JAKARTA, GRESNEWS.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara diam-diam ternyata mencoba membangkitkan kembali tindak pidana penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden lewat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). RKUHP yang diserahkan pemerintah kepada DPR diketahui memuat pasal-pasal yang telah dibatalkan MK pada tahun 2006 lalu itu.

Pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden itu dimuat dalam Buku II Bab II RKUHP yaitu dalam Pasal 263 Ayat (1) dan dan Pasal 264. Pasal 263 Ayat (1) RKUHP berbunyi: "Setiap orang yang dimuka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Sementara Pasal 264 Ayat menyatakan: "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Masuknya kembali pasal-pasal penghinaan presiden dan wakil presiden ini pun segera mendapatkan tanggapan kritis dari DPR. Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin mengatakan, berdasarkan asas hukum yang berlaku, sesuatu yang dibatalkan MK tidak bisa lagi dibahas atau dihidupkan kembali.

"Biarlah pembahasan itu dilakukan panitia rancangan kerja rancangan KUHP dalam bentuk inventarisasi masalah," kata Aziz ketika dihubungi gresnews.com, Senin (3/8).

Aziz mempertanyakan niat pemerintah menghidupkan kembali pasal-pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang sudah dibatalkan MK itu. "Apa sih urgensinya? Apakah rancangan UU ini sudah melihat keputusan MK, kenapa ini dihidupkan kembali? Tentu ini harus dilihat," ujar Aziz.

Seperti diketahui, dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK tegas menyatakan Pasal Penghinaan Presiden/Wakil Presiden bertentangan dengan konstitusi khususnyadengan Pasal 28, Pasal 28E Ayat 2, dan Ayat 3 UUD 1945.

Dasar pertimbangan MK adalah, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945. Dengan demikian, tidak relevan lagi jika dalam KUHP masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP.

Aziz pun dengan tegas menjelaskan apa yang sudah diputuskan MK tidak mungkin itu dihidupkan kembali. "Keputusan MK itu bersifat final dan mengikat. Secara logika hukum tidak mungkin dilakukan. Pertimbangan dalam putusan MK itu detail. Dalam hal tertentu untuk menjaga kebebasan dalam mengungkap pikiran karena berhimpit pada kebebasan pendapat dari UUD," ujarnya.

ANCAMAN TERHADAP DEMOKRASI - Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis berpendapat, masuknya pasal penghinaan dalam RKUHP ini merupakan suatu bentuk ancaman terhadap demokrasi. Jika pasal itu hidup lagi, kata dia, maka akan ada pembatasan bagi publik dalam mengkritisi kinerja presiden atau pemerintah.

Hanya saja, Margarito mengakui, dalam demokrasi juga harus ada koridor yang dihormati dalam melaksanakan fungsi kontrol kepada pemerintah. "Boleh dilakukan selama tidak dalam konteks menghina seperti pembuatan karikatur berisikan ejekan ataupun hinaan kepada Presiden," katanya.

Adapun, menurut dia, jika kritik dilakukan melalui tulisan maupun ungkapan yang tujuannya mengkritik kepada Presiden, selama sifatnya tidak mengancam, seperti masalah kebijakan yang dibuatnya, hal tersebut tidak seharusnya dipidana. Apabila presiden tidak menerima kritik semacam itu, kata Margarito, sama saja pemerintah menjalankan pola kepemimpinan otoriter.

"Mengenai kritik yang kepada Presiden, seperti kinerja Presiden tidak becus dalam bekerja itu adalah hal yang biasa. Wajar, sebagai Presiden memang bertanggung jawab publik atas apa yang ia kerjakan," ujar Margarito Kamis, Jakarta, Senin (3/8).

Sebelumnya, Supriyadi Widodo Eddyono dan Fajrimei A. Gofar dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP dalam kajiannya terhadap pasal-pasal yang kerap disebut "pasal karet" ini, menyebutkan, pasal-pasal penghinaan ini memang rentan disalahgunakan untuk membungkam suara-suara kritis terhadap kebijakan penguasa.

Bahkan, karena praktik dan rumusannya yang dapat digunakan secara semena-mena, pasal tersebut telah menjadi ancaman bagi perlindungan dan penghormatan terhadap hak untuk berekspresi. Pasal-pasal ini sering digunakan oleh pemerintaha baik pada masa Soekarno, Soeharto maupun saat ini untuk membungkam sikap kritis terutama mereka yang dinilai sebagai lawan politik.

Umumnya pasal-pasal pidana ini tidak saja dapat diinterprestasi secara luas (lentur dan multiintrepetatif), tetapi juga sangat membatasi hak-hak individu dalam mengeluarkan pendapat, atau hak bereskpresi. Konsekuensinya adalah terbukanya kesempatan bagi para pemegang kekuasaan, yang dalam hal ini diwakili oleh kepolisian dan Jaksa Penuntut, untuk mengadakan interpretasi mutlak terhadap aksi-aksi individu, baik aksi itu berupa tindakan, perkataan, atau bahkan pemikiran, yang berbeda dari pendapat penguasa yang berlaku.

"Hal ini tentu sungguh berbahaya bagi perkembangan proses demokrasi, pertumbuhan HAM, dan perkembangan hukum di Indonesia," kata Supriyadi dalam kajian itu.

Di samping itu, pasal-pasal ini juga melanggar semangat yang termaktub dalam Konstitusi Indonesia yang mencoba melindungi hak tersebut pada saat ini.

Sejarah terpenting penggunaan pasal-pasal ini ada di masa pemerintahan Soeharto. Di era itu, penangkapan para aktivis politik dan pemimpin oposisi merupakan kebijakan rutin dan lebih terdokumentasi dengan baik.

Salah satu contohnya adalah terhadap Nuku Soleiman pada tahun 1994. Aktivis Gerakan Pro-Demokrasi ini memasang stiker, antara lain, di halaman MPR-RI, Jakarta, yang bertuliskan: "Soeharto Dalang Segala Bencana (SDSB)".

Nuku Sulaiman akhirnya dijatuhi hukuman 3 (tiga) tahun penjara di tingkat Pengadilan Negeri, dan 5 (lima)tahun di tingkat banding.

Begitu juga yang terjadi dengan kasus politisi Sri Bintang Pamungkas, dosen Universitas Indonesia, aktivis, anggota DPR-RI (1995). Tuduhan pertama terhadap Sri Bintang adalah melakukan penghinaan terhadap Presiden Soeharto yang berawal dari munculnya kasus Dresden pada bulan Maret 1995.

Sri Bintang Pamungkas kemudian dituduh kembali melakukan penghinaan karena mengucapkan selamat kepada koleganya melalui kartu ucapan selamat yang berbunyi tiga program politik PUDI (Partai Uni Demokrasi Indonesia yang didirikan Sri Bintang), yaitu menolak Pemilu 1997, menolak pencalonan Soeharto, dan meyiapkan tatanan baru paska Soeharto. Ia dijatuhi hukuman 2 tahun 10 bulan penjara.

Masa selanjutnya, di era Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid, pasal-pasal ini masih eksis namun tak digunakan pemerintah yang berkomitmen dengan demokrasi dan penegakan HAM. Namun pasal-pasal ini kembali digunakan di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Supriyadi mencatat, di bulan Juli dan Agustus 2002, terjadi sejumlah penangkapan para aktivis politik di Jakarta. Individu-individu tersebut ditangkap semata-mata karena mengekspresikan pandangan politik mereka yang anti kekerasan pada sejumlah aksi damai di ibukota.

Aktivis Nanang dan Mudzakir misalnya ditahan karena menginjak-injak gambar Megawati dalam sebuah happening arts bersama rombongan mahasiswa yang menyampaikan pendapatnya di muka istana Merdeka, Jakarta. Kemudian ada Raihana Diany aktivis HAM yang dikenai Pasal 134 KUHP tentang penghinaan kepada kepala negara karena merobek-robek gambar Presiden Megawati pada aksi protes tanggal 16 Juli 2002.

Tercatat di era Megawati ada 11 kasus penangkapan aktivis dan juga pengadilan terhadap awak pers terkait penerapan pasal penghinaan terhadap presiden ini. Untuk awak pers adalah pengadilan kepada Supratman, editor senior harian Rakyat Merdeka yang didakwa menghina presiden dan melanggar Pasal 134 dan 137 KUHP berkaitan dengan serangkaian artikel yang membandingkan Megawati dengan Sumanto, yang mengaku melakukan kejahatan kanibalisme.

Pasal ini juga digunakan di masa awal pemerintahan SBY yang berdampingan dengan Jusuf Kalla. Tahun 2004, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jakarta Bai Harkat Firdaus diadili karena membakar foto Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dia dihukum 5 bulan penjara.

Tahun 2005, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dihukum 6 bulan penjara karena menyampaikan pendapat terkait kenaikan harga BBM. Tercatat di era ini, 5 kasus dimana penguasa menggunakan pasal-pasal ini kepada para aktivis.

Karena itulah, Mahkamah Konstitusi pada bulan Desember 2006 juga telah menyatakan pasal-pasal KUHP yang berkenaan dengan penghinaan terhadap presiden tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan konstitusi.

MASIH RELEVAN? - Meski secara umum pasal-pasal penghinaan presiden ini sudah dicabut MK dan sudah tidak mungkin dibangkitkan kembali, namun sebenarnya ada juga pendapat hukum yang menyatakan pasal-pasal ini masih relevan. Hal itu terlihat dalam pendapat MK yang tidak bulat dalam menghapus pasal-pasal penghinaan ini.

Dalam putusan yang diketok pada tanggal 6 Desember 2006, ada tiga hakim konstitusi yang tetap mendukung Pasal Penghinaan Presiden tetap hidup dalam konstitusi. Mereka adalah I Gede Dewa Palguna, Soedarsono, HAS Natabaya dan Achmad Roestandi.

"Adalah ketentuan yang berlaku universal, dalam tradisi hukum apa pun, bahwa penghinaan merupakan tindak pidana, meskipun substansinya berbeda-beda menurut ruang dan waktu, sehingga apa yang di suatu tempat dan pada suatu waktu tertentu dianggap sebagai penghinaan, belum tentu di tempat lain dan pada waktu yang berbeda juga merupakan penghinaan. Dengan demikian, penghinaan terhadap siapa pun hal itu ditujukan dan dalam hukum pidana negara mana pun adalah perbuatan yang dapat dipidana," ujar Palguna ketika itu.

Sebagai warisan penjajah Belanda, Pasal Penghinaan Presiden adalah metamorfosis dari Pasal Penghinaan Raja/Ratu Belanda. Menurut Palguna, pasal ini untuk melindungi Kepala Negara yang dalam negara modern juga diemban oleh Presiden, selain sebagai kepala pemerintahan, sehingga Pasal Penghinaan Presiden tetap relevan.

"Dalam bidang hukum diplomatik, apabila seorang Presiden melakukan kunjungan resmi ke suatu negara asing maka kepadanya akan diberikan kekebalan kekebalan dan keistimewaan-keistimewaan diplomatik (diplomatic immunities and privileges), tetapi sudah merupakan praktik yang lazim bahwa ketika seorang Presiden melakukan kunjungan ke suatu negara asing secara incognito pun, kekebalan dan keistimewaan demikian secara implisit tetap dianggap ada. Hal ini juga didasari oleh gagasan bahwa dalam diri presiden melekat kepribadian negaranya," ujar Palguna mencontohkan.

Menurut dosen Universitas Udayana, Bali, itu, ruh dari seluruh ketentuan UUD 1945 sebagai satu kesatuan sistem adalah semangat untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum. Negara hukum dan demokrasi menghormati, melindungi, dan menjamin pemenuhan kebebasan atau kemerdekaan untuk menyampaikan pendapat, di dalamnya termasuk kemerdekaan untuk menyampaikan kritik terhadap Presiden.

"Tetapi, negara hukum dan demokrasi tidak melindungi pelaku penghinaan, terhadap siapa pun hal itu ditujukan. Pelaku penghinaan tidak dapat berlindung di balik kemerdekaan menyampaikan pendapat. Konstitusi menghormati, melindungi, dan menjamin setiap orang yang bermaksud menyampaikan pendapatnya, tetapi tidak untuk pelaku penghinaan," cetus Palguna.

Secara tegas Palguna menyatakan bahwa Pasal Penghinaan Presiden tidak akan bertentangan dengan HAM. Sebab larangan Penghinaan Presiden bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma. Supaya mencegah adanya kesalahan penerapan norma, maka sudah selayaknya MK membuka keran perkara qonstitusional question dan qonstitutional complaint.

"Bahwa dengan segenap uraian di atas, maka persoalan yang relevan untuk ditelaah lebih jauh sesungguhnya bukanlah terletak pada soal konstitusional tidaknya, melainkan pada hal-hal yang lebih merupakan persoalan politikhukum atau hukum yang dicita-citakan (dalam arti ius constituendum atau delege ferenda), dalam hal ini politik hukum dalam bidang hukum pidana," ujar Palguna.

Sayangnya, suara Palguna dan tiga temannya itu, kalah suara oleh lima hakim konstitusi lainnya yaitu Jimly Asshiddiqie, Laica Marzuki, Maruarar Siahaan, Abdul Mukthie Fadjar, dan Harjono. Alhasil, Pasal Penghinaan Presiden dihapuskan dalam KUHP. (Gresnews.com/ Agung Nugraha/dtc

BACA JUGA: