JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah akhirnya melaksanakan eksekusi mati terhadap para terpidana mati kasus narkotika. Pelaksanaan eksekusi tahap ketiga ini melibatkan empat terpidana mati dan dilakukan pada Jumat (29/7) dini hari sekitar pukul 00.45 di kawasan lembaga pemasyarakatan Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Dalam jumpa pers yang seusai pelaksanaan eksekusi, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Noor Rachmad mengatakan, terpidana mati yang pertama kali dieksekusi adalah gembong narkotika Freddy Budiman (37). "Pertama adalah Freddy Budiman. Sementara ini baru empat, sisanya akan dilakukan bertahap," kata Noor.

Kemudian berturut-turut eksekusi dilakukan terhadap Michael Titus (34), warga Nigeria penyelundup heroin seberat 5.223 gram, Humprey Ejike (40), warga Nigeria, penyelundup 300 gram heroin dan Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane (34), warga Afrika Selatan, penyelundup 2,4 kg heroin. Noor Rachmad mengatakan, jenazah Freddy Budiman akan dibawa ke Surabaya, Jawa Timur.

Sedangkan satu jenazah lainnya, Humprey Ejike, dikremasi dan sisanya jenazah Michael Titus dikembalikan ke Nigeria dan jenazah Cajetan Uchena Onyeworo Seck Osmane dikembalikan ke Afrika Selatan.

Satu terpidana mati lainnya, Zulfiqar Ali (52), warga negara Pakistan, ditunda eksekusinya. Noor Rachmad tidak menjelaskan alasan rinci mengapa eksekusi terhadap penyelundup 350 gram heroin pada tahun 2005 itu ditunda. Dia hanya menyebut penundaan dilakukan setelah dilakukan kajian. "Melalui kajian yang komprehensif," kata Noor singkat.

Noor menjelaskan, pemerintah perlu mengkaji ulang kasus Zulfiqar karena  saksi kunci kasus itu, Gurdiph Sigh, telah mencabut keterangan di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Gurdiph mencabut kesaksiannya bahwa heroin itu adalah milik Zulfiqar.

Dalam kesempatan itu, Noor Rachmad juga menyampaikan bela sungkawa pada keluarga napi yang dieksekusi mati. Dia mengakui, menghilangkan nyawa seseorang bukan tugas yang mudah, apalagi menyenangkan. "Sesungguhnya ini bukan pekerjaan yang menyenangkan pekerjaan yang menyedihkan menyangkut nyawa orang," kata Noor.

Noor memastikan tugas ini dilakukan untuk melaksanakan tugas amanat undang-undang. Dia meminta masyarakat mengerti, tugas ini bukan untuk semata-semata menghilangkan nyawa orang lain, tapi menghentikan perbuatan jahat, narkoba.

Sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo memastikan tidak ada tekanan diplomatik dari negara yang warganya masuk dalam daftar eksekusi. Prasetyo mengatakan, Indonesia merupakan negara berdaulat yang berkewajiban menegakkan hukum di wilayahnya. Sebaliknya, negara lain juga harus dapat menghormati hukum Indonesia.

"Itu bagian dari diplomasi hubungan luar negeri kita. Tidak masalah (penolakan). Biar saja. Kita tetap jalankan apa yang menjadi hukum di negeri kita," kata Prasetyo.

MELAWAN HUKUM - Terkait eksekusi mati ini, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan, pemerintah telah melakukan tindakan melawan hukum dan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan, berdasarkan Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 jo. UU No. 5 Tahun 2010 Tentang Grasi, eksekusi mati tidak bisa dilakukan terhadap terpidana yang masih dalam proses mengajukan grasi.

Pasal tersebut mengatur: "Bagi terpidana mati, kuasa hukum atau keluarga terpidana yang mengajukan permohonan grasi, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana."

Erasmus mengatakan, berdasarkan penelusuran ICJR, masih terdapat beberapa terpidana mati yang sedang mengajukan proses permohonan grasi kepada Presiden Joko Widodo. "Mereka diantaranya Merri Utami, Zulfiqar Ali, Humprey Jefferson, Agus Hadi, Seck Osmane, dan Pudjo Lestari," kata Erasmus kepada gresnews.com, Jumat (29/7).

Putusan itu menyatakan: "Namun demikian, untuk mencegah  digunakannya hak mengajukan grasi oleh terpidana atau keluarganya, khususnya terpidana mati untuk menunda eksekusi atau pelaksanaan putusan, seharusnya Jaksa sebagai eksekutor tidak harus terikat pada tidak adanya jangka waktu tersebut apabila nyata-nyata terpidana atau keluarganya tidak menggunakan hak atau kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi atau setelah jaksa selaku eksekutor demi kepentingan kemanusiaan telah menanyakan kepada terpidana atau keluarganya akan mengajukan permohonan grasi."

"Berdasarkan pasal dan pertimbangan Hakim MK tersebut, maka terpidana yang masih mengajukan permohonan grasi atau sedang dalam proses pengajuan grasi, tidak dapat dieksekusi!" tegas Erasmus.

Nyatanya, satu terpidana mati yaitu Seck Osmane tetap dieksekusi meski keputusan soal grasinya belum turun. UU-XIII/2015. Menurut Erasmus tindakan tersebut adalah perbuatan melawan hukum dan pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi!

"Seluruh tindakan hukum dapat ditempuh atas pelanggaran yang dilakukan oleh jaksa dan Presiden Joko Widodo, apabila tetap melanjutkan eksekusi mati," pungkasnya.

LANGGAR HAK SIPIL - Sebelumnya, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyu Wagiman mengatakan, eksekusi mati terhadap terpidana mati kasus narkotika itu juga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 6 Ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Dalam pasal itu disebutkan, hukuman mati hanya dapat diterapkan secara terbatas, khusus untuk kejahatan yang paling serius (the most serious crimes). Sedangkan tindak pidana narkotika tidak masuk ke dalam ambang kejahatan yang paling serius tersebut.

"Sehingga, pemberlakuan eksekusi pidana mati tersebut dapat dikonklusikan sebagai suatu pelanggaran terhadap hak atas hidup, yang tak dapat dikurangi dalam kondisi apapun dan oleh siapapun (non-derogable), yang juga berlaku bagi terpidana mati," kata Wahyu kepada gresnews.com.

ELSAM juga mengkritik pelaksanaan hukuman mati di tengah masih maraknya praktik peradilan yang tidak adil (unfair trial). Sebagai ilustrasi, pada fase awal pemeriksaan kasus Agus Hadi dan Pujo Lestari, kedua terpidana ini tidak didampingi oleh kuasa hukum.

Dalam kasus yang berbeda, terpidana Eugene Ape dipidana mati atas dasar menyimpan dan menyalurkan narkotika, padahal selama persidangan tidak terbukti bahwa ia melakukan penyaluran narkotika. Lebih parah lagi dalam kasus Humprey Jefferson, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan pidana mati semata atas dasar pertimbangan yang bersifat diskriminatif, yakni warna kulit dan asal kebangsaan.

"Padahal dalam praktik hukuman mati, kesalahan penghukuman tidak mungkin lagi dapat dikoreksi (irreversible)," ujar Wahyu.

ELSAM tetap mendesak agar pemerintah membatalkan rencana eksekusi mati ini. "Hal ini penting untuk menghindari kesalahan penghukuman (wrongful conviction), yang menjadi sesuatu yang seringkali tak-terhindarkan dalam praktik hukum pidana," pungkasnya. (dtc)

BACA JUGA: