklir," kata Yudi.

Soal sumber daya, Batan yakin Indonesia memiliki sumber daya uranium yang cukup. Cadangan uranium terbesar di Kalimantan Barat yang memiliki sebanyak 25.000 ton uranium yang terbesar di sekitar Kabupaten Melawi. Batan memperkirakan terdapat cadangan 70.000 ton Uranium di Indonesia dan 117 ribu Thorium. Lalu cadangan Uranium juga ada di Mamuju, Sulawesi Barat yang memiliki kadar Uranium berkisar antara 100-1500 ppm (part per milion) dan Thorium antara 400-1800 ppm.

Selain di Kalimantan Barat dan Sulawesi Barat, cadangan Uranium juga berada di Papua, Bangka Belitung. Namun untuk penghasil Thorium terbanyak berada di Bangka Belitung.

BACA JUGA: