JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin memeriksa Raoul Adhitya Wiranatakusumah terkait kasus pemberian suap kepada Santoso, panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun pemeriksaan terhadapnya masih sebagai saksi untuk tersangka Santoso. Padahal Raoul sendiri telah berstatus sebagai tersangka dalam kasus penyuapan tersebut.  

Sampai saat ini KPK belum memeriksa pengacara PT Kapuas Tunggal Persada (KTP) itu dalam statusnya sebagai tersangka. Bahkan, istimewanya lagi, ia masih bebas berkeliaran. Padahal lazimnya tersangka dalam kasus yang prosesnya melalui operasi tangkap tangan (OTT) segera dijebloskan ke dalam rumah tahanan.

Hal itu menilik dari sejumlah kasus, seperti kasus penangkapan pengacara kondang Otto Cornelis Kaligis dan penangkapan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja, yang kendati tidak berada di tempat saat OTT, namun tetap ditahan. Perlakuan berbeda terhadap Raoul itu pun menimbulkan pertanyaan.

Menanggapi perlakuan berbeda itu, Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha berdalih belum ditahannya Raoul itu karena penyidik memanggil Raoul dalam kapasitas sebagai saksi, baik untuk tersangka Ahmad Yani maupun Santoso.

Dan seorang saksi, menurutnya, belum bisa dilakukan penahanan oleh penyidik. "Karena dalam beberapa panggilan pemeriksaan, Raoul baru diperiksa sebagai saksi. Tidak ada penahanan untuk seorang saksi," ujarnya.

Saat ditanya apakah Raoul akan ditahan setelah ia menjalani proses pemeriksaan sebagai tersangka, Priharsa juga belum memberikan jaminan. Sebab, menurutnya, hal itu dilakukan jika penyidik memandang ada unsur-unsur tertentu yang membuat seorang tersangka patut ditahan.

"Dia akan ditahan jika penyidik menganggap berdasarkan alasan subjektif dan objektif perlu dilakukan penahanan. Itu bisa dilakukan saat dia sudah diperiksa sebagai tersangka," jelas Priharsa.


TIDAK MENGHINDAR - Sementara Raoul, yang dimintai tanggapan usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi, enggan memaparkan mengenai perkara suap tersebut. Ia berdalih bahwa apa yang diketahuinya sudah disampaikan kepada tim penyidik pada saat proses pemeriksaan.

Namun saat ditanya apakah uang sebesar Sin$28 ribu (sekitar Rp280 juta) yang diberikan kepada Santoso itu bertujuan agar majelis hakim menolak gugatan PT Mitra Maju Sukses (MMS), ia buru-buru membantahnya. Raoul yang diketahui sebagai pengacara PT Kapuas Tunggal Persada (KTP) merupakan pihak tergugat dalam perkara yang diurusnya.

"Oh gak. Petitum saya jelas, saya minta gugatannya itu ditolak dan perjanjiannya itu semua dibatalin. Dan, saya dengar putusannya NO (tidak dapat diterima) dan klien saya tetap dianggap wanprestasi," kata Raoul, Selasa (26/7) malam.

Raoul pun menceritakan sedikit mengenai kasus perdata itu. "Klien saya digugat soal keterlambatan pembayaran," tuturnya.

Saat ditanya dari siapa sumber uang suap sebesar Sin$28 ribu itu, Raoul kembali bungkam. "Itu sudah saya sampaikan ke penyidik," ujarnya.

Begitu pula saat ditanya apakah uang tersebut diperuntukkan untuk para hakim, Raoul enggan membeberkannya. "Saya sudah sampaikan semua ke penyidik. Jadi tunggu prosesnya aja nanti," tutur Raoul.

Raoul menjadi tersangka dalam rangkaian operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK kepada Santoso dan seorang perantara yang bekerja di kantor Raoul, Ahmad Yani. Tetapi ketika terjadi penangkapan itu, Raoul sedang berada di luar negeri.

Saat ditanya tentang hal ini Raoul mengungkapkan, "Saya, rencana liburan sudah jauh-jauh hari. Bulan Maret saya sudah pesan tiket," klaimnya.

Operasi penangkapan itu dilakukan KPK pada 30 Juni 2016, tak lama setelah putusan hakim yang dipimpin Casmaya atas perkara tersebut dibacakan. Setelah mendengar bahwa kasus itu bermasalah yang berujung penangkapan KPK, Raoul mengaku bergegas pulang ke Indonesia.

"Ya, saya cari jalan yang tercepat ya, tiket lagi mahal pada waktu itu. Jadi, ya pas saya dapatkan. Saya di California, di Amerika," ujar Raoul.

Pengacara Raoul, Heribertus Hartojo, mengatakan kliennya sama sekali tidak mempunyai niat melarikan diri. Hal itu dibuktikan setelah terungkapnya perkara ini, pihaknya langsung menghubungi tim penyidik dan menjelaskan bahwa Raoul masih berada di luar negeri.

"Ya, kontak penyidiknya langsung, kalau kita mau hadir. Tidak ada pikiran sama sekali (melarikan diri)," dalih Heribertus.

Seperti diketahui Pada 30 Juni 2016, KPK telah menangkap Santoso beberapa saat setelah melakukan transaksi  menerima suap di daerah Matraman, Jakarta Timur. Dari tangannya yang saat itu masih di atas ojek, penyidik KPK mengamankan sebuah amplop cokelat berisi dua amplop yang berisi 25 ribu dolar Singapura dan satu amplop lagi 3 ribu dolar Singapura. Selanjutnya dilakukan penangkapan pelaku pemberi suap yakni staf pengacara dari kantor hukum Raoul Adhitya Wiranatakusumah bernama Ahmad Yani. Ia ditangkap di perjalanan di daerah Menteng, Jakarta Pusat.

Santoso menerima uang sebesar Sin$28 ribu yang diduga terkait perkara perdata antara PT Kapuas Tunggal Persada (KTP) dan PT Mitra Maju Sukses (MMS) yang tengah berperkara di PN Jakpus. Dalam perkara ini Santoso disangkakan Pasal 12 huruf a atau b atau c atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara itu Ahmad Yani maupun Raoul Adhitya Wiranatakusumah disangkakan Pasal 6 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau b dan atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 dengan ancaman pidana paling singkat 3 tahun penjara dan paling lama 15 tahun penjara ditambah denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.

BACA JUGA: