JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih tinggi, meskipun saat ini pemerintah terus berupaya melakukan pembenahan di lembaga-lembaga pemerintahan baik di pusat maupun daerah. Lembaga penegak hukum pun tak luput dari upaya melakukan reformasi agar kinerja mereka semakin baik. Namun apa daya, ternyata lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Peradilan masih dipersepsikan sebagai lembaga pemerintahan yang korup. Termasuk di dalamnya adalah DPR sebagai pembentuk undang-undang.

Seperti diketahui Corruption Perception Index (CPI) 2014 yang diterbitkan secara global oleh Transparency International menempatkan Indonesia sebagai negara dengan level korupsi yang tinggi. Dalam CPI 2014 tersebut, Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih). Korupsi secara khusus disebut menempati urutan teratas dari 18 (delapan belas) faktor penghambat kemudahan berusaha di Indonesia.

"Dari skor tersebut, menggambarkan ada stagnasi yang berkaitan dengan sektor politik dan perizinan, ini yang membuat skor kita tidak beranjak," ungkap Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko, seperti dikutip dari situs resmi TII, Minggu (27/9).

Korupsi di lembaga penegakan hukum seperti hasil survei TII bukan pepesan kosong. Meskipun reformasi birokrasi terus menggema di lembaga penegakan hukum, praktik rasuah itu masih saja terjadi di Kepolisian, Kejaksaan, peradilan maupun legislatif.

Kasus tertangkapnya majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terima suap, misalnya menjadi bukti nyata korupsi lembaga peradilan masih marak. Begitu juga di Kejaksaan dan Kepolisian, istilah ´ATM berjalan´ masih terjadi. Hingga saat ini banyak kasus lama yang tak jelas penanganannya.

Di Kejaksaan misalnya, masih ada tunggakan kasus besar seperti kasus korupsi pembangunan tower Bank Jabar Banten (BJB) yang hingga kini masih jalan di tempat. Kejaksaan seolah tak mampu menyentuh aktor utama kasus ini, yaitu Tri Wiyasa selaku Direktur Utama PT Comradindo Lintasnusa Perkasa (CLP).

Belum lagi kasus-kasus korupsi yang dihentikan perkaranya. Seperti kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran di Angkasa Pura I, Kejaksaan Agung tidak menjelaskan penghentian penyidikannya. Bisa saja itu yang menjadi salah satu penilaian Kemenpan RB mengganjar Kejaksaan dengan nilai buruk.

Dari sisi pengembalian uang negara hasil sitaan dari koruptor, Kejagung juga masih terhitung payah. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2014 lalu menyebutkan jumlah uang pengganti yang belum tertagih oleh Kejaksaan Agung mencapai sebesar Rp13,146 triliun.

PERSEPSI KORUPSI 2015 - TII melakukan survei Persepsi Korupsi di 11 kota besar. Yakni Kota Pekanbaru, Semarang,  Banjarmasin,  Pontianak,  Makassar,  Manado,  Medan,  Padang,  Bandung,  Surabaya, dan  Jakarta. Survey dilakukan serentak di 11 (sebelas) kota di Indonesia pada 20 Mei-17 Juni 2015 kepada 1.100 pengusaha.

Dari survei tersebut diperoleh hasil kota yang memiliki skor tertinggi dalam Indeks Persepsi Korupsi 2015 adalah Kota Banjarmasin dengan skor 68, Kota Surabaya dengan skor 65, dan Kota Semarang dengan skor 60. Sementara itu, Kota yang memiliki skor Indeks Persepsi Korupsi terendah adalah Kota Bandung dengan skor 39, Kota Pekanbaru dengan skor 42, dan Kota Makassar  skor 48.

"Efektivitas pemberantasan korupsi dan akuntabilitas pendanaan publik dinilai responden memiliki kontribusi paling besar terhadap penurunan potensi korupsi. Tidak kalah penting, penurunan potensi korupsi juga disumbangkan oleh perbaikan persepsi terhadap sektor terdampak korupsi, penurunan  prevalensi korupsi, dan penurunan motivasi korupsi," kata Wahyudi Thohary, Peneliti IPK 2015 Transparency International Indonesia.

Dari hasil survei didapati bahwa responden menilai adanya  perbaikan tata kelola pemerintahan yang baik di lembaga-lembaga pemerintahan, namun komposisi sektor publik yang dipersepsikan korup masih sama. Responden masih menilai kepolisian, legislatif, dan peradilan sebagai sektor publik yang paling terdampak oleh korupsi.

Temuan lainnya adalah sektor lapangan usaha yang memiliki prevalensi suap paling tinggi menurut responden adalah usaha di sektor minyak dan gas, pertambangan, dan kehutanan. Sementara itu, sektor yang memiliki potensi suap rendah menurut responden adalah sektor pertanian, sektor transportasi, dan sektor hotel dan restoran. Sektor  lapangan usaha yang memiliki alokasi suap terbesar adalah sektor konstruksi dengan rerata alokasi suap sebesar 9.1%; jasa dengan rerata alokasi suap sebesar 7.4%; dan Migas dengan rerata alokasi suap sebesar 7.2%.

Sementara sektor yang memiliki alokasi suap terendah adalah pertanian dengan rerata alokasi suap sebesar 3.5%; perikanan dengan rerata alokasi suap sebesar 3.3%; dan kehutanan dengan rerata alokasi suap sebesar 3.2%.

Hasil survei TII menyebutkan bukti secara empirik bahwa persepsi korupsi di daerah memiliki hubungan erat dengan penurunan daya saing dan penurunan kemudahan di daerah berusaha. Daerah dengan indeks persepsi korupsi yang tinggi memiliki daya saing dan kemudahan berusaha yang tinggi pula. Sebaliknya daerah yang memiliki indeks persepsi korupsi yang rendah memiliki kemudahan berusaha yang rendah pula.

PENDAMPINGAN PEMBANGUNAN - Pemerintahan Jokowi melihat pembangunan terhambat karena rendahnya daya serap daerah. Daerah enggan menggunakan anggaran APBN untuk pembangunan karena takut korupsi. Presiden Jokowi pun tengah bersiap menerbitkan Peraturan Presiden yang memberikan jaminan kepada kepala daerah untuk menyerap anggaran.

Bahkan beleid itu mengikat kepada Kejaksaan dan Kepolisian untuk mengawal pembangunan nasional. Itu menindaklanjuti Intruksi Presiden No 7 tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Kejaksaan Agung sendiri kemudian membentuk Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4). Tim ini akan melakukan pendampingan kepada pejabat pusat maupun daerah dalam penggunaan anggaran. Kejaksaan Agung akan segera merilis TP4 untuk mengawal kebijakan pemerintah pusat dan daerah itu akan segera dilakukan.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Amir Yanto menyatakan persiapan TP4 telah matang. Jaksa Agung Prasetyo juga sudah melakukan kunjungan-kunjungan ke daerah untuk mensosialisasikannya. TP4 ini sebagai bagian upaya pencegahan agar tidak terjadi korupsi. "Memberantas korupsi, yang paling efektif dengan melakukan pencegahan," kata Amir kepada gresnews.com, Minggu (27/9).

Dijelaskan Amir, komposisi TP4 nantinya akan diisi jaksa dari bidang perdata dan tata usaha negara serta intelijen. Mereka diberi tugas masing-masing. Nantinya, mereka akan memberikan pendampingan kepada pejabat atau kepala daerah untuk penggunaan anggaran. Keberadaan tim itu akan membawa manfaat besar karena bakal menghindarkan pejabat dari tindakan korupsi.

Namun pembentukan TP4 oleh Kejaksaan Agung hanya mubazir. Pasalnya, selama ini dengan fungsi ada masing-masing bidang di Kejaksaan Agung pendampingan kebijakan telah dilakukan. Seperti Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) kerap berfungsi memberikan legal opinion tas satu kebijakan.

Karenanya, keberadan TP4 dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan fungsi yang ada di Kejaksaan. "Sudah ada Jamdatun, jadi buat apa dibentuk. Mending mengefektifkan kerja Jamdatun," kata anggota Koalisi Pemantau Jaksa (KPJ) Ichsan Zikry kepada gresnews.com.

Untuk itu, Ichsan Zikry menyarankan, jika Jaksa Agung ingin membentuk tim yang ikut mengawal pembangunan harus diperjelas tujuannya. Jangan sampai program tersebut hanya bentuk reaksioner atas kritik presiden. Apalagi, dalam operasionalnya tim ini akan butuh anggaran. Sehingga terkesan memboroskan anggaran negara, sementara kerjanya tidak jelas.

BACA JUGA: